Menyalahartikan Tindakan

186 38 9
                                    

7 Oktober 2020

Terkadang, aku iri terhadap para gadis yang berada di dalam satu naungan organisasi yang sama denganmu. Sungguh. Mereka bisa tanpa canggung merangkul bahumu, bertukar pikiran pada diskusi siang-malam bersamamu, mengajakmu becanda, atau sekedar obrolan ngalor-ngidul yang tak begitu berarti.

Sementara aku?

Aku tak pernah seberani itu. Aku hanyalah Rayanina Pasha, ibarat perairan tenang zona litoral yang menghanyutkan dan tanpa riak. Hal itu sangat bertolak belakang jika disandingkan dengan Panutan Alam Semesta, si lautan lepas di pantai Banzai Pipeline yang penuh ombak besar nan menggebu-gebu.

Sehingga, aku cukup sadar diri untuk  sekadar mengagumi tulisan-tulisanmu di rubrik opini UNSILA daripada harus bertatap muka secara langsung. Aku tidak punya nyali, Alam. Kamu boleh menganggapku payah. Membaca opinimu, melihatmu dari kejauhan, mendengarkan diskusimu secara diam-diam, bagiku sudah luar biasa menyenangkan. 

Namun, cara kerja semesta tampaknya terlalu misterius. Ia menciptakan pertemuan pertama tak disengaja kita di sudut sunyi gedung FIB. Tak terduganya lagi, kamu bahkan mengajakku turut serta dalam diskusi terbuka di lapangan birokrasi gedung C. Maka dari itu, jangan heran bila dulu melihatku berada di salah satu kursi lipat peserta diskusi terbuka sembari bersedekap dengan tatapan lurus memandang sosokmu di barisan terdepan. Aku pasif di sepanjang diskusi kala itu. Lebih banyak diam, mengamati, mengerutkan kening saat mendengarkan perbedaan argumen, atau sesekali terkekeh lirih jika tersalip guyonan.

Bahkan, saat seluruh mahasiswa di lapangan birokrasi berteriak, "Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonsesia!"

Aku hanya menirukan ucapan mereka secara lempeng.

Atau saat mereka menyerukan, "Panjang umur perjuangan!" Lagi, aku pun melakukan hal serupa dengan intonasi tak jauh berbeda. Huh. Dasar. Marina Shanin dan sifat pendiamnya memang merepotkan.

Orang lain mungkin menilaiku tak bersemangat dan ogah-ogahan mengikuti diskusi terbuka kali ini, tetapi sungguh, aku benar-benar menyimak, memahami, tetapi dengan caraku sendiri---dalam keheningan.

Saat acara diskusi kala itu selesai, segera saja aku beranjak tetapi langkahku terhalang oleh panggilan berat seseorang.

"Raya."

Seketika, aku menoleh. Membeku di tempat untuk beberapa saat. Kamu berjalan gontai ke arahku dengan kharisma bagai dayang-dayang yang setia mengikuti di belakang. Mau tak mau aku pun terbuai pesonamu sembari menahan napas.

"Lo beneran dateng ternyata."

Aku mengangguk singkat. "Lagi kosong juga, kok."

"Mau langsung pulang?"

"Iya, balik ke rumah."

"Naik apa?"

"Ojek online."

"Mau bareng, nggak?" Kamu merogoh kunci sepeda motor dari saku kemeja. "Gue sekalian mau main ke kosan Wildan."

Aku sontak menggeleng. Apa jadinya Rayanina Pasha yang terkenal pendiam ini diantar pulang oleh Panutan Alam Semesta?

Namun, saat di parkiran, kamu terus memaksaku untuk ikut naik ke atas boncengan motormu. Tidak ada pilihan lain, akhirnya aku mengiakan. Membiarkan diriku berada di atas vespa putihmu membelah jalanan ibukota. Berkali-kali aku menepuk pipi pelan, mengerjap-kerjapkan mata, berharap saat itu sekadar mimpi atau delusi belaka. Akan tetapi, ternyata benar-benar nyata.

Saat kuceritakan masalah ini kepada Nindy, ia bilang, sebaiknya aku jangan terlalu berharap. Sebab, Nindy seringkali melihatmu menawari tumpangan pada gadis lain jika mereka sedang terlihat tidak membawa kendaraan pribadi.

Satu hal yang seketika kusimpulkan setelah mendengar kuliah singkat Nindy malam itu, kamu memang ramah. Sangking ramahnya, setiap hari kamu mengantar orang lain yang berbeda pulang ke indekos atau rumahnya. Aku saja yang salah mengartikan sikap ramahmu itu.

•••

Titik TemuWhere stories live. Discover now