Tentang Bintang, dalam sudut pandang Langit

118 17 1
                                    

Langit benar dengan dugaannya. Ada Bintang di ujung saja, terpisah jarak beberapa meter dari tempat mereka berdiri sekarang. Kedua tangan dijadikan alasan kepala, tidur dengan wajah bersembunyi dalam kukungan lengan, serta tas hitam yang dipakai sebagai alas dasar di bawah tangannya. Dan benar, ada bungkusan rokok dan pematik api yang tergeletak tepat di atas kepala.

"Gue bener kan? Bintang lagi gak nyebat."

Langit berseru dengan bangga, menatap Awan dan Matahari secara bergantian. Satu senyuman lebar terpatri pada wajah, melengkapi rasa senang yang ia rasakan sekarang.

"Ayo ke sana."

Lengan sisi kanan dan kiri yang sebelumnya diapit erat kini dilepas pelan olehnya. Kedua kaki sudah lebih dari siap untuk melangkah mendekati Bintang yang masih terlelap nyaman di bagian ujung kantin. Langit tidak perlu menghadap ke belakang untuk memastikan kedua temannya tidak akan tertinggal. Mereka selalu mengikuti Langit, kok.

"Bintang." 

"Bintang, bangun dulu ya?" 

"Bintang, ini Langit."

Langit memilih untuk duduk di samping kanan Bintang. Satu tangan diangkat melingkari bahu lebar itu, lalu wajahnya dibawa sampai ke atas kepala, tenggelam bersama surai rambut tebal yang belum sempat dirapikan lagi. Hidung bersentuhan lembut dengan helaian hitam, sementara bibir mengecup lama dasar surainya, right at the crown of his head.

"Gue bukan anak kecil"

Dengan dua sudut bibir yang tertarik ke atas, Langit melepaskan kecupannya segera setelah suara itu mengalun mampir pada telinganya. Terdengar serak, khas orang yang baru tersadar dari mimpi.

"Berantakan banget sih. Udah gue beliin sisir kenapa gak pernah dipake coba?"

Bintang sudah mengangkat kepalanya, kini berada sejajar dengan Langit yang ikut menegakkan badan. Jemari kanan bermain dengan rambut yang memang terlihat berantakan, tidak tahan untuk merapikan surai-surai lembut itu. Kekehan kecil tak urung keluar darinya, melihat Bintang yang masih setia menutup kedua kelopak mata, seakan belum rela lepas dari bunga tidurnya sekarang.

"Tuh kan! Bintang tuh ngeselin! Liat aja tuh, muka bangun tidur aja jelek menyebalkan gitu! Gue gak sukaaaa!"

Langit beralih menatap Matahari yang menunjuk-nunjuk Bintang dengan sumpit, kemungkinan besar diambil dari tempat yang memang disediakan untuk menampung alat makan. Ini yang selalu terjadi kala Matahari dan Bintang bertemu. Tidak cukup memusingkan sebenarnya, bahkan dianggap lucu oleh Langit. Pertengkaran kecil yang selalu terjadi ini tidak benar-benar berarti, Langit tahu dengan pasti persahabatan dan rasa seperti apa yang dibangun diantara mereka.

"Gue kebetulan lagi bawa lakban, lo mau mulut lo gue lakban sekalian?"

Langit tertawa geli, masih setia berkutat dengan helai rambut Bintang sampai semuanya benar-benar teratur. Sesekali, kedua tangan akan menangkup wajah tampan itu untuk kembali terarah padanya saat Bintang lebih memilih untuk beradu mulut dengan Matahari.

"Langit bubur gak pake kacang, kecapnya dibanyakin. Senja bubur lengkap kecuali emping. Bintang bebas, apa aja asal bukan racun, iya kan?"

Pandangannya terangkat, bertemu tatap dengan Awan yang sudah berdiri, siap untuk memesan makanan mereka satu per satu. Ia tersenyum, mengangguk pelan pada Awan sebagai jawaban sebelum mulutnya ikut bersuara.

"Iya, minta tolong ya, Awan."

"Weiittsss, Awan emang terbaik ingatannya dah!"

"Itu gue ngomong asal masih aja diinget plek kayak gitu."

Bintang menggerutu, terdengar jelas di telinganya. Langit hanya bisa kembali mengeluarkan tawa kecil. Kedua matanya kini berfokus pada bungkusan rokok yang masih tergeletak di atas meja, diambilnya bungkusan putih itu bersama dengan pematiknya kemudian disimpan dalam tas miliknya sendiri.

"Gue simpen sampe nanti malam, perjanjiannya cuma boleh pagi sama malam kan?"

Langit lebih dulu bersuara sebelum Bintang kembali mengeluarkan kalimat protes, masih bertahan dengan senyum lebar bahkan meskipun pria di depannya ini sedang merengut kesal. Langit tahu, itu tidak akan bertahan lama- dan benar, karena beberapa detik setelahnya ia sudah bisa menemukan Bintang walau diiringi dengusan kesal, masih terdapat senyum tipis yang mungkin, mungkin tidak akan terlihat jika tidak memperhatikan dengan baik.

"Bintanggg, nanti siang kosong kan? Ikut ke kafe gue ya!"

"Ngapain? Ngeliat lo pacaran sama Bulan?"

"Bulan bukan pacar gue! Ikut aja kenapa sih?!"

Langit memperhatikan percakapan antara Matahari dan Bintang, baru ingin ikut masuk dalam obrolan ringan itu, namun terhenti karena tiba-tiba tangan kanan yang sudah bersembunyi di atas pahanya diambil, dikaitkan bersama jari-jari lain yang menarik tangannya.

"Aurora gimana? Gue jemput aja deh, nanti gue nyusul sekalian bawa si bawel satu lagi."

Lagi dan lagi, Langit kembali melebarkan tawanya. Si bawel, julukan yang diberi Bintang khusus untuknya juga adiknya, adik perempuan dengan umur lebih kecil tapi sayangnya memliki tinggi yang sama (mungkin sekarang bahkan sudah sedikit melebihi) dengannya. Tidak masalah, Langit tidak pernah mempermasalahkan panggilan itu. Toh memang benar, sebenarnya ia cukup bawel jika sudah menyangkut tentang orang-orang terdekatnya.

"Aurora nanti pulang cepet katanya, lagi ada rapat guru jadi kelasnya gak full day."

Langit mengadu, menceritakan apa yang ia dengar pagi tadi dari adik perempuannya.

"Heh Bintang! Lo pegang tangan Langit lagi ya?! Ihhh Langit gue juga maauuuu!!"

Dalam sekejap, Langit kini kembali diapit di kedua sisi, hanya saja oleh satu personil yang diganti. Matahari memeluk lengannya erat di sisi kiri, sementara Bintang tetap bertahan dengan genggaman erat pada tangan kanannya.

"Err- buburnya udah jadi, gak ada yang mau bantuin gue bawa?"

Langit hanya bisa meringis, menatap Awan dengan pandangan memelas sekaligus permintaan maaf karena ia tidak dapat membantu apapun. Tentunya tidak dengan tangan yang bahkan tidak bisa ia gerakkan karena kukungan dua temannya ini.

Langit bertemu Awan, disambut Matahari, lalu berakhir dengan sinar kecil Bintang. Pagi harinya sudah lengkap sekarang, semua bagian sudah terisi. This is whole. This is complete.

Bintang, sinar kecil yang menjadi pelengkap. Tidak terlalu terlihat, tapi jelas dapat terasa nyata presensinya.

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Oct 16, 2020 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

Dunia AngkasaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt