Tentang Matahari, dalam sudut pandang Langit

76 9 0
                                    

"LANGGIIIIITTTTTT."

Langit, namanya. Satu nama itu adalah hal pertama yang berdengung kencang memasuki gendang telinga tepat setelah kedua kakinya meninjak aspal. Bahkan belum sempat seluruh bagian tubuhnya keluar dari mobil, ia sudah disapa oleh teriakan keras itu. Langit hanya dapat mengeluarkan ringisan tipis serta pandangan meminta maaf pada mahasiswa lain yang kebetulan lewat di sekitarnya.

"Ari, pagi-pagi tuh jangan dibiasain teriak."

Ari, sang Matahari. Akan selalu seperti ini. Langit akan lebih dulu dijemput oleh Awan, kemudian akan disambut heboh oleh Matahari.

"Lagian kenapa lama banget?! Gue kan butuh guling gueee!"

Dalam sekejap, tubuhnya kini sudah ditutupi oleh tubuh tinggi yang melingkarkan erat kedua tangan padanya. Meskipun dengan seluruh badan yang hanya bisa berdiam kaku karena dipeluk oleh raksasa, Langit masih bisa mengukir senyuman manis lewat kedua sudut bibirnya, membalas pelukan itu dengan tangan yang kini tersimpan pada bahu Matahari.

"Senja, kasian Langit kalo dipeluk gitu. Nanti gak bisa nafas."

"Enggak kok! Langit masih bisa nafas kan?"

Langit mengangguk pelan sebagai jawaban, sekali lagi senyuman diberi langsung kepada Matahari yang kini melonggarkan rengkuhan untuk bisa menatapnya. Tubuhnya kembali mendekat, mengikis jarak hingga pelukan erat itu kembali tercipta. Satu sisi wajahnya bersandar di atas bahu kanan, bergesekkan pelan dengan baju kuning yang sedang dipakai.

"Udah kan asupan paginya? Lepas ya?"

Langit memastikan Matahari telah mendapatkan afeksi yang cukup untuk menjadi bekal energi di pagi hari, sebelum akhirnya dua pasang tangan itu saling menjauh dari masing-masing tubuh, melepas pelukan erat yang selalu diberi. Setiap hari, tanpa kenal rasa lelah.

Namun, melepas pelukan bukan berarti ia bebas. Karena sekarang, tubuhnya kini diapit oleh dua pria jangkung di kedua sisi. Sisi kanan diisi oleh Matahari yang malah mengambil tangan kanannya untuk dipeluk, lalu sisi kiri diisi oleh Awan yang mengaitkan jari-jari tangan dalam satu genggaman kokoh.

"Langiitt, ntar siang ke kafe ya? Pas shift jaga gue soalnya hehe. Nanti gue kasih menu baru, buatan gue sama Bulan!"

Langkah kakinya diiringi oleh cerita Matahari, diucapkan dengan riang dan penuh senyuman. Bahkan kedua sisi pipi dapat terlihat bolongan tajam yang akan selalu muncul setiap kali sudut bibir Matahari tertarik ke atas.

Matahari itu penuh tawa, penuh keceriaan, penuh kebahagiaan. Hal yang paling disyukuri Langit tentang pria di samping kanannya adalah siapapun yang sudah memberikan nama Matahari pada sahabatnya ini. Matahari benar-benar menggambarkan sifat cerah matahari di atas sana.

"Bulan juga jaga nanti? Kalo iya bakalan rame dong."

Sebisa mungkin, Langit membalas dengan tingkat antusias yang sama. Beda dengan Awan yang bercerita dengan tenang, Matahari akan membagi kisahnya dengan menggebu seakan energinya tidak pernah habis. Maka jika itu dengan Matahari, ia sudah mempersiapkan tenaga sendiri untuk bisa meladeni kalimat demi kalimat yang mengalir lancar dari Matahari.

"Ada! Eh, sebenernya dia gak ada sih, tapi gue paksa tukeran biar bisa bareng. Gue udah bilang mau ngajak kalian juga kok."

Lengkap sudah rentang waktu yang sempat kosong. Langit tidak perlu lagi memikirkan kemana mereka harus pergi setelah kelas nanti sembari menunggu jadwal Awan di sore hari. Ia beralih ke samping, menatap Awan yang tetap tenang berjalan, sama sekali tidak terganggu dengan suara-suara kencang dari sisi kanannya.

"Iya, nanti ikut Senja aja."

Langit mengangguk pelan, disertai tawa kecil yang keluar karena merasa lucu dengan Awan yang sudah bisa mengerti bahkan sebelum mulutnya dapat menyuarakan pertanyaannya.

"Khusus buat Awan gue ada minuman tanpa kopi! Bener-bener resep baru, gue bikin sesuai sama kesukaannya Awan loh!"

Langit kembali beralih, memperhatikan Matahari yang kini berpindah fokus pada Awan, lalu beralih lagi memandang Awan yang ikut menatap Matahari.

"Emang lo tau gue sukanya apa?"

"Tau lah! Gue tau semuanyaaa! Bahkan si Bintang yang ngeselin aja gue tau!"

Tawa kecilnya kembali keluar. Pipi sisi kanan dibawa untuk kembali bergesekkan dengan ujung bahu Matahari, lalu menarik wajahnya menjauh untuk mengecup punggung tangan Awan yang sudah diangkat mendekati bibirnya. Sebelum perdebatan terjadi di sini, Langit berusaha mencegah dengan afeksinya.

"Udah, udah. Ayo ke kantin aja, Bintang kayaknya udah nungguin."

Dengan kedua tangan yang diapit oleh dua pria tinggi itu, dapat mempermudah Langit untuk menarik keduanya berjalan lebih cepat menuju perhentian selanjutnya. Perhentian dimana mereka akan bertemu anggota terakhir dari persahabatan ini.

"Paling juga masih nyebat dia di sana."

"Enggak kok, gue udah minta berhenti dulu tadi."

Bertemu dengan Awan, lalu diapit bersama Matahari. Hanya tinggal satu lagi untuk melengkapi kehidupan Langit di pagi hari. Masih ada Bintang, mungkin sedang tidur di kursi ujung kantin, bersamaan dengan tas yang dijadikan bantal juga bungkusan rokok serta pematik api tergeletak tepat di atas kepala.

Matahari, selalu bersedia menyambut Langit dengan cahaya terangnya. Menemani Langit dan Awan untuk menjaga bumi.

Dunia AngkasaМесто, где живут истории. Откройте их для себя