60 : Peti Hitam Vs Mantra x Dharma 2

Mulai dari awal
                                    

"Braja ...."

Bayu dengan kedua tangannya berusaha melepaskan tangan Dirga yang kini sedang menyengatnya dengan listrik dari atmanya. Namun, karena tak mengenakan topengnya, Bayu kehilangan sebagian besar kekuatannya dan jatuh terkapar di tanah, ia tak sadarkan diri.

***

Di sisi lain pertempuran.

Septa yang terpojok justru menyeringai sambil tertawa.

"Sejak awal, gua tau kalo lu itu agen ganda--"

"Tapi gua ga nyangka, lu lebih berpihak ke sisi gelap," ucapnya pada Tara.

"Gua tau resikonya, dan tetep ngambil jalan ini--" ucapnya terpotong.

"Karena gua terlalu yakin, bisa ngatasin lu berdua."

Septa mulai memberontak dari kuncian Tara, tangan kanannya berhasil meloloskan diri dari pitingan Tara dan segera melesat menggenggam kerah seragam Tara.

Sial! batin Tara.

Septa menyentil jakun Tara dengan seluruh kekuatannya, membuat Tara kesakitan dan kehilangan posisi terbaiknya. Septa memanfaatkan waktu ini dengan mendorong Tara, kini ia bebas.

Tepat di belakangnya, kuku-kuku tajam Emil melesat, namun hanya bermodalkan pendengaran, Septa menggeser sedikit kepalanya, hingga membuat serangan Emil meleset.

Orang ini gila! batin Emil.

Septa memutar tubuhnya dan memukul Emil menggunakan telapak tangan kanannya.

"Ajian Waringin Sungsang!"

Seperti ada yang meledak dari dalam tubuh Emil, sama seperti sebelumnya, Emil terpental dan mengeluarkan darah dari mulutnya.

"Dampak Waringin Sungsang adalah sepuluh kali lipat jika mengenai pengguna ilmu hitam," teriak Tara pada Emil.

Emil yang hampir kehilangan kesadaran, segera melepas wujud harimaunya dan kembali ke wujud manusia. Tara memberikan waktu Emil untuk memulihkan diri, ia menyerang Septa dengan bermodalkan kekuatan fisiknya.

"Kemampuan Dharma dalam penerapan ilmu bela diri memang sangat terampil--"

"Tapi jangan lupa, kemampuan lu jauh di bawah gua," ucap Septa sambil menendang leher sebelah kanan Tara.

Emil mengambil dua buah belati dari kantungnya. Keluarga Wijayakusuma adalah keluarga yang memiliki kecepatan dan keterampilan membunuh menggunakan pisau belati. Emil yang sudah pulih, segera berlari ke arah Septa.

"Percuma--"

Ucapan Septa terhenti, Tara menotok tubuhnya hingga membuat  Septa tak bisa menggunakan lengan kirinya.

Sejak kapan dia punya kemampuan begini? batin Septa.

Jleb!

Dari belakang, sebuah belati menusuk bahu kanannya.

Melihat Septa yang mulai melemah, Tara tak menyia-nyiakan kesempatan, ia menendang balik leher bagian kanan Septa, persis sama seperti apa yang dilakukan Septa kepadanya.

"Nih, gua balikin," ucap Tara.

Sesuatu terjatuh dari kantung seragam Septa.

"Nah, apa ada kata-kata terakhir? Tuan Rubah licik!" ucap Emil menyeringai kepada Septa yang tergetelak di tanah.

Ia masih menggenggam sebuah belati, dan hendak membunuh Septa dengan belati itu. Namun, ketika ia hendak membunuh Septa, ia melihat sesuatu yang tejatuh dari kantung Septa.

Pin kepolisian? orang ini posili! batin Emil yang melihat pin kepolisian khusus, Dharma.

Ia ingat betul saat ia masih kecil, kira-kira usia anak sekolah dasar. Tidak seperti anak-anak lain, Emil tidak mendapatkan pendidikan di sekolah, ayahnya memanggil seorang guru privat untuk mengajari Emil perihal pendidikan.

Setiap sore, Emil hanya bisa menatap anak-anak yang bermain bola di lapangan, dari balik jendelanya.

"Kamu ga butuh hubungan sama anak-anak lain," ucap Ayahnya sambil membaca koran dan menghisap rokok pipa.

"Ayah sengaja buat ga sekolahin kamu di luar, biar kamu ga punya hubungan sama anak-anak lain."

"Kita itu pembunuh bayaran, jangan ada emosi--"

"Hubungan itu, cuma buat kita jadi labil."

Begitulah tutur ayahnya. Emil menghabiskan waktu luangnya dengan menonton televisi, ia sangat suka acara power ranger, kamen rider, ultraman, dan pahlawan super hero lainnya.

Dengan menggunakan mainan topeng-topengan dan pedang kayu, Emil menghampiri Ayahnya yang sedang duduk di depan tungku perapian.

"Ayah, Ayah--" panggilnya.

"Apa, Nak?" sahut Ayahnya.

"Kalo sudah besar nanti--"

"Emil mau jadi polisi, buat nangkep semua orang-orang jahat yang ada di dunia," ucap Emil sambil tersenyum di balik topeng-topengannya.

"Lupakan, Emil," ucap Ayahnya.

Perlahan, senyum di balik topeng itu mulai pudar.

"Jangan pernah lupa--"

"Darah Wijayakusuma mengalir dalam tubuh kita."

Mengingat itu semua membuat Emil mengenang sedikit masa lalunya, ia mengambil pin polisi milik Septa.

"Petrus."

Tara menoleh ke arah Emil.

"Jangan birin orang ini mati," ucapnya sambil membelakangi Tara.

"Obati lukanya dan bawa dia ke markas," sambungnya sasmbil berjalan pergi.

"Lu mau kemana?" tanya Tara.

"Bayu itu suka gegabah, gua mau cek keadaan, Bayu dulu," jawab Emil sambil berubah menjadi harimau dan lari mencari Bayu.

Sementara itu di mantra coffee.

Apa sebaiknya aku pergi ke atas? batin Ronggeng.

Merekaa pasti sudah menyiapkan suatu rencana di atas sana, aku akan menunggu mereka lengah dan bosan menunggu.

"Welcome to Mobile Legend."

"Tam, lu assassin ya," ucap Andis.

"Oke," Tama membalas ucapan Andis menggunakan fitur chat yang ada di game mobile legend.

"Lu pake tank, Dis?" ucap Ajay dari kamarnya.

"Ho'oh."

"Kecilin suaranya, nanti dia denger!"

Sambil menunggu pertolongan, Mereka menghabiskan waktu dengan melakukan push rank.



Mantra Coffee ClassicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang