prolog

339 39 4
                                    

“Wow, aku gak nyangka kalo Junmyeon beneran nikahin Queen?”

Jeffrey menghela napas. Ini adalah hari pertamanya datang ke Korea untuk bertemu dengan Junmyeon. Ah, tidak bertemu, hanya mengawasi —tentu saja karena perintah Mino. Walaupun sudah diakui sebagai orang yang berjasa, tetap saja Junmyeon tidak akan dilepaskan tanpa pengawasan. Queen is precious, anyway.

“Aku gak habis pikir bisa-bisanya dia mengkhianati Naomi cuma demi —apa? Jabatan? Aih.”

Sekali lagi Jeffrey menghela napas. Jennie —teman bishopnya ini sangat cerewet.

“Jeff—”

“Diem,” potong Jeffrey.

“Kenapa?”

“Berisik.”

“…”

“Panggil aku kalo Junmyeon udah bisa dihubungi,” ujar Jeffrey sambil beranjak, meninggalkan Jennie yang bengong di tempatnya berdiri.

“Mau kemana?” tanya Jennie.

“Panggil aja kalo udah bisa!” Jeffrey melambaikan tangan, tanda tidak akan mau jika Jennie memintanya tinggal.

Sebenarnya Jeffrey tidak pergi jauh, hanya pergi ke coffee shop dekat rumah Irene —istri Junmyeon. Kalau dibilang sudah hapal daerah sini, tidak juga. Karena sebelumnya pun memang sebenarnya Jeffrey belum pernah ke tempat ini.

Lebih tepatnya, ke tempat dimana Queen yang sebenarnya tinggal.

Bukan Irene, tapi Suzy.

Ini rahasia, hanya antara Jeffrey, Rosé, Brian, Chrys, Kai dan —dia, makhluk abstrak yang sekarang ikut duduk berseberangan dengan Jeffrey.

Jeffrey yakin dia tidak bisa melihat hantu, bahkan Brian. Tapi entah kenapa makhluk satu ini bisa tertangkap matanya. Sebelum ini, Jeffrey kira dia hanya bagian dari mimpinya, tapi Jeffrey benar-benar tidak menyangka kalau dia ternyata benar-benar ada.

“Pergi ke rumah Suzy,” kata makhluk itu.

Jeffrey tidak menjawab, tetap bersikap seolah tidak ada siapa-siapa di depannya.

“Pergi ke rumah Suzy,” ulang makhluk itu.

“Aku gak tau apakah di duniamu tata krama itu diatur, tapi seenggaknya ada sedikit etika saat ngobrol sama manusia,” ujar Jeffrey, membuat alis makhluk itu bergerak samar sebelum justru mengulas senyum menyeramkan.

“Seharusnya kamu yang jaga etika.”

“Kenapa aku?”

“Kamu cucuku,” jawab makhluk itu santai, membuat Jeffrey berjengit.

“Aku harap kamu gak lupa kalo William Cyzarine itu adalah loyal protector, dan udah sepantesnya—”

Bullshit,” potong Jeffrey.

“Apanya?”

“Kamu. Jangan membual, aku gak akan percaya.” Jeffrey meletakkan cup nya ke meja dengan kasar, kemudian beranjak dengan langkah lugas.

Tapi makhluk itu —Will justru kembali mengulas senyum, entah apa artinya. Senyum yang kemudian terkembang semakin lebar saat terdengar bunyi lengkingan rem dan tabrakan keras yang disusul dengan riuh orang-orang yang berteriak panik saling bersahutan. Will berdiri, hanya dengan sekali kedipan mata, dia sudah berpindah dari tempatnya, menyisakan residu seperti debu berwarna abu kehitaman.

Will kini berdiri di tepian jalan, menyaksikan Jeffrey yang terkapar di atas aspal dengan napas pendek tersendat dan darah yang mulai keluar dari kepalanya. Tidak ada yang Will ucapkan untuk beberapa saat, hanya senyuman yang kian membesar saat akhirnya sorot kesakitan Jeffrey bertemu dengannya.

“Aku berusaha memperkanalkan diri dengan cara yang baik, tapi kamu bahkan gak mau denger padahal kamu sendiri yang bilang soal etika,” katanya.

Bibir Jeffrey bergerak tak beraturan, bercampur dengan ringisan yang dia tahan karena memang badannya terasa seperti hancur sekarang.

Watch your mouth, grand son. Kalo bukan aku, mungkin kamu lebih parah dari ini,” ujar makhluk itu lagi.

“S-sialan..”

Will tertawa kecil saat mendengar Jeffrey justru mengumpat dibandingkan meminta ampun. Jadi ingat ‘rumah’nya yang dulu, bahkan dokter militer itu juga meminta ampun dengan sangat ketakutan saat Will hanya sekedar menampakkan diri.

Kalau begini, mungkin Will tidak akan meminta dengan halus. Bagaimanapun, waktu terus berjalan. Tidak ada waktu lagi untuk bermain-main. Jadi kemudian Will mengulurkan tangannya, tanpa kata menawarkan pertolongan pada Jeffrey yang mulai kehilangan kesadaran sedikit demi sedikit.

Tapi nyatanya, Jeffrey tidak membutuhkan itu. Dia lebih memilih memejamkan mata, mengabaikan sakit yang memang sudah mulai membuat seluruh badannya seperti mati rasa.

Will berdecak. “Dasar keras kepala.”

the guard

















save this book in your library if you think this will be fun!
see you!

tbc.

[5] The Guard ; Jeffrey JungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang