Grahita menghela namanya panjang. Lalu ia memilih beranjak dari ranjang dan memilih keluar dari kamar.

Grahita berjalan menuju dapur dengan pelan. Gadis itu lantas duduk di meja bar sambil menuangkan air putih ke dalamnya. Kembali ia melamun. Entah mengapa hatinya kembali gelisah.

Lamunannya buyar ketika suara orang melangkah ke dapur terdengar. Gadis itu kemudian mendongak dan di depannya seorang laki-laki berdiri tak jauh darinya. Laki-laki itulah sebab ia hadir di dunia.

Di sana Sadewa berdiri. Tatapan matanya tak dapat dijabarkan. Ia baru pulang dari Surabaya setelah mengurus usahanya selama seminggu lebih.

Grahita memilih turun dari kursi bar yang lumayan tinggi itu. Ia malas untuk sekedar bertemu dengan sang papa. Entah mengapa hatinya belum rela. Ia marah dan kecewa. Entah sampai kapan ia masih menyimpan rasa sakit dan sesaknya itu.

"Ta?"

Grahita yang hendak menuju kamar lantas berhenti. Gadis itu lalu berbalik dan menatap sang papa.

"Maaf," ucap pria itu pelan. Berulang kali ia tak bosan untuk meminta maaf kepada putrinya itu. Walaupun ia tahu Grahita sangat dingin kepadanya, tetapi ia tak menyerah.

"Maaf sudah membuat kamu sengsara. Maaf juga papa belum jadi papa yang baik buat kamu. Maaf,"

Grahita menatap sang papa tanpa ekspresi. Raut wajah khas yang selalu ia tunjukkan kepada sang papa sejak dulu.

"Jangan meminta maaf jika keegoisan papa masih mendominasi. Jangan meminta maaf jika belum siap meminta maaf. Maaf bukan sekedar ucapan belaka. Jika begitu akan banyak pendosa yang mempermainkan kata maaf dan melakukan lagi dan lagi."

Setelah itu, Grahita langsung meninggalkan dapur dengan Sadewa yang berdiri mematung. Laki-laki itu menatap kepergian sang putri dengan tatapan terluka.

Batin Sadewa sebenarnya memberontak. Ia baru tahu setelah Nakula mengabarinya. Bahkan Nakula dengan lancar melemparkan sumpah serapah kepada dirinya. Nakula marah besar mengetahui dirinya tak tahu apa-apa. Sedangkan Sadewa hanya menjadi laki-laki bodoh yang masih saja terjebak dalam tempurung yang ia buat sendiri.

Sadewa yang masih kusut dan lelah perjalanan dari Surabaya itu hanya bisa mengusap wajahnya kasar. Ia tak bisa pulang langsung karena masih ada urusan yang harus diselesaikan olehnya. Hal itulah yang membuat dirinya seperti orang bodoh yang datang terlambat.

"Marcella, sekarang aku paham betapa hancurnya dirimu saat itu. Dan benar, ucapanmu bagai kutukan. Sakit hati putrimu begitu terasa sesak di dadaku. Bahkan setelah ini kau akan menertawakan kebodohan diriku ini," ucap Sadewa pelan dengan mata yang memerah menahan air mata.

*****

Hari ini Grahita memenuhi panggilan Kepolisian untuk pemeriksaan dirinya sebagai korban. Awalnya ia takut untuk sekedar keluar dari rumah karena masih trauma dengan kejadian kemarin. Kejadian itu benar-benar mengubah dirinya. Grahita menjadi lebih memilih menepi dan menarik diri dari interaksi sosial, sementara.

Dengan melawan ketakutannya itu, Grahita datang dengan ditemani oleh Lili dan Yosi. Yessy tak ikut karena harus ke Nevada untuk mengurus usahanya. Sedangkan Yosi masih stay di Indonesia karena hendak mengurusi pernikahannya.

Lili syok mendengar kejadian yang telah menimpa Grahita. Bahkan Lili tak henti-hentinya melontarkan sumpah serapah pada Sultan. Ia juga menyesal tak bisa berada di samping Grahita kala itu.

Lili baru mendengar kabar Grahita setelah pulang dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Gadis itu baru saja melakukan ekpedisi bersama designer yang tergabung dalam projectnya untuk mencari produk kain tenun terbaik. Terlebih itu, Lili juga tidak tahu karena Grahita benar-benar off beberapa hari setelah kejadian.

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now