78 : Sebuah Fatamorgana

Start from the beginning
                                    

"Lo--" Andis menatap dalam ke arah syal biru yang Sarah gunakan.

"Masih sayang banget ya, sama, Tama? Syal itu, punya, Tama, kan? Syal kesayangan dia, yang dia selalu pake kemana aja, waktu masih kecil."

Sarah hanya diam tak berani menatap Andis.

"Sempet kaget, waktu tiba-tiba, Tama ga pake syal itu lagi. Gue pikir rusak atau hilang--dan ga nyangka ternyata ada di lo, Sar." Andis mencoba mengorek penjelasan dari Sarah. Ia tahu bahwa Sarah suka dengan Tama, ketika masih SMA. Namun, tentang syal biru itu, kenapa Tama memberikan benda kesayangannya pada Sarah? Yang Andis tahu, Tama tidak memiliki perasaan yang sama dengan Sarah.

"Iya--"

Jawaban Sarah membuat Andis menatap matanya.

"Iya, gua masih suka dia. Gua bersyukur dia baik-baik aja, gua bersyukur dia udah punya banyak teman, gua bersyukur kalo dia udah bersahabat dekat sama gitar, dan--"

"Gua bersyukur dia ada di Jogja," ucap gadis itu dengan wajah yang terlihat malu-malu menyembunyikan bahagianya.

"Dia itu ... selalu sendirian. Dari atap sekolah, ngeliatin anak-anak lain yang lagi main di bawah. Dia itu ga berani ngomong dan ngungkapin apa yang dia suka dan apa yang dia ga suka. Gua ngajarin dia gitar, karena gitar itu bisa nemenin seseorang yang kesepian. Alunan melodi dari senar-senar yang dipetik itu, ga bisa bohong, apa yang lo mainkan ... adalah apa yang lo rasakan."

"Mirisnya, ketika gua pergi, bukannya dia yang terlihat kesepian, tapi ... gua--"

"Dan dia ... berusaha gantian, menghibur gua. Dia ngasih syal ini, dan itu--sangat berarti buat gue."

Dan yang lebih miris adalah, sekarang pria itu, udah punya seorang di sampingnya, batin Andis menatap mata gadis yang sangat menyukai Tama.

"Sebenernya, Tama itu--" Andis menatap gadis itu yang sedang menatapnya juga. Andis ingin mengutarakan kebenaran tentang Tama dan Aqilla, tetapi Ia tak tega menghancurkan hati Sarah.

"Tama itu?" tanya gadis itu yang penasaran, karena tiba-tiba saja Andis tak melanjutkan kalimatnya.

"Iya, Tama itu--" Andis menggaruk-garuk kepalanya.

"Tama itu?" Sarah mengerutkan dahinya, sambil menunggu Andis menyelesaikan kalimatnya.

"Lebih tua dari kita tau," ucap Andis melebar kemana-mana, ia asal bicara, ia mengeluarkan kerandoman isi kepalanya dan mengurungkan niatnya.

"Eh? Serius? Kok aku ga tau, kirain seumuran."

Ga boleh, sebentar lagi, Sarah mau perform, kalo sampe dia jadi galau, itu bisa berdampak sama permainan dia nanti. Sekarang bukan waktu yang tepat.

"Hahaha dia emang pertumbuhannya cepet."

"Lo jadi makin aneh, Dis. Eh--enggak deh, ga berubah sama sekali." Sarah tersenyum melihat Andis yang menurutnya tak berubah sedikit pun.

Tak lama setelah memberikan tiket konsernya, mereka berpisah. Andis seorang diri, duduk sambil menikmati sempol ayam yang baru saja ia beli.

Ga nyangka, selama ini dia ada di Jogja.

Andis hanya menatap dua lembar tiket yang Sarah berikan. "Tama, ya?"

Setelah puas dengan sempol ayam, Andis memutuskan untuk pulang. Ia masih tak percaya bahwa sosok yang selama ini ia kagumi, berada di pelupuk matanya. Selama ini mereka berada di kota yang sama. Sesampainya di mantra, Andis melihat Aqilla yang sedang duduk sambil memainkan hp nya.

"Hey, cantik," sapanya.

"Eh, Andis, abis dari mana?" tanya Aqilla.

"Biasa, sunmor."

"Wih, ajak-ajak dong kalo mau ke sunmor."

"Tapi jangan ajak, Tama ya, kita berdua aja?"

Aqilla menatap Tama yang berdiri di belakang Andis.

"Boleh?" tanya Aqilla.

"Boleh dong," jawab Andis.

"Ga nanya kamu, nanya orang yang di belakang kamu," jelas Aqilla sambil tersenyum.

Firasat gua, ga enak nih, Andis menoleh ke belakang. Tama sedang menatapnya tajam.

"Eh--Bang, becanda, Bang," ucap Andis yang pelan-pelan berjalan masuk ke mantra.

Tama masih menatapnya tajam. Hingga Andis berada di depan pintu, ia menghentikan langkahnya.

"Tam, lu mau nonton konser ga? Solo piano gitu," ucap Andis.

"Kalo sama Aqilla, mau," jawab Tama.

"Oke, gua anggap lu ga mau," balas Andis sambil meneruskan langkahnya.

Andis mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

"Rumit, rumit, rumit ...," gumam Andis yang duduk di toilet, entah sudah berapa lama.

Brak! Brak! Brak!

"Oi, Dis, lu mandi apa mati?" Dirga mengetok pintu kamar mandi dengan keras, sudah hampir satu jam Andis tak keluar.

"Iye, tunggu," teriak Andis.

Tak lama setelah itu, Andis keluar dari kamar mandi.

"Lama amat lu," ucap Dirga sambil masuk ke kamar mandi.

Dirga membuka bajunya.

"Dir, tadi gua ketemu, Sarah di sunmor," ucap Andis yang berada di belakangnya.

"Anjir kaget! Keluar lu! Kapan masuknya anjir, horror!" Dirga mengusir Andis yang masuk ketika ia hendak menutup pintu kamar mandi.

Beberapa menit berlalu, Dirga keluar kamar mandi. Ia menghampiri Andis yang sedang duduk sambil menikmati secangkir long black.

"Terus gimana?" tanya Dirga.

"Kayaknya--"

"Udah waktunya gua harus nyerah," ucap Andis sambil menyeruput kopi hitamnya.

"Lagi juga, ini cuma perasaan lama yang masih membekas doang. Sebuah fatamorgana."

Andis memberikan sebuah tiket konser pada Dirga, "mau nonton? Konsernya, Sarah."

"Boleh," jawab Dirga sambil mengambil tiket itu di meja.

.

.

.

Mantra Coffee ClassicWhere stories live. Discover now