•2•

164 17 10
                                    

“Tanah di kota ini begitu subur. Sumber daya terbentang luas dengan jumlah yang bahkan tak akan habis dimanfaatkan untuk kebutuhan.”

Tae berpaling dari cumbuan manis Lilac yang mendadak kehilangan pamor di matanya.

Pria itu kini berjalan lebih dekat ke arah balkon. “Lihatlah semarak festival itu.  Lihatlah tawa dan canda para penduduk. Lihatlah senyum di wajah mereka.” Ia meremas bebatuan penyusun balkon dengan erat. “Kebebasan, kebahagiaan, gairah, dan semangat memenuhi setiap jalanan di kota ini.”

Lilac menekan kedua belah bibirnya rapat. Ia memilih kembali mengambil jarak mendekat, membawa lengannya merangkul bahu Tae.

Sang pria melanjutkan lantang, “Para penduduk di kota ini bahagia. Aku ... bahagia.”

Tae kini beralih menatapnya. Pria itu menariknya pelan dan membuat punggungnya menghadap balkon. “Kau adalah salah satu orang yang  selalu bersamaku. Jadi, nikmatilah kota ini seperti aku dan para penduduk di sini.”

Lilac memejam diam ketika kecupan pria itu mendarat di keningnya lama, seakan mencoba meyakinkannya akan sesuatu. Ia lalu berakhir memeluk tubuh semampai Tae.

Tidak ada lagi ujaran tentang tanah kota yang di pijaknya ini, penduduknya yang selalu mengulum senyum, atau bahkan stasiun kereta api di ujung sana, yang seakan berdiri kontras dengan semarak kehidupan yang tersaji di sini—terasingkan, tetapi masih bagian dari kota ini.

Sesaat kemudian, Tae mengangkat tubuhnya. Kuasa dirinya kini sepenuhnya berada di tangan pria itu. Lilac menyambut kehangatan dekapan dan manis bibir yang tak terelakkan.

Sang pria sempat termenung menatap tubuh Lilac yang dibalut gaun putih cerah dengan ujung menjuntai hingga menyapu permukaan lantai.

Ketika membaringkan Lilac pada ranjang, sekali lagi Tae mengamati wanita itu dalam jeda waktu yang cukup lama. Satu tangannya membelai rambut pirang yang terurai bebas pada seprei. Jemarinya bermain mengikuti garis rahang sang wanita. Ia merendahkan tubuhnya, menarik selimut beludru ungu dan membalut tubuh mereka di dalamnya.

Saat bibir keduanya kembali bersua, saat jarak telah sepenuhnya sirna, kelopak mata Tae memejam erat dan satu bulir air mata lolos dari netranya.


•¤•


Ujung jubah tidur sutra berwarna hitam yang tengah dikenakannya nyaris menyentuh permukaan lantai marmer.

Tae duduk terdiam di atas ranjang. Bukan lagi bersama Lilac, melainkan hanya dirinya seorang, ditemani malam yang melolong dan bulan yang sesekali mengintip dari tirai balkon yang tertiup angin.

Tak seorangpun selain dirinya yang diijinkan memasuki kamar megahnya ini. Waktu yang dihabiskannya bersama Lilac, hanyalah siang hari singkat di dalam ruangan pribadi milik wanita itu.

Kali ini ia kembali sendiri. Tak mampu menutup mata dan menyerahkan kesadaran pada mimpi dengan kabut keresahan, kekhawatiran serta ketakutan dalam pikiran.

Tidak. Jangan biarkan kabut itu semakin mengaburkan pandangan. Cahaya redup bulan akan segera digantikan oleh terang cahaya mentari. Aroma musim semi akan menyambut manis indra penciuman, layaknya aroma roti dan potongan daging berbumbu.

Suara denting sendok yang beradu dengan cangkir kopi, akan menggema dari setiap kedai, berbarengan dengan suara anggur yang tertuang dari botol kaca.

Semarak festival akan membahana. Senda gurau orang-orang terdengar di jalanan dengan tawa dan senyuman yang terukir pada wajah-wajah mereka.

Para penduduk menyambut kehadirannya dalam suka cita, seperti biasa. Seperti hari-hari penuh harapan yang dijalaninya.

Tae kini meloloskan hembusan napas singkat. Ia sejenak membungkuk dan menarik sebuah kotak dari bawah ranjangnya. Perlahan, ia membuka kotak kayu berukir itu hingga menampakkan sebuah kunci yang disimpannya dengan begitu hati-hati di dalam sana.

Ia mengambil benda logam itu dan mendekat ke arah lukisan yang menampilkan potret dirinya dalam iringan suka cita penduduk dan kota megah tempatnya berada.

“Tak ada yang perlu dipikirkan. Aku berada di dalam kotaku yang indah. Semua akan baik-baik saja. Kebahagiaan akan selalu berada di sisiku.” Tae melanjutkan sambil memegang erat kunci di dalam genggaman tangannya. “Selama aku tetap berada di kota ini. Selama ... kau tetap terkurung di dalam sana.” [¤]

Uhtceare || ✔Where stories live. Discover now