Bagain 22

810 97 22
                                    

Tak mampu melihat pemandangan menyakitkan itu lantas ia berlari meninggalkan apartemen Naruto. Hinata berlari dengan sesak di dadanya. Namun tak menjamin langkah cepatnya meninggalkan rasa sakit yang ia rasakan. Isak tangis dan lelahnya berlari menjadi satu dan menciptakan desah yang menyakitkan.

Hinata menyetop taksi dan buru-buru masuk ke dalam yang kebetulan lewat di depan apartemen Naruto. Sepanjang perjalanan, ia menangis tertahan. Ia mendekap mulutnya untuk menahan isak yang ingin keluar begitu saja. Tiba-tiba bayangan wanita berambut pirang pucat sedang memeluk Naruto masih terus berputar di kepalanya. Ia masih ingat bagaimana cara wanita itu memeluk Naruto. Melihat tubuh Naruto dan wanita itu hanya terbalut selimut tebal tentu membuat ia berpikir jika mereka sama-sama polos tanpa pakaian. Siapa yang tidak berasumsi jika mereka sehabis melakukan kegiatan yang hina? Berpikiran kotor tentu hanya membuat hatinya semakin sakit.

Hinata menatap langit malam yang bertambah gelap karena awan mendung, mungkin hujan akan turun. Kini rintik hujan pun membasahi kaca mobil yang ia naiki. Persis seperti air matanya yang terus menerus membasahi pipi. Apa kini alam sedang mengerti perasaannya? Mungkin benar, tetesan hujan saat ini melambangkan perasaannya yang lara.

Hinata membayar taksi saat tiba di jalan depan rumahnya. Ia berjalan cepat karena hujan semakin deras.

Dalam keadaan basah, tak ada sedikitpun niatan untuk memebersihkan tubuh ke kamar mandi atau sekadar mengganti pakaian dengan yang lebih bersih dan hangat. Hinata memilih berjalan ke arah dapur dengan langkah gontainya. Seharian ini ia tak makan, ia melupakan makan siangnya.

Dengan tangan gemetar Hinata mengambil mangkuk besar dari dalam kitchen set. Memasukan Nasi dengan porsi cukup banyak, juga lauk pauknya, seperti tempura udang dan teriyaki yang sudah dingin karena di masak sedari siang tadi. Ia juga menuangkan air ke dalam gelar kaca besar. Kali ini ia seperti sedang kesurupan, karena makan dan minum dengan porsi yang besar.

Hinata duduk dan menaruh mangkuknya di meja makan dengan kesunyian malam. Tidak begitu sunyi, karena ada suara hujan dari luar yang menemani.

Suap demi suap ia masukan ke dalam mulutnya. Rasa sesak di hati terus saja datang tak mau pergi. Hinata menangis dengan mulut terus mengunyah makanan. Menghapus air mata dengan kasar agar tak jatuh ke mangkuk makanannya. Kini ia kembali teringat akan beberapa peristiwa yang mampu membuatnya tersenyum, kejadian saat dirinya dan Naruto memperebutkan ponselnya yang berdering hingga terjatuh ke sofa bersama-sama. Ia tersenyum sambil menyeka air mata kala mengingat peristiwa itu. Juga ... saat ia dan Naruto berlari bersama setelah memukul pencuri hingga terjatuh juga kembali terngiang dalam ingatannya, kali ini Hinata tertawa dan membiarkan air matanya mengalir tanpa menyekanya.

Kenangan demi kenangan terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Semakin ia tersenyum saat mengingatnya, semakin sakit pula perasaannya.

Terkadang semua yang terjadi di dalam hidup tidak selalu berjalan sesuai apa yang kita rencanakan. Banyak orang bilang bahwa kita sebagai manusia hanyalah sebuah wayang yang menjalankan perannya di bawah sekenario Tuhan, dan itu benar adanya. Memulai sebuah hubungan asmara yang Hinata yakini berjalan lurus namun menemukan banyak lika likunya, hingga akhirnya ia berada di titik akhir dari hubungannya dengan Naruto. Jika memang begini sekenario dari Tuhan untuknya, maka tidak ada alasan untuk menolak atau pun marah atas setiap garis takdirnya.

Kalimat yang Sakura ucapkan pagi tadi kembali terngiang. Teman-temannya memang meragukan kestiaan Naruto terhadap dirinya. Namun Hinata membantah asumsi mereka dan dengan yakin mengatakan bahwa ia sangat percaya pada Naruto.

Naruhina : The Cry Of The SunWhere stories live. Discover now