"Oh.." jawab Ayah seadanya, lalu duduk disampingku.

"Ayah... Omelin kak Hali nya tuh... Kak Hali nggak mau nurutin Ufan." adu Taufan.

"Hali.."

Hahh... Taufan kebiasaan banget. Seneng banget ngadu ke Ayah.

"... sebagai kakak, kamu harus bisa ngalah sama adik kamu."

"Tapi, Ayah. Nggak ada yang salah kan? Kata Ayah 'Bunda itu sama kayak Ibu'. Jadi, mau manggilnya Bunda atau Ibu juga nggak salah kan?" ujarku membela diri.

"Iya, emang sama aja. Cuma, sekarang Hali itu kan kakak. Berarti kamu harus bisa bikin adik kamu senang. Jangan sampe bikin adik kamu marah apalagi sampe nangis."

"Ish... Hali kan nggak salah." bantahku lagi.

"Kak Hali mah nggak pernah mau ngalah. Kayak kemarin, masa kepala Ufan di jitak gara–mph!"

"Ufanku sayang. Bisa diem nggak?" ugh! Jangan sampe yang satu ini Taufan aduin juga. Bisa kena ceramah lebih panjang nanti.

"Kepala Ufan kenapa?" tanya Ibu yang sepertinya nggak terlalu dengar ucapan Taufan tadi.

"Nggak kenapa-napa kok, Ibu." ucapku sembari memberikan tatapan maut pada adik manisku itu.

"Oke ya, Hali. Harus ngalah. Bikin Taufan senyum terus." nasihat Ayah sekali lagi.

"Iya, Ayah."

"Hiks..."

Kenapa lagi nih anak.

"Ufan.. Kenapa?" tanya Ibu heran. Bukan cuma Ibu sih, aku sama Ayah juga sama herannya.

"Kepala Ufan masih sakit." ucapnya sambil mengelus kepalanya. Hahh... Nih anak caper banget ya.

Karena males dengar kata-kata mutiara dari Ayah, aku menghampiri Taufan mengelus kepalanya lembut, lalu...

Chup!

... Mencium kepalanya.

"Udah.. Maafin kak Hali, oke?" ujarku, kulihat Taufan diam aja. Entahlah, mungkin dia lelah.

Tapi, tiba-tiba dia menarik bajuku..

Chup!

"Ufan selalu sayang kak Hali."

Begitulah katanya setelah dia mencium pipiku. Lalu memelukku beberapa detik.

Aku terdiam. Saat ini rasanya aku ingin lari. Aku tak menyangka Taufan akan membalasnya.

"Hali?" kali ini, Ibu memanggilku heran.

"Bu-Bunda." ucapku lalu memeluk Ibu dan menyembunyikan wajahku.

"Eh? Kenapa ini?"

"Sekarang Hali manggilnya Bunda. Sesuai yang Ufan mau." ujarku pelan.

"Bunda!" Taufan berteriak sambil ikut memeluk Ibu–maksudku Bunda.

"Kalian ini..." Bunda membalas pelukan kami.

"Eh... Bunda itu punya Ayah." ucap Ayah yang ikut memeluk Bunda.

"A-Ayah..."

"Bunda punya Ufan!"

"Bunda juga punya Hali."

"Ih.. Bunda punya Ayah."

"Udah.. Bunda punya kalian semua."

Chup!

Serentak kami mencium Bunda. Aku pipi kirinya Bunda, lalu Taufan pipi kanannya dan Ayah mencium kepalanya Bunda.

"Saaayang Bunda." ujar kami bersama.

End Flashback

End Halilintar's POV

"Hiks..."

"Eh... Kamu yang minta buat ceritain kan... Malah nangis." Ujar Halilintar heran melihat adiknya yang tiba-tiba menangis.

"Habisnya... Jadi inget Bunda..." ujar Taufan pelan.

"Oh? Maaf."

"Ugh... Kepala Ufan pusing."

'Huh... Mulai deh. Caper.'  batin Halilintar lalu berjalan menghampiri Taufan.

Tuk!

"Hahh.. Trikmu itu udah nggak mempan kalo di pake sekarang." ujarnya setelah menjitak kepala Taufan.

"Ish... Sakit! Kepala Ufan pusing beneran malah di jitak." protes Taufan, walaupun hanya bercanda kakaknya itu emang nggak tanggung-tanggung kalau udah main pukul, apalagi ke Taufan.

Chup!

"Ya udah.. Maaf." Ujar Halilintar, mengelus rambut adiknya sebelum ia pergi melanjutkan urusannya.

"Heh? Apa..."

Ugh... Emang sih tadi aku caper dikit, tapi katanya nggak mempan lagi kenapa malah dilakuin?!  —Taufan—

Hish... Tau ah..  —Halilintar—

🕸🕸🕸🕸🕸🕸🕸🕸🕸🕸🕸🕸

Udah selesai... Gitu aja.

Vote ⭐ dan komen 💬 jangan lupa~

Sekian, terima kasih 😁

20 Desember 2020

dyrannosaur

A HugTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang