09. Rumah Pohon

1K 146 9
                                    

Plakk.

Satu tamparan cukup keras baru saja melesat di pipi Defras tanpa penghalang. Pemuda indo ini hanya bisa terdiam menunduk, menatap sepatu putih yang dipakainya di bawah sana.

Ia tidak menyangka sang ayah akan melakukan hal menyakitkan ini lagi padanya. Melakukannya hanya karena apa yang ia inginkan tak sejalan dengan beliau.

"Kamu orang sudah berani lawan Papa hah?!" Pekik Jose tepat di hadapan wajah anaknya. Ia menyimpan kasar cerutu yang baru saja dihisapnya di atas meja.

Defras tersenyum lirih seraya menggapai sudut bibirnya yang terasa perih. Kekuatan pria tua Nederland itu ternyata tidak bisa diremehkan. Perlahan ia mulai mengangkat kepala, menatap satu-satunya orangtua yang masih ia miliki.

"Papa? Saya baru tau dan merasakan kalau ada orangtua yang tega meyakiti anaknya sendiri" Ucap Defras berani membuat wajah Jose semakin memerah mendengarnya.

Jose mengabaikan ucapannya itu. Ia berjalan perlahan menuju jendela dibantu dengan tongkat kayu kesayangannya. Sembari memandangi lamgit malam, Jose menghela nafas pelan sebelum berbicara.

"Sudah Papa duga, kamu akan seperti ini jika berteman dengan para inlander itu"

"Seperti ini?" Ulang Defras kembali tersenyum getir mendengarnya.

"Maksudnya.. seperti yang Opa lakukan dulu, begitu?" Sambungnya membuat Jose berbalik melempar pandangan tajam. Lagi.

Defras terkekeh pelan melihat ekspresi sang ayah yang menurutnya menggelikan. Meskipun tersenyum, kedua ujung mata pemuda itu terlihat menampung tetes air yang siap jatuh kapanpun jika ia tidak menahannya.

Perlahan, Defras mendongak, menatap langit-langit rumahnya yang begitu megah. Berusaha menahan cairan bening yang entah kenapa tiba-tiba mendesak ingin keluar dari kedua matanya. Begitupun dengan dadanya. Menyesakkan. Entah sejak kapan ia harus terkurung dalam sangjar emas ini.

"Papa tau? Yang menerima saya apa adanya adalah mereka, yang membuat saya rasa punya teman adalah mereka. Bangsa yang sama dengan Mama!" Tegas Defras dengan mata yang memerah.

Jose jengah mendengar itu. Ia menghampiri sang anak lalu menarik kerah kemeja gading itu. Ia menatap Defras nyalang sambil menguatkan genggamannya pada tongkat.

"Sudah berapa kali Papa katakan jangan pernah bahas itu lagi, hah?!"

"Kenapa? Padahal Opa selalu terbuka terhadap inlander tapi kenapa Papa bersikap seakan-akan mereka adalah musuh Papa?" Desak Defras melempar pertanyaan yang membuat Jose muak.

Mendengar itu, Jose melepas cengkraman dari kerah kemeja anaknya. "Bukan Papa, tapi kita! Dan bukan seakan-akan, tapi mereka memang musuh kita. Ucamkan itu!"

"Sepertinya Papa lupa dengan wasiat Opa dan sepertinya Papa lupa dengan jasa yang telah Opa lakukan untuk negeri ini. Kenapa Papa ingin menghancurkan semua ini? Sedangkan Opa sudah memperjuangkannya mati-matian? Papa ingin mengingkari janji yang sudah dibuat, begitu?"

Jose terdiam mendengarkan semua penuturan sang anak. Ia semakin membisu saat melihat Defras tersenyum lebar. Ia bersumpah akan melakukan hal yang lebih dari tamparan tadi jika anaknya ini berbicara diluar kendali.

"Saya tidak habis pikir apa yang mereka pikirkan tentang nama Baron Van Hoevell" Ucap Defras menjeda sejenak apa yang hendak disampaikan. Ia menghapus jejak airmata yang lolos melintasi pipinya.

"Seorang pendeta yang hanya ingin memberikan kebebasan dan membangun sekolah untuk segelintir orang. Bahkan sempat diusir oleh pemerintah negaranya sendiri karena mengusahakan kesejahteraan untuk inlander. Saya yakin Papa sadar, sikap Papa ini bertolak belakang dengan Opa"

AKHIR PERMULAAN [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang