VI

107 22 0
                                    

"Ini cuma perasaanku aja atau emang dari tadi di luar gelap mulu, ya?" tanya Dewantoro pada kakaknya, beberapa jam setelah Johanna mengalami mimpi buruknya. Johanna mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah jendela, dan memang langit masih hitam pekat seperti sebelumnya.

"Keretanya juga agak lambat, Wan. Mungkin aja emang masih malem, siapa tahu 'kan?"

"Mbak." Kali ini Dewantoro berbisik. "Nggak curiga sama kereta ini apa?"

"Curiga apa lagi, sih, Wan? Kamu tadi diajak ngobrol sama bapak-bapak juga, lho, masa dia hantu."

"Siapa tahu, 'kan?" Dewantoro membalikkan ucapan Johanna, membuat kakak perempuannya itu memutar kedua bola matanya. "Jangan skeptis gitu, Mbak, kalau beneran gimana?"

"Apanya yang beneran, Mas?"

Dewantoro terlonjak kaget, begitu juga Johanna. Mereka berdua menoleh, menemukan wanita paruh baya dengan blus berwarna biru laut sedang berdiri di samping kursi Dewantoro sambil tersenyum.

"Ha- Eh, nggak apa-apa, Bu." Dewantoro tergagap, masih terkejut dengan kemunculan si ibu yang tiba-tiba.

"Ada apa, ya, Bu?" Johanna langsung bertanya tanpa basa-basi, mengenali wanita itu duduk tidak jauh dari Winarso bersaudara.

"Saya mau nawarin makanan, ini yang satu gerbong udah saya tawarin semua, tinggal kalian berdua. Cuma kue-kue pasar sama buah, sih."

"Dalam rangka apa, nih, Bu? Saya baru kali ini ngalamin ada yang bagi-bagi makanan di kereta," celetuk Dewantoro sambil melirik ke arah keranjang milik ibu-entah-siapa yang berisi bolu kukus dan apel.

"Itu, cucu saya lagi ulang tahun. Kebetulan karena anaknya belum pernah ke pesta ulang tahun, jadi saya berinisiatif aja ngajak penumpang gerbong ini buat merayakan ulang tahun dia."

Johanna mengintip dari balik kursi, melihat seorang anak laki-laki meringis polos ke arahnya.

"Lucu, Wan, adiknya. Giginya ompong dua di depan."

Dewantoro ikut mengintip, dan mendapati anak yang sama juga sedang mengintip mereka berdua masih dengan cengiran yang terlihat begitu polos namun bahagia.

"Jadi, mau milih makanan yang apa, Mas? Mbak?"

"Saya bolu kukus aja, Bu." Johanna dengan girang mengambil sebuah bolu kukus dari keranjang yang dibawa si ibu. Berbeda dari kakaknya, Dewantoro memutuskan untuk mengambil apel. "Terima kasih, ya, Bu. Salam selamat ulang tahun buat cucunya."

"Terima kasih, Mbak, Mas. Itu apelnya bersih, kok. Tapi kalau mau dicuci lagi juga nggak apa-apa."

"Hehe, iya, Bu. Terima kasih, ya."

Sepeninggal sang wanita paruh baya, Johanna memperhatikan Dewantoro yang memilih untuk membersihkan apelnya dengan tisu yang ia temukan di tas kecil kakaknya.

"Nggak kamu cuci dulu, Wan?"

"Males, ah, Mbak. Kalaupun kotor, ya udah, tinggal ngerasain sakit perut."

"Terserah kamu, deh."

The Last DutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang