15 Januari 2014

4K 1.1K 278
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentarI'd really appreciate it

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jadi, siapa yang mengambil ini?"

Olive duduk dengan kaki bersimpuh, tangan di lutut, kepala menunduk, mulut tertutup rapat. Di depannya, tasnya telentang, terbuka lebar-lebar, memuntahkan beberapa barang keluar.

Karena tak kunjung ada jawaban, aku mengulangi, "Siapa yang ambil ini—kau atau Wilis?"

Kaki hantuku menyenggol—atau menembus, tepatnya—buku album foto keluarga yang seharusnya berada di loteng. Sudah menguning, halaman demi halamannya lengket, dan jilidannya masih penuh debu serta sarang laba-laba. Sekarang, benda itu berada di lantai kamar Olive—dibawa olehnya dan kakaknya, jauh-jauh dari rumahku.

Aku menunggu, tetapi gadis itu masih bungkam. Kali ini, dengan nada tidak sabar dan betul-betul marah, aku mendesak, "Olive—"

"Aku ..." jawabnya kemudian dengan suara pelan. Kedua tangannya saling remas. "Aku yang ambil."

Kutelan rasa iba dan tidak tega melihat wajahnya. Kulanjutkan dengan menunjuk selembar jaket yang menggumpal, setengah menyembul keluar dari tasnya. "Dan siapa yang mengambil ini?"

"Aku juga." Gadis itu menjawab, kali ini mengangkat kepalanya. "Soalnya masih kelihatan bagus ... aku tidak paham kenapa kau menyimpan ini di loteng—"

"Karena ini bukan punyaku," kataku sambil menekan suara. Gigiku menggertak. Aku berjongkok di depannya, barang-barang yang diambilnya dari loteng rumahku membentang di antara kami. "Ini punya mendiang ayahku."

Olive buru-buru menundukkan pandangannya lagi. "Ma-maaf ...."

"Bagaimana dengan yang ada di dalam tas Wilis?"

"A-ada album foto satu lagi yang lebih kecil." Olive menjabarkan. "Terus ada HP jadul—menurut Wilis, itu punyamu yang sudah lama ... dia bilang, mungkin ada sesuatu di dalam yang kau sembunyikan, walau sebetulnya aku juga sadar kalau dia cuma kepo. Soalnya aku juga begitu—kami berdua kepo. Juga ... Wilis mengambil dompet kecil merah muda—kayaknya itu punya kakakmu. T-tidak ada uang di dalamnya, kok. Wilis bilang, di dalam dompet itu ada fotomu sama kakakmu."

Aku tahu dompet yang dimaksudnya. Desember 2012 yang lalu, waktu Kak Nila ulang tahun yang ke-23—hanya 5 bulan sebelum dirinya hilang—aku memberinya dompet itu sebagai hadiah. Aku memilih warnanya secara khusus karena Kak Nila benci warna merah muda. Namun, kudapati dia tetap membawa-bawanya meski tidak pernah memasukkan selembar uang pun ke dalamnya—itu pun karena kakakku punya kebiasaan menjejalkan uang sembarangan ke dalam tas begitu saja.

IridescentWhere stories live. Discover now