2 | Kodrat Perempuan

9 1 0
                                    

Aku bersemangat buat update chapter 2~
Salam lufluf yellowww 💛

\|\

Aroma lavender pada handuk kecil berwarna cokelat di tangan Ghatan seolah memberi ketenangan.

Ia merasakan itu setelah Rindu menjatuhkannya dengan lembut tepat di kepalanya. Jangan kesal bila tak ada adegan kelanjutan seperti yang ada di film-film, ketika tokoh utama wanita memeluk kepala sang pria, lalu mengusapkannya dengan kasih sayang. Itu tak terjadi di sini.

Sebab tadi, gadis itu sudah memperingatinya agar tidak manja. Lantas apa boleh buat. Ia bisa mengusap rambutnya yang lembap sendiri. Kalau tidak begitu apa gunanya tangan? Huft, padahal Gathan sedikit berharap juga tadi.

"Sejak Ayah pergi tidak ada yang suka kopi. Padahal hidung ini merindukan aromanya yang kental," ujar Rindu seraya mengamati seorang pemuda yang sedang duduk begitu tenang di sofa.

Hah, kalau dipikir ulang, saat ini dirinya sudah berbuat salah. Tak seharusnya pria diizinkan bertamu malam-malam begini. Berhubung di luar hujan dan Gathan adalah ponakan sahabat Pak Rusdi.

Mungkin jika ada penggerebekan dari orang sekampung nanti, Pak Lurah bisa memaklumi. Selagi ia tak memiliki maksud buruk ... er, seperti menaruh racun sianida. Itu artinya ia masih menyimpan hati nurani.

Ah, jangankan racun, untuk membeli garam saja harus menunggu gaji terbayarkan. O, jangan keliru. Pengangguran begini ia masih berpenghasilan, walaupun cuma dari melatih anak-anak tetangga.

"Kenapa tak duduk?" tanya Gathan bernada skeptis.

Ia takut salah bicara, terlebih menyangkut keluarga gadis tomboi itu. Bahkan setelah mendengar isyarat dari kalimat barusan, hatinya malah ikut terenyuh. Ternyata luka lamanya ikut merasakan sakit, lebih-lebih ketika mengingat keputusan Papa untuk mengakhiri segalanya.

Rindu malah nyengir kuda, "Ah, iya ... ini silakan diminum, meskipun cuma teh, hehe." Tawa sumbang yang mencubit perasaan Gathan.

Andai ia boleh jujur, ia seperti ditimbuni rasa iba jika memandang wajah gadis itu. Gathan yakin, ada ketidakberdayaan yang tersembunyi di balik perangainya yang sekuat baja. Ah, kemeja yang baru dikenakannya saja tak mampu melindunginya dari hujan. Lebih-lebih tentang perasaan. Ada yang murni nan suci. Ada juga yang hitam kelam melebihi kabut asap yang pekat. Tergantung bagaimana sang pemilik mengekspresikannya.

"Mungkin suatu hari nanti, Ndu. Kamu bakal mencium aroma itu," balas Gathan pada pengakuan Rindu beberapa saat lalu.

Sedangkan gadis itu hanya mengangguk. Tak berani bicara apa-apa. Hanya memeluk bantal sofa. Yang dikatakan Gathan benar. Aroma itu pasti akan kembali menyambutnya setiap pagi.

Akankah seseorang yang sering dibicarakan ibu?

Jodohnya nanti?

Uh, memikirkannya saja sudah membuat Rindu berseri-seri.

"Jangan melamun, Ndu!"

"Hah?" Rindu tertohok mendapat usapan halus pada rambutnya yang tak panjang. Mana ia belum sempat menyisir. Kalau begitu maklumi saja bila poninya berantakan.

"Saya pamit pulang. Soal pekerjaan esok saya kabari lagi. Simpan kontak saya di hape kamu," kata Gathan lagi.

Oh, tidak! Bagi Rindu semua ini bukan kabar baik. Ini terasa tiba-tiba. Gathan menggoncang dunianya yang tenang lewat perhatiannya yang melampaui batas. Harusnya pemuda itu sebal, kesal, dan marah. Seperti yang diperlihatkannya di awal jumpa. Bukan kebaikan, perhatian, dan kelembutan yang bakal membuatnya terpana.

Rindu GhatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang