Part 2

208 10 1
                                    

Sebuah ruangan yang terdiri dari tujuh meja itu masih lengang. Hanya ada satu orang yang sudah sibuk di mejanya. Padahal tadi saat jempolnya menyentuh mesin fingerspot, Athalia yakin sekali kalau ia sudah terlambat lima belas menit. Tampaknya list karyawan yang datang ke kantor terlambat tambah banyak dari hari ke hari, dan pihak manajemen harus segera mencari cara untuk mendisiplinkan dan meningkatkan semangat kerja karyawannya lagi.

Belum sempat melepaskan tas cangklongnya, mata Athalia sudah tertumbuk pada sebuah undangan di atas mejanya. Ia tidak begitu memerhatikan desain kartu undangan yang manis dan minimalis itu, melainkan langsung menelusuri informasi khusus yang tertera di sana. Nama pasangan mempelai dan kapan acara resepsi dilangsungkan.

"Ini undangan dari si Indra?" tanya Athalia pada Keke, rekan satu tim yang berada tepat di sebelah mejanya. Gila, baru datang, udah ngecek bon jual beli aja tuh bocah, batin Athalia sambil melirik cewek berpotongan bob itu.

"Iya. Doi jadi nikah sama Rina, teller  yang resign tiga bulan yang lalu," jawab Keke, masih tetap fokus pada bon-bon di depannya. Ia mungkin harus merekap semua itu sebelum survei atau bikin akad kredit baru hari ini.

"Mana tuh bocah?" Kini Athalia duduk dan melepas tas Furla KW sekian yang ia beli dari pacarnya Panji seminggu yang lalu. Sepasang matanya lalu terarah ke meja Indra. Sayang, manusia yang menghuninya tidak sedang di tempat. Cuma ada mug besar dengan uap beraroma black coffee yang mengepul dan melambai-lambai ke arahnya. Bisa jadi si calon pengantin sedang berkelana ke seluruh penjuru gedung demi menyampaikan berita hari bahagianya.

"Keliling ngasih undangan kali." Keke masih pelit kata-kata waktu menjawab pertanyaan Athalia. Tapi kali ini urusan rekap-merekapnya hampir selesai.

Athalia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi dan menghela napas. "Ya Tuhan, lindungi gue dari dunia yang makin sempit ini."

"Doa minta jodoh sekalian gih!" ledek Keke cepat. Ia memang satu-satunya orang di ruangan ini yang paling bersemangat kalau harus mem-bully kejombloan Athalia.

"Kampret lo!"

Sejujurnya Athalia tidak pernah takut tidak kebagian jodoh. Ia yakin, Tuhan selalu sempurna merencanakan semua hal. Setiap makhluk-Nya yang dilahirkan ke dunia ini pastilah selalu dilengkapi dengan seperangkat jasmani dan rohani yang baik, berkantong-kantong rezeki, serta belahan jiwa yang diatur pertemuannya. Bahkan, Dia juga sudah mengatur masa tugas manusia di bumi dengan menyetel tanggal dan tahun kematiannya.

Namun, Athalia tidak menyangka bahwa karier dan pekerjaan yang selama ini dengan ringan ia jalani bisa berpeluang mempersempit dunianya sendiri. Dalam konteks ini, ya, yang seperti disebutkan Keke: jodoh. Tidak hanya Indra, masih banyak di antara teman-temannya yang akhirnya menikah dengan rekan kerjanya sendiri.

Memang, pekerjaan Athalia sebagai account officer bank swasta lumayan menyita waktunya. Dalam sehari, ia harus bisa mengerjakan banyak hal, mulai dari memeriksa portfolio nasabah, survei dan menganalisis kelayakan usaha nasabah yang akan dibiayai, mengusulkan besaran kredit, hingga me-maintance nasabah. Ia tidak selalu bisa bekerja nine to five seperti karyawan lainnya. Lebih seringnya, ia harus pulang jam 9 malam demi menuntaskan target kantor cabangnya. Kalau tidak sedang beruntung, ya, waktu akhir pekannya juga bisa tersunat cuma untuk bertemu nasabah.

Coba waktu bekerja Athalia itu dikalikan tiga tahun. Mungkin ada angka miliaran detik yang ia lewatkan hanya untuk bekerja dan mencari nafkah, yang membuatnya lupa bahwa ia juga harus menyisihkan sebagiannya untuk menemukan pendamping hidup.

"Sebenernya dunia ini luas banget kali, Tha. Benua aja ada lima," celetuk Keke sambil menutup mapnya, sedikit membuyarkan lamunan Athalia. "Tapi lo aja yang mempersempit pikiran lo dan nggak mau membuka diri."

Marry My DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang