7 | Sebuah Alasan

10 2 0
                                    

Halaman belakang rumah menjadi tempat favoritku akhir-akhir ini. Pohon beringin di sana seringkali menjadi payung untuk kegiatan melamunku di sore atau pagi hari. Kursi taman yang biasanya ditempati oleh Mama atau Irina, kini menjadi singgasana pribadiku. Dan aku seringkali tergilas kenangan lama jika berada di sana. Seperti otomatis mengingat kejadian yang sudah tidak bisa lagi kusaksikan.

Semenjak aku meninggalkan perpustakaan kampus, aku belum bertemu dengan Rilay maupun Ruby. Jelas saja, bahkan aku membolos untuk pertama kalinya karena merasa benar-benar tidak bisa diajak kompromi soal ingatan tentang mantan kekasihku. Rasanya masih sama sakitnya. Apalagi hari ini dan kemarin libur. Sudah tiga hari aku hanya berkutat di rumah tanpa ada niatan keluar kemana-mana karena memang tidak punya tujuan.

Aku menutup buku novel yang sedang kubaca dan melamun lagi. Memandang balkon kamarku dan milik Irina yang bersebelahan. Sebelumnya, aku tidak pernah mencari Irina, bahkan tidak merindukannya meski tidak melihatnya berhari-hari. Menurutku itu biasa karena setidaknya aku tahu bahwa Irina selalu sibuk dan jarang ada di rumah. Pula, aku tahu bahwa ia akan selalu baik-baik saja karena kepribadiannya yang menurutku keren. Tapi, sekarang aku merasa sudah terlalu lama tidak melihatnya. Aku merindukan saudari kembarku.

Lamunanku terhenti ketika mendapati getar di ponselku. Aku mengerutkan kening ketika mendapati nomor asing di layar. Karena tidak terbiasa, aku memilih mengabaikannya.

Tak lama panggilan tersebut berhenti. Aku memandang sekilas sebelum kembali merenung sambil menatap langit biru. Kosong. Aku tidak mengharapkan apapun untuk muncul bagai keajaiban saat ini. Rinduku tidak akan pernah menemui ujungnya. Sia-sia sekali rasanya semua waktu yang kuhabiskan akhir-akhir ini. Tapi, meskipun demikian aku tidak bisa berhenti melamun.

Ponselku kembali bergetar. Kulirik nomor tidak dikenal yang tadi menghubungi, kini kembali menelepon. Mau tak mau aku menaruh atensi sedikit. Tidak mungkin salah sambung jika menghubungi lagi setelah diabaikan.

Dengan pertimbangan aku meraihnya dan menjawab panggilan.

Hening. Aku hanya menempelkannya di telinga. Menunggu si penelepon bicara.

"Halo, Aria!"

Shuusss...

Seperti ada yang mengirimkan rasa hangat di dadaku ketika mendengar suara ini.

"Ri-lay?" Ujarku terbata. Lirih namun aku yakin ia mendengarnya di ujung sana. Terbukti dengan kekehan ringannya yang sangat khas. Membuatku mau tak mau ikut tersenyum lirih. Orang ini benar-benar membawa keceriaan kemanapun ia pergi dan mengumbar suara.

"Yups. Kamu kaget?" Tanyanya di seberang.

Aku tersenyum samar. "Lumayan. Kamu dapat nomorku darimana?" Tanyaku karena heran mengapa Rilay seperti tidak ragu menghubungiku.

"Owh itu. Tolong jangan salahkan cowok culun di kelasmu, dia polos banget mau ngasih nomor kamu. Tau ngga aku pakai alasan apa?"

Aku menggeleng. "Engga." Melanjutkan dengan jawaban karena sadar bahwa Rilay tidak melihat gerakan kepalaku.

"Aku ngaku-ngaku jadi anak pemilik kampus. Aku ancam dia kalo ngga ngasih nomormu, aku bakal ngadu dan bikin dia DO dari kampus. Hahahahaha...,"

Tawa Rilay membahana. Aku mau tak mau terkekeh kecil. Terhibur dan jadi membayangkan bagaimana wajah teman sekelasku itu. Entah siapa yang dimaksud Rilay, aku sendiri tidak tahu karena jarang memperhatikan orang-orang dalam kelas. Padahal aku sudah semester 4. Tapi masih enggan mengenali teman sekelasku sendiri.

"Kamu jahil banget." Komentarku setelah tawa Rilay mereda.

"Setimpal karena aku dapet nomor kamu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Is A Gift and A Miracle (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang