6 | Kiss The Rain

Start from the beginning
                                    

"Ampuni hamba ya Tuhan. Semoga Kau panjangkan umur teman hamba yang satu ini. Aamiin." Aku tersenyum kecil mendengar nada pasrah dalam suara Ruby. Ia lebih memilih mengakhiri perdebatan dengan kalimat sarkas yang berhasil membuat Rilay berlari ke arahnya dengan kemoceng di tangannya.

Sedari tadi aku hanya bisa menikmati pertengkaran mereka. Mereka sangat alami, bersikap apa adanya, dan tidak mudah tersinggung. Hubungan pertemanan mereka pasti sudah melalui banyak hal hingga bisa seerat itu. Membuatku sedikit menginginkannya. Walaupun hanya khayalan, semenjak aku bertemu dengan Rilay dan merasa diterima menjadi temannya, aku sedikit banyak mulai berpikir tentang sebuah pertemanan.

Bagaimana jika aku menjadi bagian dari mereka? Bicara santai tanpa tedeng aling-aling karena harus menjaga perasaan satu sama lain. Mempraktikkan canda tawa sampai benar-benar puas hingga muak bertemu. Karena, katanya sahabat kan seperti itu. Seseorang yang menerimamu, membuatmu bosan bertemu dengannya, tapi anehnya dia satu-satunya yang berharga buatmu dalam circle sosialisasi. Aku tidak terlalu yakin tentang itu sebelum bertemu mereka berdua. Karena aku dapat bukti itu setelah melihat bagaimana mereka bersikap satu sama lain. Mereka saling menyayangi, dengan cara menyenangkan dan menurutku aneh. Tapi, bukannya memang harusnya begitu?

"Hoy! Bengong aja. Ditempelin setan baru tau rasa kamu!" Aku menengok demi mendapati Rilay yang sudah cengengesan di sampingku.

Sejak kapan dia di dekatku?

"Sampe ngga sadar masukin buku overload gitu." Lanjutnya lagi membuatku menoleh ke arah tanganku yang kulihat sedang menjejalkan buku kecoklatan ke dalam antrean rak yang sudah tak muat. Aku menarik tanganku lalu meletakkan buku itu di sisi satunya yang masih kosong.

"Hehe..., ngga sadar. Kepikiran mata kuliah terakhir." Ujarku asal. Enggan mengakui kekosongan batinku yang selalu menjeritkan sakit dan derita. Huh, bahasaku bahkan menjadi lebih puitis.

Rilay terkekeh di sampingku. Menyadari satu hal, aku mengitari sekitar dengan pandangan meneliti. Mencari keberadaan makhluk bernetra beda warna sahabat Rilay yang unik itu.

"Guys, coba tebak apa yang kutemuin!" Baru dicari, Ruby keluar dari tumpukan tinggi buku di pojok ruangan. Wajahnya sedikit cemong di pipinya. Dia mengarahkan tangannya, meminta aku dan Rilay untuk mendekat.

"Apaan?" Meski bernada ketus, Rilay tetap mendekat. Aku mengikuti, sedikit penasaran.

Ruby berjalan mendahului. Ia masuk ke balik tumpukan buku yang membukit dengan Rilay dan aku yang mengikuti di belakangnya. Udara dan aroma buku tua menguar begitu saja. Cukup khas dan agak apak, tapi semuanya teralihkan ketika mendapati sebuah pintu kayu berwarna krem yang sudah banyak mengelupas, dengan gembok di ujung gagang yang terbuka. Ruby menarik gagang pintu sehingga menimbulkan derit menyeramkan seperti dalam film-film horor. Ia membuka perlahan hingga menampakkan sesuatu yang menarik mataku.

"Wow, ruangan rahasia?" Gumam Rilay yang dapat kudengar dengan jelas.

Kami masuk ke dalam ruangan yang remang tersebut. Hanya berbekal cahaya yang berasal dari bohlam di perpustakaan dalam, terlihat sebuah ruangan berdebu dengan lantai marmer dan sebuah benda di tengah-tengah ruangan itu; piano. Rilay menghidupkan lampu flash dari hp-nya dan meraba dinding demi menemukan saklar sebuah chandelier di langit-langit yang cukup tinggi. Satu hal yang kusadari, ruangan ini lebih luas dan mirip dengan aula pesta dansa. Dindingnya berwarna putih yang telah banyak memiliki bercak kekuningan dan beberapa bagian mengelupas.

Ruangan berdebu ini membuatku teringat dengan nuansa eropa klasik. Sempurna untuk sebuah kenangan sekaligus dijadikan tempat misterius bagi para pemburu hantu. Kental dengan aura kesepian.

"Perpustakaan dalam selalu nyimpen misteri. Ternyata bener apa kata senior. Pasti mereka pernah mergokin ruangan ini juga," ujar Ruby mendekati piano.

"Hah? Senior siapa? Kok aku ngga pernah denger?" Rilay menyahut bertanya. Ikut mendekat ke arah piano yang tak kalah berdebu.

Rilay menepuk-nepuk bangku kecil di depan piano dan duduk di atasnya setelah memastikan tidak ada debu menempel. Ia membuka penutup piano dan mulai menekan tuts bernada "sol". Wajahnya terlihat lebih baik dengan binar di matanya.

"Bang Panji. Kamu ngga kenal. Dia udah lulus dari dua tahun lalu." Jawab Ruby.

"Kamu bisa main piano?" Tanyaku setelah sekian lama mengunci suara sedari tadi. Pandanganku hanya berfokus pada tuts hitam putih yang menarikku lagi ke masa-masa SMA. Menggambarkan slide kenangan saat pertama kali aku bertemu dengan sosok yang kini telah jadi mantan kekasihku.

"Lumayan. Mau denger satu lagu?" Tanya Rilay menatapku tersenyum. Aku balas mengangguk dan berdiri di sampingnya.

Lalu, mengalunlah irama-irama yang melengkapi memori dalam kepalaku. Lagu yang sama dengan yang kumainkan dulu ketika seorang laki-laki tiba-tiba memasuki ruang musik dengan napas ngos-ngosan dan cengiran khasnya. Mau tak mau aku merenungi pertemuan itu dengan rasa rindu yang tidak bisa kupungkiri. Lagu ini. Lagu kesukaanku yang kini berubah menjadi lagu kesedihan.

Kiss The Rain.

Fokusku tak lagi ada pada Rilay. Menghela napas panjang, aku melangkahkan kakiku keluar dari ruangan itu dengan perasaan berat. Aku ingin menangis, lagi.

Tanpa memperdulikan panggilan Ruby atau Rilay, aku melupakan hukuman merapikan buku di perpustakaan dalam. Menyambar tas dan buku tugasku, lalu keluar dengan tergesa karena mataku mulai memanas. Tujuanku hanya satu. Pulang.

🌻🌻🌻

Salam Neptunus 🧜‍♀️

Love Is A Gift and A Miracle (Hiatus)Where stories live. Discover now