Part 34

1.9K 149 1
                                    

Tangis Aqilah pecah. Ia berlari kecil ke tempat yang bisa menenangkannya di Pondok itu. Yahh, Di sungai kecil. Airnya masih terasa dingin seolah ikut membekukan otaknya sehingga berpikir pun rasanya tidak bisa. Di tangannya masih ada buku diary yang ia temukan dan menjawab semua rasa penasarannya.

Apa yang harus aku lakukan? Batinnya. Satu hal yang ada pikirannya adalah ia harus kembali ke Bogor untuk memastikan sesuatu dan menemui seseorang disana.

"Aqilah?" Suara pria itu seakan terkejut melihat keberadaan Aqilah di tempat itu. Aqilah menghentikan tangisnya dan menghapus air matanya dengan sangat cepat.

"Berhentilah menangis. Kamu jelek banget kalo nangis. Kayak badut." Aqilah masih membelakangi sumber suara itu. Dalam hati ia merutuki takdir yang sering kali mempertemukan dirinya dengan Afif disaat keadaan hatinya sangat buruk. Ia tahu pasti Afif tahu kalau ia sedang menangis karena ia tidak menyadari jika Afif sedang berbaring di pondok kecil itu.

"Mas nggak tau apa-apa. Jadi berhentilah berkomentar." ketus Aqilah. Ia merasa jengkel dengan ucapan Afif saat itu.

"Sepertinya aku tau Aqilah." Afif bangun dari posisinya yang tadi dan memperhatikan Aqilah yang masih duduk membelakanginya.

"Kamu tidak ingin meminta bantuanku untuk ke Bogor?" tanya Afif.

Aqilah semakin bingung. Dari mana Afif tahu hal itu. "Maaf Aqilah, aku akan menjelaskannya nanti. Tapi jika kamu memang tidak butuh aku akan–"

"Tidak. Aku butuh bantuan Mas. Tapi Mas David harus ikut." Sela Aqilah. Ia menghubungi David untuk menemuinya di Pondok. Ia sangat butuh bantuannya. Tidak mungkin jika hanya berdua dengan Afif. Ia tidak ingin orang-orang jadi salah paham padanya.

Sementara, Afif menunggu respon dari Aqilah. Yang membuat Aqilah semakin bingung, kenapa Afif tidak bertanya mengenai identitas dan alasan kenapa David harus ikut. Pikiran Aqilah benar-benar kacau.

Yaa Allah, ujian apalagi yang Engkau berikan pada Hamba-Mu yang lemah ini? Lagi-lagi Aqilah hanya bisa menerima takdirnya dan berdoa dalam hati. Ia ingin menangis tapi saat ini ia benar-benar malu jika harus menangis di depan Afif.

"Nangis aja, dek. Terkadang dengan menangis bisa membuat hatimu lega. Aku bakal nutup kuping kok. Nggak usah malu." ucap Afif dengan sangat lembut. Seketika Aqilah langsung menangis tergugu-gugu. Ia memeluk dirinya dan bayi yang masih dalam perutnya. Seolah si kembar juga sedang memeluk ibunya yang sangat sedih.

"Nak, apa yang harus kita katakan pada ayah?" lirih Aqilah sambil mengusap perutnya. Ia seakan berbicara pada anak yang dikandungnya. Ia masih memikirkan keadaan Gibran jika mengetahui semuanya. Di pikirannya hanya ada Gibran. Apakah pria itu masih menerimanya atau tidak?!

Hati Afif mencelos mendengar lirihan Aqilah. Jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih menyimpan nama Aqilah di hatinya. Sakit. Itu yang ia rasakan saat melihat keadaan Aqilah yang sedang hamil besar dan harus mendapatkan kenyataan pahit itu.

"Apa yang harus kita lakukan, nak? Bunda harap Ayah masih mencintaimu. Nggak apa-apa kalo dia hanya mencintaimu, nak. Bunda rela." lirihan Aqilah yang terdengar oleh Afif semakin menyakiti hati pria itu.

Demi Tuhan, aku akan menghabisi Gibran jika dia tidak menerima dan mencintai wanita ini. Dia sudah merebut wanita yang aku cintai. Jika dia tidak bisa membuatnya bahagia, aku yang akan maju. Meskipun di mata Aqilah aku bukan siapa-siapa lagi. Gumam Afif dalam hati. Tangannya mengepal siap untuk menghabisi Gibran.

Tiga puluh menit kemudian, David pun tiba. Usai menangis, Aqilah langsung kembali ke rumah sembari menunggu kedatangan David yang kini sudah berada di hadapan Aqilah. Untung Bundanya masih mengajar. Sementara Afif hanya menunggu di Masjid. Aqilah akan menghubungi Afif ketika David datang.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang