Bab 15

19 6 3
                                    


Aroma lavender menyelami saluran pernapasan hingga memenuhi paru-paru. Aroma menyegarkan sekaligus membawa ketenangan. Ingin sekali aku tetap memejamkan mata untuk beberapa menit saja.

Sambil menarik kedua bibirku membentuk sebuah simpul senyum, ku gerakkan tubuhku ke samping. Ah, sungguh nyaman walau alas tidur dan bantal tidak selembut dan empuk di istana.

"Putri." Sontak aku langsung membuka mata saat mendengar panggilan yang terdengar lembut milik Sagraha. Sagraha berlutut di samping ranjang, menyamakan tingginya dengan posisi kepalaku.mata kami saling bertemu.

"Ah," rintihku kesakitan. Ini akibatnya jika terburu-buru bangun setelah tidur panjang. Kepala terasa berputar. Aku pun menyadari sesuatu saat mencoba meredam rasa sakit dengan memijat pelan pelipis.

Kenapa tanganku terperban? Aku menoleh pada Sagraha yang kini dalam posisi berdiri. Kutatap dirinya meminta penjelasan. Saat itu seorang pak tua masuk membawa sebuah nampan dengan dua buah kotak kecil berisi krim dan peralatan lainnya.

"Oh, Nona. Syukurlah Anda sudah sadar," ucapnya sedikit terkejut. Memangnya berapa lama aku tertidur.

"Saya akan mengolesi obat kembali sekaligus mengganti perban Anda." Pria tua itu duduk di sebelah kanan dan meletakkan nampan yang dibawa di atas tempat tidur.

Tangan keriputnya terampir membuka balutan, mengolesi obat, lalu membalut tanganku kembali. Aku mengijinkannya menyentuh tanganku. Dia meminta izin untuk mengobati bagian pergelakan kaki. Aku pun mengganguk.

"Berapa lama aku tertidur?" ucapku mulai menggali informasi.

"Nona hanya tertidur semalam. Pria muda yang membawa Anda juga terlihat khawatir." Aku menoleh pada Sagraha. "Dia bahkan berjaga semalaman dan baru saja pergi pagi ini." Sontak aku menoleh ke arah tabib di depanku yang berlutut di samping ranjang.

Seolah sang tabib merasa kupandangi, ia menoleh padaku sambil tersenyum lembut lalu kembali membalut sambil berkata, "Nona sangat beruntung. Apakah Nona sedang berbulan madu ke Kalakosa?" seloroh sang tabib dengan senyum kecil yang terlihat ramah.

Aku tertawa kecil menanggapi. Beruntung Agni tidak di sini. Aku bisa bayangkan bagaimana wajahnya mendengar ucapan tabib.

"Sudah selesai. Anda sudah boleh beraktivitas hanya saja berhati-hati dengan kaki Anda dan rutin lah mengolesi obat ini di tangan dan kaki," ucap sang tabib lalu memberiku dua buah tempat krim obat berbentuk oval dengan hiasan bunga lotus dan anggrek di tutupnya.

"Terima kasih. Bagaimana aku harus membalas jasa Anda?"

"Tidak perlu Nona. Teman tuan muda itu sudah membayarnya. Sepertinya kalian ini bukan dari keluarga biasa." Sang tabib mengelus janggut sambil menatapku jenaka. Seluas senyum ku berikan padanya. Senyum ramah yang biasa kuberikan pada siapa pun orang yang tidak ku kenal atau ku curigai.

Tabib itu segera pergi meninggalkan kami. Dia berkata aku bebas untuk tinggal di sini sambil menunggu Agni datang. Aku sendiri saja ragu apakah Agni akan kembali.

"Sagraha, katakan ke mana Agni pergi? Kau pasti tahu, bukan?"

Sagraha diam saja walau tangannya berinisiatif mengambil obat dari tanganku. Aku menghela napas, lalu memanggilnya dengan nada dingin sekaligus menatapnya seperti seorang putri meminta bawahannya tunduk akan perintah.

"Kepada siapa kau berpihak saat ini?"

"Maafkan saya, Putri. Saya harus mengikuti perintah putra mahkota demi kebaikan Anda." Sagraha berlutut dengan satu kaki tertekuk dan kepala tertunduk.

Kebaikan apa? Aku yakin dia berencana menyingkirkanku karena menjadi bebannya. Aku harus tahu apa yang ingin dia lakukan dengan bertemu penguasa Darsana, Mahesa Tyaga Wira. Mahesa pun tidak pernah bercerita berteman dengan Agni.

"Putri. Apa yang ingin kau lakukan?" Sagraha mendongak dengan mata terbelalak melihatku turun dari ranjang.

"Mencari Agni."

"Tapi putra mahkota ingin kita kembali. Sebaiknya kita turuti. Kondisi Anda bisa semakin memburuk dan jika para petinggi tahu Anda keluar istana akan berbahaya."

"Aku sudah meminta Rasta membuat alibi."

"Tapi, Putri—"

"Siapa tuanmu, Sagraha?" Aku membenci keadaan ini. jika di pikir-pikir ucapan Sagraha tidak salah. Namun, aku tiak bisa membiarka Agni lolos setelah tahu di mana sekarang aku berada.

Sagraha tidak menjawab untuk beberapa saat. Aku hendak meninggalkannya tapi sebuah tangan tiba-tiba menghentikan pergerakan kaki lalu mengangkat tubuhku yang kini ditahan dengan kedua tangan. Sagraha melakukan itu setelah mennggumam kata maaf.

Sikapnya sontak membuatku terperengah. Mataku mendelik padanya, tapi Sagraha sam sekali tidak berniat menurunkan.

Kami bertemu dengan tabit di pintu keluar yang berbentuk setengah lingkaran dengan atap keramik berwarna cokelat. Tabib tersebut seolah tahu siapa kami, dia membungkuk lima belas derajat dengan tangan di depan yang disebunyikan ke dalam kerah lengan jubahnya.

Sagraha mendudukkanku di atas pelana sedangkan dirinya menggiring di samping kuda. Aku tersenyum karenanya. Tujuan kami selanjutnya adalah red light yang menjadi pesona Kalakosa. Aku mengetahuinya karena pernah bekerja sama dengan Darsana dan sedikit bercerita perwakilan Darnasa merekomendasikan tempat ini.

Bahkan di siang hari pun kawasan ini tidak sepi. Aku membayangkan bagaimana malam hari. Aku mendongak, menatap jendela lantai dua deretan rumah bordir yang tertutup. Namun, lantai bawah masih ramai karena usaha makanan yang mereka tawarkan.

Aku meminta Sagraha mencari informasi ke deretan rumah bordir, sementara aku akan menunggu di dekat gang antara penjual buah dan penjual sayur. Sagraha menaiki kuda dan datang dari arah berlawanan, seolah dirinya pelancong yang membutuhkan tempat singgah.

"Haaah." Wilayah Kalakosa ternyata lebih panas dari yang aku duga. Padahal aku pernah ke sini sebelumnya tapi hawanya tidak semenyengat sekarang.

Berdiam diri seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebaiknya aku ikut mencari. Aku hendak melangkahkan kaki menuju salah satu bangunan di depanku. Jika saja sebuah tangan tidak menghentikan tubuh ini. Ku rasakan cengkraman di pergelanan tangan kananku yang terluka. Sontak aku meringis sambil berbalik. Cengkramannya terlepas.

Aku terkejut melihat sosok di depanku begitu juga dengannya. Wajahnya berubah panik mendengarku meringis sambil mengusap pergelangan tangan yang terbalut.

"Kau tidak apa-apa?" ujarnya khawatir.

"Kau!" Aku memekik tanpa sadar. Orang di depanku langsung membekap mulutku dan memberi isyarat untuk diam dengan jari telunjuk yang di letakkan depan bibir.

"Ini aku. Apa kabar, Putri?"

The Great AgreementDonde viven las historias. Descúbrelo ahora