[HTMO] 18 - The Truth is Coming Out.

Start from the beginning
                                    

Kesulitan yang harus dilalui Tara cukup banyak membuang waktunya. Dia terlalu mengulur waktu dan hanya tinggal menyisakan duka.

Saat dia mengucapkan Ijab kabul di hadapan semua saksi dan keluarga, saat itu juga dia merasa berdosa karena harus menanggung beban yang sangat mengganggunya. Beban perasaan yang nggak pernah bisa Tara kendalikan dan ungkapkan, selama tinggal bersama mereka.

"Jangan pernah cerita sama siapa siapa John,"

"Tapi perasaan lo buat adeknya, bukan buat kakaknya."

Tara membuang napasnya pasrah, dia tak perduli keadaan mau berbuat seperti apa lagi untuknya. Dia sudah lelah. Lelah karena selalu berkorban untuk orang lain. Yang bukan merupakan salah satu alasan untuk dirinya bahagia saat ini.

Johnny adalah seseorang yang paling tahu keadaan dirinya. Terbuang oleh waktu dan terkikis keadaan. Sudah pernah berjuang tapi semesta belum menginginkan.

Tara membenturkan tubuhnya berkali kali, sebagai bentuk pelampiasan atas rasa bersalahnya. Mengiyakan paksaan dari keluarga dan meninggalkan segala impian serta cita cita. Memang saat itu dia belum yakin jika Biya adalah keinginannya. Namun sejak saat pertunangan dadakan itu terjadi tiba tiba, dirinya digempur oleh sebuah kenyataan.

Pada kenyataanya .. memang cinta itu lebih terasa berat jika salah satu sudah saling meninggalkan.

Sebelah pihak lagi tinggal menghapus jejak luka, duka, menghalau timbunnya perasaan yang harus dia lupakan. Dan pada akhirnya Biya yang harus menerima semua kenyataan. Semua terkaan atas perasaanya dia hantam kuat kuat di altar pernikahan. Dia meyakini bahwa pria itu bahkan tidak pernah mencintainya bahkan seujung jari kuku pun.

Tak pernah ada alasan yang bisa menjawab.

***

Tara memutar balikan badannya menghadap sang istri. Aira sudah bangun dari tidur panjangnya selama berhari hari. Membantu Aira untuk duduk dan menaikan dua bantal tebal di punggung istrinya. Terlihat raut wajah mengkerut serta tirus ketika Aira menarik sebuah senyumnya untuk suaminya.

"Kenapa nggak pernah keluar kata cerai dari mulut kamu?" Ujar Aira. Dia melihat Tara penuh ketenangan disampingnya.

"Karena perceraian dibenci Allah."

Aira mengerutkan keningnya, menatao Tara penuh kebimbangan. Napasnya stabil, tapi jantungnya sedikit berpacu, dan naik. Aira mungkin telah banyak menyakiti perasaan Tara, yang bahkan tak diketahui oleh siapapun. Tara tak bergeming sesaat, kemudian Tara mengupas buah jeruk di samping istrinya. Mereka berdua sudah seperti biasa, layaknya suami istri pada umumnya yang saling menjaga satu sama lain, tapi tidak dengan Aira. Yang memiliki beban tersendiri atas kebahagiaan suaminya.

"Kadang kalau nasi udah jadi bubur, atau sesuatu yang udah jadi terlanjur biasanya udah di garis tangankan oleh takdir. Aku cuma ngikutin alur kehidupanku aja, aku nggak mau merubah takdir."

"Saat kamu ketemu sama aku, kamu bilang aku adalah laki laki yang paling baik, dan gentle yang pernah kamu temuin" senyumnya sedikit beralih lagi memandangi sudut ruangan yang lain, "Aku nggak bisa gegabah, jangan salahkan keputusan orang tua kita, mungkin mereka mau memberi yang terbaik." Tutur Tara dengan kalimatnya yang cukup panjang. Seulas senyum itu lagi lagi memudar, dia sadar alur percintaanya tak semenarik apa yang dia ucapkan.

Aira memeluknya tiba tiba. Tara sedikit terperanjat di tempat duduknya. Bagaimanapun, Tara dan Aira adalah sepasang suami istri yang telah terikat oleh sebuah pernikahan, ada atau tidaknya pun, perasaan menyayangi, saling menjaga, dan saling memahami itu pasti terselip di antara mereka berdua. Belum lagi adanya kehadiran Dave, sayangnya Aira tidak benar benar memanfaatkan keadaan itu.

Terkadang sifat childishnya masih dalam batas wajar yang bisa Tara tahan, tapi terkadang, ketika sakitnya itu mereda, Aira semacam kehilangan sebagian bentuk dari dirinya. Dia terlena oleh kehidupan, bahkan dia lupa .. tentang usia yang sudah diprediksi oleh sang dokter.

Tara bertahan karena Dave sampai sejauh ini, bertahan karena dia adalah kepala keluarga yang harus menuntun istrinya ke jalan yang benar, walau kadang terasa sulit dan beberapa kali menyerah, Tara masih memiliki

beberapa pihak yang mampu memberinya semangat, yang mampu meningkatkan gairah kehidupannya.

Dia selalu tersenyum saat Biya menghampirinya di ketika mereka berangkat bersama. Tara selalu merekahkan senyumnya, mengembang kempiskan dadanya saat bertemu wanita itu. Bukan tanpa alasan dia tidak bisa sebegitu penasarannya dengan Biya.

Yang tanpa disadari terdapat satu hal kesamaan di antara mereka berdua.

Saling terjebak pada perasaan terpendam yang tertinggal di larutnya masa yang pernah mereka lewati bersamaan.

"Kalau selama ini Mas menutup mata, Mas minta maaf, Mas egois, semua nurani Mas pergi, semua perasaan Mas memang terpenjara sama kamu, tapi jiwa Mas dirampas sama kehendak orang lain yang nggak bisa Mas kendaliin, kalau suatu saat kita dilahirkan ...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kalau selama ini Mas menutup mata, Mas minta maaf, Mas egois, semua nurani Mas pergi, semua perasaan Mas memang terpenjara sama kamu, tapi jiwa Mas dirampas sama kehendak orang lain yang nggak bisa Mas kendaliin, kalau suatu saat kita dilahirkan kembali, Mas bakal janji sama diri Mas sendiri, bagaimanapun bentuknya kita, Mas mau memperjuangkan kamu, di sehat, sedih, sakit, tua, muda, bahkan dalam segala kurangnya kamu. Apapun, aku mau menerima kamu seperti ini, apa adanya, Mas terima kamu dalam segala kondisi, Biya.











In 2012'
on Tara notes.




Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
How to Move on ─ TaeyongWhere stories live. Discover now