3 | Alexis Birgitte Rilayone

26 3 0
                                    

"Maaf, Kak. Lagian Kak Tara juga mencurigakan. Tiba-tiba pergi gitu aja sama Om-om tadi." Rilay alias Lexi, masih bisa mendebat perempuan dokter yang baru kutahu namanya adalah Tara. Dan dia adalah kakak perempuan Rilay.

Setelah menjelaskan banyak hal padaku secara singkat, akhirnya kami bertiga mengobrol di meja kantin tempat aku dan Rilay makan tadi. Dokter Tara ikut duduk sambil menatap tajam Rilay yang terlihat seperti maling yang tertangkap basah. Sedikit lucu karena ternyata Rilay mengira bahwa kakaknya selingkuh dari kekasihnya. Padahal setelah dijelaskan tadi, ternyata pria itu memang kekasih Dokter Tara. Hanya saja, pakaian formalnya membuat Rilay salah paham. Dan di sanalah aku baru tahu bahwa pria tadi adalah seorang tentara yang tiba-tiba mendapat panggilan tugas ketika akan menemui Dokter Tara. Mereka ada di atap untuk menunggu pesawat darurat yang akan membawa pria itu pergi bertugas. Dan adegan dewasa itu adalah salam perpisahan karena mereka tidak akan bertemu dalam waktu 3 bulan.

Aku masih memperhatikan kedekatan kakak beradik itu. Sedikit merasa iri karena aku bahkan tidak pernah punya kakak, adik atau saudara yang dekat denganku. Lagi. Rasa sesak ini kembali muncul. Tidak lama karena Rilay dan kakaknya banyak melibatkanku dalam obrolan mereka.

Dimulai dari cerita Rilay yang bertemu denganku di atap rumah sakit hingga kami makan di kantin. Rilay menceritakan dengan runtut minus adegan percobaan bunuh diriku dan percapakan di toilet. Dia peka sekali tentang apa yang tidak ingin kuberitahukan kepada orang lain. Terutama kakaknya yang merupakan seorang dokter. Apa yang akan dikatakan Dokter Tara tentangku jika ia tahu bahwa aku berniat mati sebelum ini.

Tidak lama sampai Dokter Tara mendapat panggilan untuk memeriksa pasien.

Aku kembali berdua dengan Rilay. Dia sedang memandangku ketika aku mengalihkan perhatian dari punggung Dokter Tara yang berjalan menjauh. Kembali aku menuju mata hijaunya yang tetap terlihat indah sesering apapun aku memandangnya.

"Habis ini aku ada terapi. Kamu mau ikut ngga?" Tanya Rilay disela senyumnya yang begitu mudah terbit sejak pertama kali kami bertemu.

Kesadaranku kembali. Aku melirik jam dinding di dekat stand makanan yang menunjukkan pukul 6 lewat beberapa menit. Sore sudah merangkak menuju malam. Dan aku menyadari bahwa aku sudah terlalu lama menghilang dari salah satu ruangan yang membuatku sesak sampai rasanya ingin mati. Aku berhitung dalam hati. Mengajukan pertanyaan yang tak memiliki jawaban pasti.

Aku menatap Rilay yang masih menunggu jawaban. Gadis di depanku ini harus melakukan pengobatan sedangkan aku tidak pernah siap untuk kembali berjalan di lintasan duri sendirian serta menyesap racun yang membuatku sesak napas. Kembali ke ruangan itu sama saja menyiksa diri sendiri, membawa ingatan buruk demi membuatku memiliki niat untuk mati secara jasmani.

"Rilay, aku boleh ikut kamu?" Akhirnya kalimat itu yang meluncur dari bibirku.

Rilay menyambutnya dengan sebuah anggukan, tidak lupa senyuman lebarnya yang begitu menawan. Bibirku tertarik ke atas demi perasaan lega yang tiba-tiba hadir.

"Aku terapi jam 7. Masih ada waktu buat jalan-jalan. Yuk!" Dia menarikku berdiri. Aku menurut sambil mengikuti langkahnya dari belakang. Hanya sebentar sebelum dia menggandeng lenganku untuk berjalan di sampingnya.

Kami berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit dan bangsal-bangsal yang lumayan banyak orang. Sejujurnya aku sedang merasa kurang nyaman dengan keadaan tubuhku sendiri. Aku ingat terakhir kali aku mandi adalah kemarin sore. Beberapa jam sebelum aku ditarik ikut ke rumah sakit hanya untuk menyaksikan kepergiannya. Lalu besoknya aku sudah tak memiliki daya karena terkhianati secara menyakitkan. Membuatku luntang-lantung tak jelas sampai akhirnya berlabuh di atap rumah sakit. Lalu berniat mati sebelum bertemu Rilay. Dan aku sama sekali tak menyentuh air untuk sekedar mandi atau minum, juga makanan. Bisa dibayangkan betapa lengket dan tidak nyamannya keadaanku karena masih menggunakan piyama polos hitam tanpa mandi, sikat gigi, ataupun cuci muka.

Love Is A Gift and A Miracle (Hiatus)Where stories live. Discover now