4 | The Void

20 3 2
                                    

Langkahku memberat bersamaan dengan penglihatan yang mulai kabur. Kepalaku terasa sangat pusing dan aku kedinginan sejak tadi. Aku menahannya sampai berpisah dengan Rilay yang harus mengikuti prosedur di rumah sakit untuk istirahat. Setelah berpisah dengannya, aku naik ke lantai 18 dimana tempatku berdiri saat ini adalah lorong yang membawaku menuju bangsal VIP di ujung sana. Jarang ada orang yang lalu lalang. Perawat dan pengunjung pun dibatasi. Sepi, dan sepanjang lorong hanya terlihat jajaran lampu-lampu dinding yang klasik.

Aku terduduk di tepi lorong. Bersandar pada dinding dan meringkuk di atas keramik dingin. Pikiranku terus-menerus mendatangkan ingatan negatif. Aku menangis tanpa suara, lemah, dan hanya berharap bahwa waktu kematianku semakin dekat. Tidak perlu bunuh diri jika sakit tanpa sengaja ini bisa membuatku mati, aku merasa lebih senang.

"Dokter, tolong selamatkan anak saya..., tolong dokter!"

Mama menangis histeris di pelukan Papa yang juga menitikan air mata. Aku di belakang mereka, tak mampu berbuat apa-apa. Mematung dan membiarkan belati tak kasat mata menusuk-nusuk perasaanku. Sakit, sangat sakit.

Di depan sana, di atas ranjang dengan beberapa dokter mengelilingi, terbaring sosok yang sudah tak asing lagi. Seseorang yang telah hidup sama lamanya denganku saat ini. Kakakku satu-satunya. Sosok berwajah persis denganku yang tidak terlalu akrab tapi aku sangat menyayanginya melebihi apapun di dunia ini. Satu-satunya manusia yang kumengerti penderitaannya walaupun ia dingin, kokoh di depan semua orang, dan tertutup, tapi sangat rapuh karena menyimpan segalanya sendirian. Kakak kembarku satu-satunya, Irina Volans.

Satu kilasan datang di kepalaku. Lagi, hatiku dicengkeram sesak.

"Maafkan saya, saya sudah berusaha semampu saya untuk menyelamatkan Irina, tapi Tuhan berkehendak lain. Keluarga harus bisa merelakan. Sekali lagi, saya minta maaf." Kalimat dokter itu menusukku dengan mata pedang paling tajam.

Mama menjerit, memanggil Irina yang tak mau membuka mata. Menyaksikan tubuh bersimbah darah itu pada akhirnya ditutup kain putih sampai ubun-ubun. Meluruhkan dayaku hingga kosong tak bersisa. Perlahan tapi pasti air mataku mengalir.

Tuhan, mengapa rasanya sangat sakit. Aku seperti kehilangan separuh jiwaku. Saudara kembarku satu-satunya telah diambil dari sisiku.

Tangisan dan harapan di mataku redup. Aku luruh bersamaan dengan kepergiannya. Satu-satunya yang mengisi pikiranku adalah tentang bagaimana gelapnya hidupku bekerja merengkuh jiwaku ikut pergi. Membiarkan akal sehatku diancam keputusasaan.

Slide-slide itu terus berputar dalam kepalaku. Melengkapi lelahnya mataku yang terus menangis. Sangat pusing, kepalaku berdenyut tak berhenti membuat sekitarku berotasi.

Yang kulihat terakhir kali hanyalah sepasang sendal rumah sakit di depanku. Sisanya, aku melihat gelap.

***

Aku seperti daun yang gugur dari pohonnya saat musim panas. Berbeda, asing, dan terlupakan bahkan oleh angin yang tak mau menerbangkanku jauh dari kenyataan bahwa aku sudah jatuh. Berada di tanah kering yang menghembuskan debu ke arahku. Perih, terseret partikel tajam mikromilimeter yang menjadikanku rapuh lalu tak sengaja terinjak kaki-kaki manusia yang berlarian di atasku. Aku hancur. Namun tak kunjung dapat bertemu cacing-cacing yang setidaknya akan menjadikanku teman atau mungkin makanan.

Sekarang pun aku berkhayal. Dalam tahap kegilaan ini, bisa-bisanya kudapati kebodohanku. Dimana setelah mendengar kabar kematian Irina, seseorang yang sangat kucintai berkhianat. Pengkhianatan paling menyakitkan dimana sosok itu hanya diam. Tak menyangkal apapun yang kulihat dengan mataku. Di saat yang sama. Kepercayaanku pada dunia tercerabut. Aku terlalu kecewa pada makhluk yang bernama manusia. Dalam kekelaman itu aku memutuskan untuk tak mempercayai siapapun itu manusia di sekitarku. Siapa pun. Aku tak ingin mempercayai siapa pun lagi.

Love Is A Gift and A Miracle (Hiatus)Where stories live. Discover now