bab 8

1.1K 142 52
                                    

Kupu-kupu sihir yang dia kirim untuk membuntuti Torune pulang membawa bau anyir. Tanpa suara yang menjelaskan, Naruto tahu bagaimana nasib pemuda itu.

Dia menyilangkan tangan di depan dada sebagai penghormatan terakhir, memanjatkan doa kepada Yang Kuasa agar ruh yang telah terenggut mendapat tempat di indraloka.

Perkamen setebal lima senti lantas dia buka satu persatu. Setiap huruf hilang dan timbul sesuai gerak lidahnya yang merapal. Pada halaman tengah, tangannya tiba-tiba berhenti bergerak seolah ada sesuatu yang dia temukan.

Belantara merupakan loka di mana muslihat berkumpul. Kalau dipikir, tidak mungkin juga 'kan, hutan perbatasan dibiarkan tanpa mana pelindung?

Hahhh .... Naruto mendesah.

Satu langkahnya dijegal dengan cepat padahal bidak itu baru memulai ekspedisi. Rasanya benar-benar dipecundangi. Geram menyulut hati membuat tangannya mencengkeram lengan kursi dengan kuat. Namun, itu tak berselang lama karena sesaat kemudian tawa menggema di ruangan itu.

Naruto terkikik. Senyum terulas lebar di bibirnya. Seolah ada rambut yang tergerai di kening, dia menyibak rambutnya yang sudah cepak ke belakang. Kilat pada matanya menunjukkan sebuah kemungkinan; kemungkinan dia memang sengaja melakukan ini, kemungkinan ini merupakan bagian dari rencananya.

Bidak yang bergerak itu tentu tak cuma satu.

Dan pasti sudah ada yang berhasil menyelinap dengan selamat.

.

.

.

The Wheel of Fortune

.

.

.

Musim dingin membuat langkahnya tercetak pada salju yang telah menimbun di atas tanah.

Kabar perihal penyerangan gadis itu, jelas sudah Naruto dengar bahkan sebelum Sasuke tahu. Sebagai tindak lanjut ia menghukum para penjaga yang bertugas di malam tersebut melalui sebuah demosi; semua diturunkan menjadi kuli kasar dan dipekerjakan di pertambangan.

Sejak awal keluar dari ruang kerjanya, Naruto memang telah berniat mengunjungi Hinata di balai kesehatan. Setiba di halaman dia memandang gadis itu tengah berdiri di balkon sambil menyangga dagu.

Entah apa yang Hinata lihat, iris rembulan tersebut sama sekali tak berkedip.

.

.

"Kadang ranting yang membeku terlihat lebih indah dibanding saat diselimuti dedaunan."

Yang tadinya sendiri sekarang sadar jika ditemani seseorang. Ekor matanya melirik meski tubuhnya masih ragu ikut berbalik menghadap si pemilik suara.

Naruto datang mengenakan jubah berbulu lengkap dengan baju zirah yang selalu menempel seolah hendak berperang.

Hinata merentangkan tangan sebelum akhirnya berbalik menyambut kedatangan pemuda itu dengan senyumnya.

"Haaaahh ...."

"...?" Tak diduga tanggapan Naruto berbeda. Dia memilih membuang senyum ke samping dan berjalan dengan langkah gagah menuju sisi Hinata. Tangannya disembunyikan di balik saku, kini mereka berdiri berdampingan.

"Bagaimana kabarmu?"

"Anda menjenguk saya?" tanya Hinata polos sembari kembali memutar badan. Dia menoleh menyaksikan pemuda itu telah menyangga dagu sambil menatapnya.

The Wheel of FortuneWhere stories live. Discover now