Berita Kehilangan

Start from the beginning
                                    

Oh damn!

Sebuah kesadaran seketika menghantam kepalaku. Begitu jelas, begitu getir, teramat menyesakkan. Aku terperenyak. Bodoh! Kenapa baru sadar sekarang?

Ulang tahunmu persis sehari sebelum abangmu diculik paksa!

Tanpa sadar, aku membungkam mulutku sendiri dengan telapak tangan. Air mataku berlomba-lomba untuk keluar.

"Iya, bener. Sehari sebelum Bang Adhy menghilang. Itu ulang tahun terakhirku bersama Bang Adhy. Kami hanya merayakannya berdua di loteng rumah. Tanpa Bapak karena pada saat itu sudah seminggu lebih beliau belum pulang berlayar."

"Di jam 12 malem, tiba-tiba pintu kamarku diketuk oleh seseorang. Jujur aja, aku ketakutan banget. Kukira penculik. Bapak bilang akan pulang tiga hari lagi, tapi, kenapa ada orang ngetuk pintu malem-malem?"

"Kamu nggak menduga kalau itu Bang Adhy?" tanyaku setelah berhasil mengendalikan emosi.

"Nggak sama sekali. Aku udah pasrah akan merayakan ulang tahun seorang diri. Bapak berlayar. Bang Adhy jarang pulang ke rumah. Apa yang diharapkan? Tapi, ketukan itu seketika terhenti lalu diganti suara lembut Bang Adhy yang mengucapkan 'Selamat ulang tahun, Panutan Alam Semesta'."

Seketika itu juga, air matamu berhamburan keluar. Aku segera mendekapmu erat ke dalam pelukan. Kemejaku lantas basah oleh hangatnya air mata. Kutepuk punggungmu lirih untuk menenangkan. Tubuhmu bergetar hebat karena isak tangis. Luka yang berusaha kamu tahan seorang diri selama bertahun-tahun, akhirnya tumpah ruah bersama segala kenangan memilukan.

Aku paham, Alam. Gentar bagimu untuk menangis. Akan tetapi, jika kamu sudah menjatuhkan air mata seperti ini, tentu saja beban yang kamu tanggung luar biasa berat. Barangkali, malam itu adalah titik terapuhmu.

"Kak Alam, kalau nggak sanggup, nggak perlu diteruskan. Menceritakan masa lalu memilukan sama halnya dengan menyingkap luka lama."

Kamu menggeleng tegas. "Nggak, Ya. Aku tetep mau ceritain ini sampai selesei. Seenggaknya, untuk memberitahumu kalau aku pernah punya Abang terhebat yang selalu abadi dalam kenangan walau raganya sampai detik ini nggak pernah ditemukan."

Hatiku mencelus. Perlahan, air mataku ikut menetes. Jatuh membasahi punggungmu.

Setelah hening yang cukup lama dan air matamu mulai mereda, kamu pun melanjutkan cerita. "Abis kubukain pintunya, emang bener itu Bang Adhy. Tapi, ada yang beda sama sosoknya pada saat itu. Dia keliatan makin kurus, rambutnya juga nggak terurus. Ada luka bekas jahitan di pelipis kiri, plester luka di hidung, ujung bibir yang sobek, dan lebam kebiruan di rahang bawah. Waktu aku tanya kenapa bisa babak belur, dia cuma bilang abis kepleset tangga darurat di kampus. Gampang banget ya boongin anak kecil," sahutmu, sendu.

"Tiba-tiba, Bang Adhy membebat mataku pake kain item. Dia membawaku ke loteng atas. Begitu sampai di lokasi tujuan, penutup mataku dibuka. Aku bahagia sekaligus terharu, Ya. Di sana ada kue ulang tahun berukuran kecil dan sebuah hadiah dibungkus kertas kado. Nyanyian lagu Happy Brithday mengalun dari bibir Bang Adhy. Lilin-lilin kecil di atas tart mini mulai dinyalakan. Bang Adhy sengaja pulang ke rumah untuk menyiapkan kejutan itu di hari ulang tahunku. Secara refleks, aku meluk dia. Lama banget. Ternyata, Bang Adhy nggak berubah. Dia masih abangku yang perhatian. Dia masih ingat ulang tahunku walau bisa diitung jari kapan dia pulang ke rumah. Aku udah salah menilainya selama ini." Jeda sejenak.

"Tapi, Ya...."

"Apa?"

"Setelah acara kejutan kecil-kecilan itu selesei, Bang Tirta pergi lagi dari rumah. Pada malam yang sama. Jadi, dia cuma dateng ngasih kejutan, ngucapin selamat ulang tahun, terus pamit mau balik ke kampus secara tergesa-tegas. Sebelum beranjak dari teras rumah, dia sempet mengingatkan untuk menyimpan kadonya dan memahami isinya. Nggak harus sekarang. Nanti, kalau aku udah lancar membaca.'

"Nggak ada keinginan darimu untuk mencegah kepergiannya?"

"Iya. Aku merajuk. Tapi, lagi-lagi Bang Tirta cuma bisa senyum. Lalu, memelukku sangat erat seolah nggak rela melepaskan. Detik-detik sebelum dirinya pergi, dia berbisik begini, aku ingat sekali,

'Alam, jaga diri baik-baik, ya. Abang sayang banget sama kamu. Maaf, kalau selama ini Abang belum jadi abang yang baik buat kamu. Abang akan selalu merindukanmu, Alam. Sampaikan juga pesan Abang kepada Bapak. Bilang sama Bapak, Abang pamit pergi dulu. Yakinkan Bapak kalau Abang pasti kembali. Abang pasti pulang ke rumah. Kita akan bertemu lagi di Indonesia yang lebih demokratis. Indonesia yang lebih membebaskan rakyatnya untuk berpolitik, berekspresi, dan menyuarakan aspirasi. Indonesia yang tak lagi membungkam aktivis dan mahasiswa kritis. Ya, kita akan bertemu kembali di Indonesia yang seperti itu. Semoga saja, ya, Alam. Semoga saja.

Aku hanya bisa mengangguk lirih lalu membiarkan sosoknya beranjak dari teras untuk membuka pagar. Memerhatikan nanar punggung berbalut kemeja putih itu membelah remang-remang jalanan. Seandainya aja aku tahu itu pertemuan terakhirku dengan Bang Adhy, aku pasti menahannya untuk lebih lama lagi di rumah."

Satu hal yang kusadari dari ceritamu, Laut, ternyata kebebasan yang sekarang ini kita nikmati ternyata mahal harganya. Aku tertampar kenyataan bahwa selama ini ... aku sosok yang apatis dan non-politis. Sungguh, aku menyesal. Padahal, dulu orang lain mati-matian memperjuangkan kebebasan berkekspresi yang saat ini kita nikmati bahkan hingga rela menumbangkan nyawanya sendiri.

▪︎▪︎▪︎

Titik TemuWhere stories live. Discover now