"Jadi, maksud lo, dua tahun ini gue kuper banget, gitu? Kalau gue kuper, mana mungkin gue bisa dapet banyak nasabah dan ngelolosin target milyaran kita itu."

Athalia tidak bohong. Di antara rekan-rekan satu timnya, dia memang paling unggul dalam mencari nasabah. Ia tidak pernah ragu berkenalan dengan orang baru. Ia juga punya banyak pengetahuan soal bisnis—karena baru-baru ini Athalia juga punya bisnis sendiri, yaitu membuka sebuah jewelry shop di salah satu mal termegah di Jakarta—sehingga selalu bisa mengimbangi pembicaraan dengan nasabah. Kalau saja, petinggi-petinggi di kantor cabangnya tidak terlalu berprestasi, mudah saja ia duduk di kursi kepala cabang.

"Itu, itu, pikiran lo udah sempit duluan. Maksud gue kan, pergaulan di luar pekerjaan," sahut Keke tetap kalem. "Ayolah, sesekali ikut party. Gue juga ketemu jodohnya di sana."

"No way," tukas Athalia cepat. Gadis itu mulai menghidupkan komputernya, mulai malas dengan arah pembicaraan Keke.

"Oh, c'mon. Move on dong."

Dalam hal party dan dunia gemerlap, Athalia bukanlah anak bawang lagi. Sekali dua kali ia pernah menikmati clubbing dan mencicipi berbagai jenis alkohol. Tapi, semenjak merasakan benar-benar apa itu jatuh cinta, ia meninggalkan itu semua. Bukan karena pacarnya yang dulu itu alim atau apa. Ia cuma merasa tidak mau menghamburkan waktunya hanya untuk clubbing—mengingat padatnya pekerjaan Athalia. Usianya sudah tidak menghendaki itu. Yang ia inginkan cuma quality time dengan seseorang yang dicintainya. Seseorang yang di depannya, ia bisa berkata, "Just sit down in front of me and then, we can talk about everything."

Mendadak ada sesuatu yang terasa menyesakkan dadanya. Memaksanya lagi mengingat satu nama yang sulit ia hapuskan, sekeras apa pun mencoba. Mungkin Keke benar, ia harus move on dulu.

"Gue... mau dijodohin," ujar Athalia akhirnya, berharap bisa melenyapkan perasaan aneh yang barusan hinggap di hatinya. "Bokap gue yang mau nyariin gue calon suami."

Tidak dipungkiri, Keke langsung terperanjat. Perempuan yang biasa keluar masuk salon dan belum pernah mencicipi jamu jenis apa pun itu tentu kontra dengan yang namanya perjodohan. Dalam benaknya, perjodohan adalah hal yang tradisional banget. Sangat tidak matching dengan gegap gempita era digital seperti sekarang. Jodoh aja bisa ditemukan di Facebook, kenapa para orang tua harus repot-repot menggalakkan aksi perjodohan?

"Terus, lo mau?" tanya Keke penasaran. Ia mulai menggeser kursinya yang beroda, mendekatkan diri kepada Athalia.

Athalia mengangkat bahu. "Gue nggak bisa mengelak. Ini kayak perjanjian tidak tertulis. Kalau umur gue udah lewat 30, bokap gue boleh nyariin gue jodoh."

Keke spontan menepuk jidat, tak peduli kalau itu akan merusak lapisan bedaknya. "Ya ampuuun, gue lupa. Happy birthday ya, Tha," katanya seraya bangkit dan memeluk Athalia.

Athalia menyambutnya dengan wajah datar. "It's no big deal, beib. Umur 31 udah nggak mikirin ucapan sama kue ulang tahun kali."

"Tapi, lo tetep harus mikirin jodoh dan acara perjodohan dari bokap lo, dodooool!" seru Keke yang kemudian mencubit keras-keras pipi kiri Athalia.

Sontak Athalia menjerit dan mengaduh, "Aaak! Sakit tauk!" Gadis itu melepas paksa tangan Keke dari pipinya dan menepuk lengan sahabatnya itu sekilas sebagai balasannya.

Pelaku kekerasan terhadap pipi Athalia hanya meluncurkan tawa keras. Melihat pipi partner in crime-nya di kantor memerah memang menggelikan. Tetapi, lebih menggelikan lagi mendengar kabar bahwa cewek se-almost perfect Athalia akan dinobatkan menjadi Sitti-Nurbaya-keluaran-terbaru oleh ayahnya sendiri.

Marry My DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang