•6•

123 16 28
                                    

Kedua netra pria itu berkaca-kaca. Ia mencoba memacu tungkainya untuk berlari, tetapi berakhir melangkah sempoyongan, menyenggol guci pajangan dan vas bunga berisi air, hingga berserakan pada lantai marmer.

Rahasia itu terungkap.

Dunianya memudar.

Lutut Tae menghantam lantai. Ia nyaris tersungkur ambruk. Kepalanya berdenyut pening dan rasa nyeri di dadanya kian memberontak. Pria itu kembali mencoba bangun dan berlari dengan dinding kastel sebagai penuntun. Hingga akhirnya mencapai sebuah ruangan besar, ia melesat cepat ke dalamnya, membiarkan sapuan ujung mantel bulu berwarna hitamnya menyapu lantai dengan gerakan tak anggun.

Sesuatu memang telah terjadi, karena tepat di depan potret lukisannya, Lilac bersimpuh dengan gaun kotor dan pandangan mata kosong—juga rak kayu berhias emas yang telah tersingkir ke samping; menampilkan lorong tempat ruangan tersembunyi itu berada.

Tae dengan tenaga serasa terkuras habis mengentak pintu hingga tertutup rapat dan menutup akses menuju lorong itu. Dengan tempo tarikan napas yang semakin tak teratur, ia mendorong rak berhias emas tersebut ke tempat semula, sebelum punggungnya merosot di sana.

“Bagaimana bisa kau menyembunyikan hal semacam itu di dalam sana?” Lirih sang wanita.

Tae menjilat bibirnya yang mengering, telapak tangannya tersengat dinginnya lantai marmer tatkala menjaga punggungnya tetap tegak.

“Itu demi kelangsungan kota ini. Dengan dirinya yang terkurung di sana, aku bisa membangun kota megah ini, Lilac. Aku bisa bahagia dengan caraku sendiri.”

Sang lawan bicara mengedip lelah, ia menatap sendu ujung pakaian nya yang basah penuh kotoran. Lilac menjawab pelan, “Senyuman di bibir itu bukan berarti benar-benar bahagia. Sorak-sorai suka cita tidak murni hanya dibangun dari perasaan tulus. Itu semua ... mungkin saja hanya dusta.” Ia melanjutkan dengan tatapan beralih ke arah sang pria, “Kau benar-benar menyembunyikan hal sebesar itu, Tae. Kau memilih menempatkanku tidak di sisimu.”

“Aku bukannya menempatkanmu tidak pada sisiku. Tetapi sesungguhnya, sisi kita masing-masing terlalu berjauhan. Kita terlalu kontras, dan mencoba untuk menyesuaikan diri pada wadah dunia yang sempit.” Netra Tae meloloskan bulir air mata. “Tidak semudah itu untuk menaiki kereta api dari stasiun dan meninggalkan kota ini selamanya. Tidak semudah itu untuk memilih kebimbangan dan ketidakpastian yang menunggu, daripada kebohongan manis yang memerlukan korban. Aku ...” Tenggorokannya serasa perih kala melanjutkan, “Aku terlalu sakit untuk menunggu bahagia sesungguhnya itu datang. Rasa bersalah nyaris membunuhku, tapi aku tak bisa melakukan apapun. Aku hanya mencoba bertahan dengan kedua kakiku.”

“Tae,” Lilac menyeret tubuhnya kearah sang pria, ia menjulurkan tangan kearahnya, “Pegang tanganku, Tae. Kita pergi bersama dari kota ini. Kereta itu, selalu menunggu penumpang.”

Sorot mata Tae meredup. Ia memilih menegakkan punggung, mengabaikan uluran tangan Lilac.

Pria itu berjalan pelan menuju balkon dan menatap pemandangan kota dari sana. “Biarkan aku membuat aturan dan pijakanku sendiri. Aku ingin bertahan di kota ini lebih lama, Lilac, bersamamu atau tanpamu. Aku tidak akan mendatangi stasiun itu juga, tidak akan. Tidak hari ini.”

Seketika ia kembali mendengar semarak suara festival dan aroma musim semi.

Kotanya kembali hidup, meski dari sisa reruntuhan yang tak sama lagi.


•¤•


Kota megahnya berubah. Begitupun dengan Lilac. Begitupun dengan sosok yang dikurungnya di dalam jeruji besi berkarat. Begitupun dengan dirinya.

“Tae,” Bisik wanita itu.

Tae beralih dari lukisan dirinya yang ia amati sedari tadi. “Lilac,” Ujarnya menjawab dan menggapai kedua tangan sang gadis, memakaikannya gelang dengan rantai yang membatasi pergerakan. Pemuda itu juga memegang pergelangan kaki Lilac dan memasang benda yang sama disana.

“Berhentilah mengekangku lagi.” Sederet kalimat itu adalah kata terakhir yang diucapkannya, sebelum menutup mata Lilac dengan kain tipis berwarna putih dan menuntun wanita itu menuju lorong lembab dibalik dinding kastel, sebelum kemudian menutup pintu akses lorong itu dan memosisikan rak berhias emas tepat menutupi tempat tersebut.

Begitulah ia memperlakukan rahasia dan sisi terang dirinya. Begitulah caranya untuk berbahagia. Karena ia memilih tetap berada di kota ini. Karena ia bukanlah salah satu orang yang pergi meninggalkan kota ini.


[The end]

Uhtceare || ✔Where stories live. Discover now