7 | Sebuah Alasan

Start from the beginning
                                    

Beberapa detik lengang. Menyisakan gelenyar abstrak yang membuatku merasa antara nyaman dan tidak nyaman. Ini aneh, namun aku bertahan sampai kalimatnya yang selanjutnya.

"Kamu sibuk ngga? Hari ini Minggu loh..., kalo aku ngajak kamu ngedate, kamu mau ngga?" Suara bernada jenaka ini mengundang senyumanku. Lagi-lagi dia benar-benar membawa kehangatan untukku. Kabut ketidaknyamanan itu akhirnya hilang. Berganti energi lain yang membuatku dengan patuh menyanggupinya. Seolah tidak ingin mengecewakan orang di seberang telepon ini.

Rilay. Perempuan zamrud itu benar-benar mematahkan niatku untuk tak bersosial selamanya. Ia membawaku melihat hal lain di antara gelagat hangat dan tatapan menghanyutkan dalam matanya. Seolah mengirimkan restu agar sekali lagi mempercayai orang lain.

"Aria, aku tunggu di Kafe Pelangi tiga puluh menit lagi ya..., sampai ketemu nanti!"

Tuut tuut tuut.

Aku menurunkan ponsel dan menatap layar yang sudah mati. Tiba-tiba merasa kehilangan karena tak mendengar nada ceria itu lagi. Menggantikan perasaan yang entah bagaimana membuatku ingin segera melihatnya. Euforia yang sama dimana aku pertama kali menyambut seseorang untuk memasuki hidupku. Akankah terulang lagi?

Kali ini, persahabatan atau kepura-puraan yang akan ditawarkan olehnya? Dalam tanda tanya yang banyak ini, aku menemukan celah. Kenapa Rilay selalu seperti berusaha mendekatiku dengan cara yang berbeda? Seolah sepeti ditakdirkan untuk berakhir seperti ini. Kami selalu bertemu dengan cara kebetulan. Saat di rumah sakit dan saat di kampus. Dan kali ini, dia bahkan sengaja mencariku.

Di sisi lain, aku tidak berusaha menolak kenyamanan ketika berada di dekatnya. Aku bersyukur karenanya. Dan bagaimanapun, saat ini aku sangat ingin bertemu dengannya. Setiap aspek dalam diri Rilay adalah magnet yang membuatku ingin terus menempel padanya. Tapi, di saat-saat tertentu, aku ingin menjauhkan Rilay dari diriku sendiri. Karena aku merasa tidak layak. Perasaan yang sama ketika meninggalkannya di rumah sakit. Juga kejadian bagaimana aku menghindarinya dan pulang tanpa pamit. Tapi hari ini, aku ingin menemuinya.

Tidak terburu-buru, aku melangkah ke kamar dan mengambil tas kecil serta sepasang sepatu kets merah yang selalu mengingatkanku dengan suasana menyenangkan saat berada di antara guguran daun maple. Tepat dua tahun lalu saat aku menerima sepasang sepatu merah sebagai hadiah ulang tahun yang agak terlambat.

Aku menghampiri sopir pribadi dan memintanya untuk mengantarku ke Kafe Pelangi. Pukul 10.00 pagi. Waktu yang tepat untuk menemuinya dengan matahari yang bersinar hangat. Udaranya tidak panas. Cenderung sejuk karena semalam hujan turun.

Kali ini, aku menebak ending bagaimana yang akan aku lalui jika kembali meninggalkannya. Ataukah Rilay akan berhasil menahanku di sisinya. Aku meragu.

***

Aku menyapukan pandangan dan melihat sosok Rilay di meja dekat jendela. Penampilan kasualnya lagi-lagi membuatku terkesan. Kemeja hitam polos dengan lengan digulung dipadukan celana cokelat yang terlihat sangat pas dalam paduan sepatu putih bergambar kucing di satu sisinya. Ia menggerai rambut panjangnya dan terlihat segar dengan sebingkai kacamata jernih yang gagal menyembunyikan mata zamrudnya. Cantik, seperti biasanya. Ia tengah memandang layar laptop di depannya dengan wajah serius. Sesekali melihat ke arah ponsel dan menyeruput secangkir minuman yang tidak kutahu apa itu.

Aku mendekat dengan senyuman ringan. Melihat Rilay, selalu menyenangkan. Perasaan hangat juga muncul begitu saja ketika ia mengalihkan pandangan dan tersenyum ke arahku.

"Akhirnya kamu sampai. Telat dua menit." Ujar Rilay menyambut. Aku tersenyum kecil dan duduk di depannya.

Rilay menutup laptopnya dan melepas kacamatanya. Ia memandangku sebelum bicara.

"Mau pesan apa?"

Sebenarnya aku tidak ingin makan apapun. Tapi, karena tawaran Rilay, aku tidak menolak. Hitung-hitung untuk membuat Rilay merasa nyaman dan dihargai.

"Ada saran? Ini pertama kalinya aku dateng ke sini." Ujarku setelah melihat buku menu dan tidak tahu harus memilih yang mana.

"Tentu. Crepe sama parfait di sini enak banget, loh. Mau coba?" Aku mengangguk saja. Rilay memanggil pelayan kafe yang mencatat pesananku dan tambahan pesanannya; sepiring crepe, satu gelas parfait cokelat, dan seporsi tiramisu.

"Aku baru tau kalo kafe ini jual makanan Prancis. Beda banget sama namanya." Komentarku setelah pelayan kafe pergi.

Rilay tertawa renyah. "Engga cuma makanan Prancis, dinamai Pelangi karena emang bermacam-macam. Di sini nyediain makanan dan minuman dessert dari banyak negara. Selain Prancis, mereka bikin makanan dari Jepang, Korea, sampai negara-negara bagian Eropa." Jelas Rilay membuatku mengangguk mengerti. Ternyata bisnis semacam ini memang sedang tren. Pantas saja di sini sangat ramai. Bahkan meskipun tak melihatnya langsung, di lantai dua dan tiga kafe ini, saat ini pasti penuh dengan pengunjung.

Kami diam beberapa saat. Aku sadar jika sedari tadi Rilay tengah memandangku terang-terangan. Aku menghindari matanya dengan pura-pura memperhatikan interior kafe yang memang sangat keren. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.

"Aria."

Aku menoleh dan mengangkat alis. Tanpa menjawab, memandangnya yang sedang tersenyum tipis. Mata zamrudnya berbinar terang.

"Kamu ngingetin aku sama seseorang." Suaranya terdengar dalam. Aku memandangnya dengan tanpa berkata apapun. Sejujurnya bingung harus bereaksi bagaimana.

"Apakah orang itu penting?" Tanyaku pada akhirnya.

Rilay terkekeh kecil dan mengangguk. "Sangat penting." Ucapnya membuatku tertegun.

Apa maksudnya? Lalu kenapa jika aku mengingatkannya dengan orang lain? Hanya membuatnya teringat, kan? Secara pribadi, aku tidak ada sangkut pautnya dengan apapun yang Rilay katakan. Namun, di sisi lain meski sangat samar, aku merasa bahwa Rilay sedang mengobservasiku. Membawaku pada penilaiannya hingga Rilay tanpa sadar selalu ingin mencari tahu tentangku. Lalu membandingkan kesamaan dan perbedaan.

"Sejak awal kita ketemu di atap rumah sakit, kamu pikir kenapa aku tiba-tiba bisa langsung sok akrab sama kamu? Kecuali kamu orang yang kukenal, aku ngga bakal pernah cari tau sampai ngajak ketemu orang asing. Tapi, untuk kamu..." Rilay menjeda. Mempertahankan senyuman di wajahnya. Pandangannya sangat dalam dan aku tidak tahu arti tatapan itu.

"Kamu terlalu menonjol untuk diabaikan. Keberadaanmu terlalu kuat buat kuasingkan. Ketemu kamu, aku ngerasa ketemu seseorang yang kukenal. Makanya, aku ngga pernah basa-basi karena aku tau banget gimana tipikal orang kayak kamu yang bakal selalu menuju inti, misterius, dan ngga bisa diprediksi."

Pelayan datang membawakan pesanan. Meredakan suasana sendu yang tiba-tiba menciptakan gelenyar aneh di sekitarku. Aku bahkan baru sadar bahwa Rilay seperti benar-benar sampai sedalam itu mengerti kepribadian orang lain. Meskipun tidak yakin apakah aku benar-benar orang yang seperti itu. Tapi, ada satu hal yang baru aku sadari. Bagaimana bisa aku menjadi sesuatu yang menonjol di matanya sedangkan selama ini, keberadaanku hanya eksistensi yang bahkan tidak terlalu kentara di hadapan publik?

Setelah pelayan pergi, Rilay menuju tiramisu-nya dan makan dengan tenang. Ia masih sehangat biasanya dan seperti tidak mengucapkan sesuatu yang membuatku sedikit terpangaruh.

Benar. Aku terpengaruh dengan kalimatnya.

"Apa ini buruk karena aku mengingatkanmu sama seseorang?" Tanyaku menujunya.

Rilay menggeleng. "Engga sama sekali." Ia memandangku, "justru aku ngerasa lega." Ujarnya sedikit sendu.

"Sebelum ketemu kamu, aku hampir ngga punya tujuan dan harapan. Bahkan berpikir bahwa aku bakal selamanya terjebak di rumah sakit."

Sesuatu menyentil sisi terdalamku. Tiba-tiba saja ribuan spekulasi masuk dalam pikiranku. Terlalu banyak sampai beberapa detik kemudian aku membisu.

"Kamu..."

🌻🌻🌻

Salam Neptunus 🧜‍♀️

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 22, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Love Is A Gift and A Miracle (Hiatus)Where stories live. Discover now