[1/1] Di Balik Layar Kaca

18 3 0
                                    


Bukan Indonesia namanya kalau penduduknya tak bergelar Paling Santai dan Paling Buru-buru sedunia. Saat bumi tengah sekarat, dengan gagah beraninya mereka menantang Maut, tanpa berpikir bahwa ada orang lain yang berusaha keras mempertahankan satu nyawa. Sebut saja mereka si Pembawa Petaka, alih-alih Pahlawan Kesiangan. Tiada bermaksud untuk menghina, aku di sini hanya mengatakan suatu fakta, yang mana kulihat bukan hanya sekali dua kali, namun setiap hari.

Di ruang tengah, tampak seorang wanita paruh baya menghempaskan diri di sofa. Tangannya sibuk mengutak-atik ponsel pintar. Bibir yang berlapis gincu merah itu tampak mengerut, menggerutukan sesuatu. Selang beberapa menit, pria paruh baya yang tak lain adalah suaminya ikut menjatuhkan pantatnya di sebelah wanita itu. Ia mendengkus, melirik istrinya yang sibuk bermain ponsel.

"Menurutmu, apa nggak sebaiknya kita cari pekerjaan sampingan, Mas?" Wanita bergincu merah membuka suara, namun pandangannya tak tertuju pada lawan bicara.

"Iya sih, tapi belum tau mau cari pekerjaan apa. Di zaman virus, mau ini-itu aja susah," jawab sang suami.

"Teman-temanku banyak yang sudah di PHK. Nggak tahu nasib kita kedepannya bakal gimana. Aku takut, Mas. Aku nggak mau kita hidup susah. Masa anak kita disuruh makan pakai garam? Mana mau?" ujar wanita dengan raut wajah penuh kecemasan, sampai-sampai posisi duduknya pun tampak tak nyaman.

"Iya, tenang, Tri. Kita berdoa saja supaya pandemi cepat berakhir. Aku juga nggak mau ada di kondisi kayak gini, mau beraktivitas jadi ribet dan terkekang."

Menyaksikan dan mendengar perbincangan mereka berdua, aku hanya bisa termangu. Sudah beberapa kali mereka membicarakan ini semenjak pertengahan Maret lalu. Awalnya, aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Dan setelah mendengar berita beberapa kali, aku jadi paham. Lalu setelah mendengar berita tentang virus Corona sampai September ini, aku jadi bosan.

Mungkin aku harus berterima kasih kepada lambung yang berbunyi, karena pasangan suami istri itu telah mengakhiri perbincangan mereka dan bergegas ke ruang makan untuk mengisi perut. Walau masih ada kemungkinan mereka akan membicarakan hal itu lagi, setidaknya topik membosankan itu tidak akan terdengar sampai ke telingaku untuk sementara waktu.

Alih-alih kedamaian, justru rasa jengkel yang kudapat. Bukan suami istri, melainkan anak mereka: kakak beradik Juan dan Maya yang giliran mengambil alih ruang tengah. Bukan tanpa alasan kenapa aku membenci mereka. Seperti yang sudah-sudah, kutebak, kali ini mereka akan berebut Remote sambil adu mulut, lalu mengacak tayangan Televisi, sampai akhirnya adegan membanting Remote terjadi.

Juan sang kakak mulai melancarkan aksinya. Ia mengganti saluran Televisi, berniat mencari acara musik.

"Berita terkini, positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai lebih dari seratus lima puluh ribu. Pasien—"

"Diperkirakan sekolah akan tetap ditutup sampai—"

"Pembagian bantuan uang tunai enam ratus ribu rupiah berlangsung ricuh. Tidak sedikit warga yang tidak mematuhi protokol—"

"Tidak memakai masker, salah satu pengendara sepeda motor dikenai sanksi—"

Bisa kulihat keningnya berlipat disertai sudut bibir yang melengkung ke bawah. Sorot matanya menatapku sinis, membuat hatiku sedikit teriris, padahal aku tahu yang ia tatap dengan mata seperti itu bukanlah "aku". Berulang kali ia mencibir karena yang ia temukan hanyalah acara berita dengan topik yang hampir  sama.

Melihat adanya peluang, Maya langsung merebut Remote dari genggaman tangan kakaknya. Ia mulai mengganti saluran, namun raut wajahnya tetap tertekuk. Sudah hampir tiga tahun aku di sini, tentu tahu persis acara kesukaannya. Dilihat dari ekspresinya, tampaknya acara kuliner kesukaan gadis itu tidak tayang.

[1/1] Di Balik Layar KacaWhere stories live. Discover now