[9. You're My Best Friend]

18 2 0
                                    

"Sejak awal kita sama-sama salah. Kamu, pura-pura jatuh cinta untuk menunda patah hatiku. Dan aku, pura-pura tak tahu untuk menunda kepergianmu,"

[Deva]

·

Orang-orang sering berkata bahwa, 'Cara terbaik untuk menjadi baik-baik saja adalah dengan berpikiran bahwa kau memang dalam keadaan yang baik,'. Dan kini seorang Kai Anthariksa memutuskan untuk menobatkan kalimat tersebut sebagai moto hidupnya.

Sangat mudah, Kai hanya perlu berpikir bahwa ia baik-baik saja dan pikirannya akan menyugesti segala yang ada pada diri cowok ini. Alhasil, seorang Kai kembali pada kehidupan normalnya sebagai seorang remaja biasa, seolah melupakan guncangan yang harus ia hadapi beberapa hari belakangan ini.

Akhirnya Kai kembali menginjakkan kaki di sekolah untuk pertama kalinya setelah selama hampir tiga minggu. Tentu saja masih Kai yang sama seperti dulu, tetapi dengan tugas mid semester yang menumpuk.

Dan satu lagi yang berbeda, mulai beberapa hari lalu, cowok ini tak boleh pergi kemana pun tanpa benda berbentuk silinder putih berlabel antiansietas di tasnya. Sudahlah, tak terlalu penting untuk dibahas sekarang.

"Woe, balik juga lo, Kai!" Pagi yang cerah dihancurkan begitu saja oleh suara Deva. Biasanya Kai akan kesal jika sahabatnya itu tiba-tiba merangkul dengan brutal, tetapi untuk kali ini Kai benci harus mengakui bahwa ia merindukan Deva.

Namun, bukannya menunjukkan rasa kangennya, cowok jangkung ini justru hanya berdiri, tepat ketika Deva meletakan bokongnya di kursi samping Kai. Detik berikutnya tangan kiri cowok ini melayang dengan ringan, menuju ke kepala belakang Deva tentu saja.

"Otak lo udah gak ada?!" Layaknya bom yang ditekan pemacunya, rintihan kesakitannya berganti dengan makian kasar pada Kai. Bisa bayangkan betapa kesalnya Deva yang sudah menyambut hangat sahabatnya itu, tetapi justru malah dihadiahi pukulan.

"Otak lo yang udah gak ada," Balas Kai santai seraya kembali duduk, cowok ini berlanjut untuk menuntaskan tugas susulan yang belum ia rampungkan sejak beberapa hari lalu.

"Kok gitu?! Kan lo yang kelamaan bolos, karatan tuh otak lama gak dipake. Gak ada angin gak ada ujan, tau-tau nampol." Deva masih merancau tak terima akan perbuatan Kai, ia tak bisa membiarkannya selesai begitu saja tanpa alasan yang jelas.

"Lo yang gak inget apa yang terakhir kali lo omongin waktu ke rumah gue." Dan Kai, dia bukan tipe orang atraktif yang suka memulai sesuatu terlebih dahulu. Ia pasif, jadi apapun yang cowok 180 cm ini lakukan pasti ada sebabnya.

"Mana ada gue ngomong sesuatu yang bikin gue sendiri kena tampol." Deva tentu saja masih kokoh pada pendirian, bahwa Kai adalah penjahatnya kali ini.

"Kamu kemaren bilang Kai boleh bales tampolan kamu di hari pertamanya masuk sekolah." Thea datang tepat waktu dengan kemampuan menyelanya yang luar biasa, cewek ini lalu duduk di sebrang kursi Deva.

Meletakan tas sekolahnya, Thea terlihat tak sedang dalam suasana hati yang baik. Bukannya tidak senang dengan hari pertama Kai, tetapi memang ada banyak hal yang mengganggu pikirannya belakangan ini. Suatu hal yang membuatnya merenggang dengan Deva tanpa sepengetahuan Kai.

"Ck, gak seru ah kalo udah dua lawan satu." Cowok itu selalu saja melarikan diri untuk tak menjadi bahan rundungan, atau minimal tidak untuk memperpanjang masalah. "Gue ngantin dulu, sarapan,"

Deva hendak bangkit dari duduk, sebelum akhrinya menatap Thea sekilas. "Mau ikut?" tanyanya singkat, yang hanya mendapat gelengan dari seseorang yang ditanya. Detik berikutnya Deva langsung berlalu mengikuti keinginaan perutnya.

Stay Alive!Where stories live. Discover now