79 : Pertemuan

Depuis le début
                                    

Sarah menuju parkiran mobil yang luas, ia menemukan sosok pria dengan blazer berwarna biru dongker sedang membelakanginya, pria itu berdiri di depan mobil sambil memainkan ponselnya.

"Tamaaaa," sapa gadis lugu itu.

"Hah?" Dirga menoleh ke arah belakang.

"Dirga?"

"Oi, apa kabar?" tanya Dirga yang melihat Sarah berada di belakangnya.

"Em ... baik." Raut wajahnya berubah, ia terlihat kecewa.

"Sorry ya, kalo gua mengecewkan," ucap Dirga yang mengerti.

"Eh, enggak kok."

"Gua bukan, Tama. Dia ada acara, jadi dari pada tiketnya hangus, gua deh yang dateng, gapapa kan?"

"Gapapa kok," balas Sarah sambil mencoba tersenyum pada Dirga.

"Nih," Dirga memberikan kartu namanya.

"Di situ ada alamat gua, kebetulan gua sama anak-anak buka kafe kecil-kecilan gitu, namanya Mantra Coffee. Kalo ada waktu, dateng aja mampir."

"Oiii," Andis baru saja sampai, ia dengan santai berjalan ke arah Sarah.

"Belum selesai gua ngomong, udah lari aja. Yang bareng gua itu, Dirga."

"Ngomong-ngomong, makasih ya udah nyempetin dateng buat nonton peform gue," ucap Sarah berterima kasih.

"Santai aja, kita yang harusnya makasih udah dikasih tiket VIP konser gratisan," balas Andis.

"Yaudah, gue lanjut ke dalem dulu ya, kapan-kapan gue yang mampir ke Mantra Coffee," ucap Sarah yang pergi meninggalkan Andis dan Dirga.

Andis menatap Dirga.

"Lu ngash alamat mantra?"

Dirga hanya mengangguk.

"Kalo dia tau, Tama udah punya pacar gimana?"

"Ya bagus, dia jadi nyerah, terus lu masuk ke kehidupannya," jawab Dirga enteng.

"Lagi juga, Dis. Cepat atau lambat, dia pasti tau kok, cuma masalah waktu aja."

Andis hanya tak mau Sarah terluka akibat mengetahui, pria yang ia tunggu selama ini, sudah jadi milik wanita lain. Andis hanya bisa berdoa untuk kebaikan Sarah.

Siang telah berganti malam, kegelapan mulai menyelimuti dunia. Tak perlu waktu lama, malam ini juga, Sarah pergi berkunjung ke mantra.

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung. Sarah datang seorang diri, ia mengenakan kaos long sleeve berwarna putih, dibalut syal biru mudanya. Seluruh mata tertuju padanya, ia adalah wanita yang cantik, lesung pipinya menambah kesan manis rupanya. Untuk yang ke sekian kalinya, Andis dibuat membeku olehnya.

Dirga, Ajay dan Andis menyambut kedatangannya. Namun, seseorang yang Sarah cari tak kunjung hadir.

"Tama masih kuliah, bentar lagi juga pulang," ucap Ajay yang melihat gelagat Sarah.

Mata Sarah tertuju pada instrumen musik yang berada di pojokan tembok yang dekat dengan bar. Ada dua buah gitar, satu bass, kahon dan keyboard.

"Kalo mau main, main aja, yang biasa main lagi pada libur," ucap Dirga yang mengingat malam ini Aqilla tak ada jadwal manggung di mantra.

Gitar itu ga ada ya?

"Kalo cari gitarnya, Tama, ada di atas, mau gua ambilin?" ucap Andis peka.

"Eh, ga usah."

Sebelum memainkan musik, Sarah memesan affogato. Menu yang pas sekali untuk menemani malam yang agak panas ini. Ia meraih gitar dan mulai memainkan sebuah lagu. Hingga akhirnya seekor kuda vario biru datang membawa pangerannya. Sarah yang sedang memainkan sebuah lagu, tiba-tiba dibuat membeku oleh ke hadiran pria ter cool sejagad raya itu.

"Tam--" belum selesai Sarah menyapanya.

Seorang wanita berambut bob sepanjang leher dengan jaket kuning menempel di belakang Tama. Mereka tampaknya sedang membicarakan sesuatu.

Cring~ pintu terbuka, Tama menatap ke arah wanita yang tak asing baginya.

"Sarah?" ucapnya agak ragu.

"Hey," balas Sarah.

Ya, ternyata itu memang sosok Sarah Danila Sari, yang ia kenal. Syal biru itu memperkuat keyakinannya. Mereka cukup lama saling berpandangan.

"Itu, siapa?" tanya Sarah yang menunjuk Aqilla.

"Oh, ini Aqilla, yang biasa main musik di sini," celetuk Andis.

"Oh gitu, boleh ga coba bawain satu lagu aja?" pinta Sarah.

"Boleh kok," jawab Aqilla.

"Aku request lagu yang agak romantis ya."

"Hmm ... oke." Aqilla memilih instrumen piano, entah kenapa, ia sedang dalam mood yang kurang bagus untuk memainkan gitar. Ia membawakan lagu Rizky Febrian, kesempurnaan cinta.

Sementara ia memainkan musik, Sarah dan Tama duduk berdua, mereka tampak sedang berbincang. Jujur, Aqilla merasa cemburu, ia seakan menjadi pelengkap hubungan di antara mereka. Kualitas permainannya lambat laun menurun, ia kehilangan mood nya.

Selesai Aqilla membawakan lagu, ia menghampiri Tama.

"Awalnya asik, tapi kok lama-lama aneh ya?" tanya Sarah pada Aqilla.

"Ya, emang gitu mainnya," jawab Qilla ketus.

"Mending, mulai besok, aku aja yang tampil di sini," ucap Sarah pada Andis.

Tentu saja membuat Aqilla kehilangan kesabaran, urat sabarnya putus.

"Aduh--" Aqilla sepertinya ingin meledak.

"Dia pemain gitar." Tama memotong Aqilla yang hendak meledak.

"Ohhhh."

"Dan dia itu--pacarku," lanjut Tama yang tersenyum pada Qilla.

"Pacar?" Sarah mengerutkan dahinya, ia tak percaya bahwa Aqilla adalah pacar Tama.

"Permainan gitarnya, ga ada duanya loh," puji Tama.

Aqilla tersenyum, emosinya turun. Tama selalu bisa membuatnya tenang. Sebaliknya, Sarah terlihat lemas, tatapannya sendu, entah apa yang ia lihat, semua tampak kabur. Air-air itu sudah bersiap jatuh ke lantai, tapi Sarah masih bisa menahannya, ia tak berani mengangkat kepalanya. Penantiannya berakhir, selama lima setengah tahun ia menyukai Tama. Gadis itu menunggu selama empat tahun untuk momen ini, tetapi malah ini yang terjadi, hati milik Tama sudah habis tak bersisa. Wanita berjaket kuning itu yang memilikinya.

"Sar?"

"Hallo, Sar?"

Tama memanggil namanya, tetapi ia enggan untuk menatap Tama. Sarah melipat kedua tangannya di atas meja dan membenamkan kepalanya. Ia menangis. Tama dan Aqilla saling bertatapan.

"Segitu jeleknya ya? Permainan aku tadi?"

Tama hanya menggeleng, masih menatap Aqilla. Begitu pun juga Andis, Dirga dan Ajay yang menggeleng melihat Tama.

.

.

.

Mantra Coffee ClassicOù les histoires vivent. Découvrez maintenant