Aku mulai bertanya-tanya, mengapa kejadian itu datang bersamaan dalam jarak waktu yang sangat dekat? Membuatku berpikir lagi dan lagi untuk mengakhiri semuanya. Ini seperti bom waktu yang berhasil meruntuhkanku. Tak terdeteksi dan mengejutkan. Semuanya bermetamorfosis menjadi keinginan gelap. Aku tak ingin bertahan lebih lama lagi. Dengan semua tekanan yang mengincarku seolah aku adalah magnet dari setiap keinginan jahat semua orang.

Orang-orang yang kutemui, tak ada yang bertahan lama di sisiku. Semuanya menyisih, berbalik dan menjadi mata pisau atau jarum-jarum tajam yang menusukku dari segala arah. Sakit, aku ingin bertumpu. Tapi seseorang yang kujadikan tumpuan telah tiada. Dan seseorang yang setia mendengar tangisku telah berkhianat.

Aku sadar. Mereka mungkin lelah denganku hingga memilih pergi. Mereka enggan terus-menerus menopang cacat batin yang kualami. Sedangkan mereka memiliki dunia yang harus tetap berjalan, tanpa halanganku. Tanpa kemalanganku.

Kembali ingatanku berkilas ke masa lalu. Dimana aku masih memiliki Irina, dimana aku masih bisa bercerita pada kekasihku yang kini berkhianat.

"Menangislah, kamu berhak menangis sedangkan aku tidak. Gunakan itu untuk membuat hatimu lega."

Kalimat Irina bergema dalam pikiranku. Irina, adalah sosok akrab yang asing untukku. Dia saudariku, tapi tak pernah bersikap layaknya saudari pada umumnya. Dia dingin, jauh, dan tak pernah berekspresi di depanku. Dia hanya datang saat aku menahan tangis sendirian. Selalu mengatakan hal yang sama. Tanpa ekspresi, tanpa kehangatan di matanya. Tapi kalimatnya yang tanpa basa-basi itu selalu bisa aku terima. Selalu bisa menenangkanku karena Irina jauh lebih menderita dibanding denganku.

Ia tak pernah sedikit pun mengeluh. Kembaran sulung yang selalu menuruti keinginan Papa dan Mama. Ia masuk kelas IPA meskipun amat membenci pelajaran eksak. Ia mengikuti jejak Papa dengan masuk jurusan kedokteran meskipun setengah mati membenci darah dan organ dalam. Semua itu demi membuat Papa dan Mama bangga agar aku tidak perlu ikut dipaksa juga. Irina selalu menjadi yang menanggung beban paling berat. Aku tahu karena ia selalu mencoba jadi yang terkuat. Aku tahu karena dia selalu menderita sendirian di saat semua orang berpaling darinya.

Kami tak pernah memiliki interaksi yang berarti. Dia yang dingin dan aku tak pernah mencoba mendekatinya. Dia yang acuh tak acuh dan aku yang melihat segala hal dengan diam tanpa kata-kata. Saat ia menangis, aku tahu. Tapi Irina adalah dirinya yang selalu bertopeng kokoh. Aku tak berusaha mendobraknya karena ia sendiri tak pernah melihat ke arahku atau terlihat membutuhkan bantuanku. Saat aku terluka pun, ia hanya diam. Tapi ia bertindak melalui orang lain. Membuatku merasa lebih baik meskipun awalnya selalu salah paham dan menganggap bahwa dia benar-benar tak peduli akan diriku.

"Cukup jadi dirimu sendiri. Jangan memaksakan apapun yang kamu ngga suka. Ngga ada yang bakal maksa kamu."

Kalimatnya yang paling kuingat saat aku tertekan dengan segala hal yang bertentangan dengan prinsipku, idealismeku, atau egoismeku. Di saat yang sama, aku melihat kilat amarah dalam matanya. Mungkin ia marah karena aku tak berguna untuknya, atau karena aku menghancurkan usahanya untuk menanggung segalanya sendirian.

Irina yang kukenal..., adalah ia yang begitu.

***

Aku membuka mata perlahan. Meraba kesadaran dan berusaha membiasakan mataku untuk menatap cahaya putih di atasku. Bias. Pandanganku kabur dan kepalaku masih sakit. Mataku sulit terbuka dan sedikit perih. Mungkin efek lebam karena habis menangis. Aku merasa kosong bahkan setelah sadar bahwa yang kulihat kini hanya langit-langit dengan lampu menggantung terang. Lalu satu pertanyaan muncul dalam kepalaku.

Mengapa aku belum mati?

Seluruh tubuhku sudah nyeri. Perutku perih tak terkira dan kepalaku seperti habis terdepak godam. Tidak nyaman. Suhu tubuhku tak beraturan. Aku tak bisa berkeringat dan tidak menyukai sensasi panas yang kurasakan di sekujur kulitku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terbaring di sini. Terlalu lelah untuk menengok dan mengkonfirmasi dimanakah aku saat ini. Aku terlalu tidak peduli kemana perginya semua orang dan siapa yang membawaku ke sini. Aku hanya terdiam cukup lama. Menelisik kehampaan yang perlahan tapi pasti menguasai dadaku. Aku tak memiliki keinginan apapun selain diam dan menerima kehadiran jiwa ini dengan ketidakrelaan.

Aku sadar. Aku tidak baik-baik saja. Walaupun aku merasa tidak apa-apa. Tapi, ini terlalu membuatku tenang. Ketenangan yang meresahkan dan... hampa.

"Ariana, kamu udah sadar?" Suara berat yang jarang kudengar itu sampai di telingaku.

Aku melirik sedikit ke samping sampai mendapatkan wajah Papa dengan bingkai kacamata khasnya dan rambutnya yang tak tertata. Memperhatikannya dalam diam sebelum aku mengangguk kecil. Rasa iba yang hadir tiba-tiba ketika melihat wajahnya yang mulai memunculkan kerut-kerut halus itu membuatku sadar bahwa Papa sama lelahnya denganku. Mungkin lebih lelah karena ia adalah tulang punggung keluarga. Seseorang yang harus lebih kuat daripada Mama dan anak-anaknya.

Ah, aku hampir lupa. Sekarang hanya aku satu-satunya putri Papa. Irina sudah pergi.

Aku kembali kosong. Menatap langit-langit tanpa memperdulikan orang-orang yang bicara di sekitarku. Mungkin Papa sedang mengobrol dengan orang lain dan aku tak mau memikirkannya untuk saat ini.

Kemarin Mama pingsan, lalu sakit dan di rawat di kamar VIP. Setahuku Mama memang lebih dekat dengan Irina. Mereka sering berbagi hobi, mengerjakan sesuatu bersama seperti masak, bedah buku, atau pun belanja. Tidak, Mama tidak melupakanku. Hanya saja, aku tak pernah tertarik untuk bergabung dan melakukan hal yang tidak menyenangkan bagiku. Karena itu, Mama pasti sangat terpukul saat Irina pergi. Ia langsung jatuh, bahkan bermimpi buruk memanggil nama Irina dalam tidurnya. Dan karena lebih menyakitkan melihat Mama seperti itu, aku memutuskan pergi dari kamarnya. Izin ke Papa bahwa aku ingin mencari udara segar. Walaupun kenyataannya aku porak-poranda sendiri dan berniat bunuh diri.

"Ariana, kamu mau sesuatu, sayang?" Kudengar Papa kembali di sampingku.

"Papa...,"

"Iya sayang, Papa di sini...,"

Kurasakan tangan Papa mengelus rambutku.

"Aku..., mau ketemu... Irina." Ujarku terbata karena rasanya sulit sekali mengeluarkan suara. Tenggorokanku sakit dan rasa lemas luar biasa membuatku lambat merespon. Tapi, keinginanku satu-satunya hanyalah melihat Irina untuk terakhir kalinya. Aku tahu, pemakamannya adalah hari ini karena penundaan autopsi di hari kemarin.

Aku menatap Papa. Meminta persetujuan dengan keinginan yang benar-benar aku harapkan akan terkabul. Meskipun aku akan lebih sakit dan mengingat itu selamanya sebagai hal paling menyakitkan di hidupku. Tapi, aku hanya ingin melihat Irina sekali lagi.

Papa menangis lagi. Tak pernah kulihat sebelumnya Papa yang menangis sesering ini. Ia mengangguk dan mengiyakan permintaanku.

"Makasih Pa...,"

🌻🌻🌻

Salam Neptunus 🧜‍♀️

Love Is A Gift and A Miracle (Hiatus)Onde histórias criam vida. Descubra agora