Tentang Awan, dalam sudut pandang Langit

113 11 0
                                    

"Awan, udah nunggu lama?"

Kalimat pertama yang diucapkan Langit segera setelah ia mendudukkan diri dengan nyaman di atas kursi mobil, tepat di samping Awan. Awan menyapanya dengan senyuman manis, membantu untuk mengamankan tas besar yang ia bawa sebelum akhirnya kembali sibuk dengan kemudi mobil.

"Baru aja sampe kok. Kita jadinya langsung kampus kan?"

Langit mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan Awan tanpa menatap lawan bicaranya. Kedua tangannya masih sibuk dengan ponsel dalam genggamannya, memastikan keadaan kedua teman yang lain.

"Lang, tadi Bintang berisik lagi."

Langit menghentikan kegiatannya, menaruh ponsel di atas paha sebelum memberi fokus sepenuhnya kepada Awan. Senyum manisnya terukir, ingin mendengar lebih lanjut lagi cerita pagi dari pria ini.

"Gara-gara gue kelupaan obat kemarin, dia ngomel, katanya hari ini obatnya gak boleh ketinggalan lagi. Kok jadi bawelan dia daripada lo sih?"

Satu tawa kecil lolos dari belah bibirnya. Perjalanan menuju kampus di pagi hari selalu akan diisi dengan cerita Awan, tentang apapun itu. Bahkan meski hari baru dimulai, sudah ada hal-hal kecil yang akan selalu dibagi padanya. Dan Langit, ia tentu akan dengan senang hati menerima setiap bagian kecil dari hidup Awan.

"Kalo bukan dia yang bawel, ya gue yang akan bawelin lo. Kemarin kenapa coba obat bisa ketinggalan?"

Langit membalas dengan nada marah, namun terselip kesan candaan di dalamnya. Tangan pun bergegas mencari tas Awan yang ditaruh di bagian belakang, membawanya ke atas pangkuan untuk melihat isi dalam tas tersebut. Senyumnya mengembang lebar saat menemukan satu botol berukuran sedang yang tersimpan di sana.

"Kemarin lo nggak ada ngingetin, gue pikir sehari bisa tanpa itu."

Langit seketika terdiam, memandang lama benda yang ia genggam di dalam tas. Ia ingat, kemarin memang adalah kesalahannya yang melewatkan satu hal penting dari Awan. Rasa bersalah menyelimuti relung hati. Harusnya, Langit bisa membagi pikirannya lebih banyak lagi untuk diisi hal-hal seperti ini. Awan sebegitu bergantung padanya, pada Langit.

"Gue gak nyalahin Langit kok, jangan jadi sedih gitu."

Tak lama setelahnya, garisan senyum tipis kembali ditarik, kepalanya mendongak untuk menatap Awan yang juga sedang memandanginya. Langit mengangguk, mengambalikan tas Awan pada tempat awalnya sebelum mengambil satu tangan yang bebas dari kemudi untuk ia genggam.

"Hehe, maaf ya, Awan, nanti gue pasang reminder di hp lo sama gue deh."

Jari-jari dalam genggamannya dimainkan pelan, dibawa mendekati wajah untuk diciumi punggung tangannya. Merasa permintaan maafnya telah tersalurkan, genggaman itu pun dilepas, tidak ingin membuat masalah karena mengganggu Awan yang sedang mengemudikan kendaraan.

"Siang nanti ada jadwal konsul?"

Langit kembali bersuara, tidak ingin ada keheningan dalam perjalanan mereka ini.

"Ada, nanti sore. Agak lama setelah kelas sih, nanti jalan dulu apa? Gue gak mau pulang."

"Iya, gampang lah nanti."

Satu anggukan diberi, meskipun ia tahu Awan mungkin saja tidak dapat melihat jawabannya jika tidak terungkap secara lisan. Maka bibir pun ikut mengucap, mengiyakan ajakan Awan untuk siang hari nanti.

"Pasti Senja ikut, terus Bintang juga ikut tapi ujungnya malah misah buat cari spot foto yang bagus."

Tawa lebarnya sekali lagi keluar. Mereka berdua sudah sangat paham dengan sifat satu sama lain, tentunya juga termasuk dua orang lainnya yang masuk dalam lingkungan pertemanan mereka. Sama sekali tidak ada yang akan salah dari pernyataan Awan barusan, sudah seperti hal yang pasti terjadi, tidak lagi menjadi dugaan asal.

"Gue bahkan udah bisa bayangin suara Ari yang ngerengek mau ikut."

Ari.. Matahari.. Senja.

"Awan, kenapa lo manggil Ari pake Senja?"

Langit baru menyadari satu hal, tentang panggilan nama yang berbeda dari mereka berdua untuk satu teman yang mungkin sedang sibuk berlarian menuju kawasan kampus. Ari, Matahari namanya. Semua orang selalu memanggil orang itu dengan Ari, panggilan yang diminta sendiri oleh sang pemilik nama. Hanya Awan, Awan lah satu-satunya yang pernah ia dengar memanggil Ari dengan nama keduanya.

"Suka aja sama nama Senja. Suka liatnya, waktu langit sore dihias sama sinar oranye dari matahari, menyatu sama awan yang ikut keliatan oranye."

"Senja juga gak pernah protes kok gue panggil kayak gitu."

Langit lagi dan lagi mengangguk. Mulutnya kembali ingin bersuara, namun terhenti saat menyadari mobil yang ia tumpangi sudah memasuki kawasan parkir kampus mereka. Lalu, di ujung sana, sudah ada pria tinggi dengan senyum secerah matahari menunggu sambil tangan terangkat tinggi, melambai antusias ke arah mereka.

"Tuh, Senja di depan."

"Gue harus siap dijadiin guling lagi nih."

Langit mendengus pelan. Selesai urusan dengan Awan, masih ada Matahari yang menanti untuk diperhatikan olehnya.

Awan, selalu menjadi yang lebih dulu menyapa Langit sebelum hari benar-benar dimulai.

Dunia AngkasaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt