DUA PULUH SATU

319 88 31
                                    

Kurang lebih sekitar dua jam kami berkeliling mall Grand Indonesia hanya untuk mencari gaun Mia. Benar kata Arista tadi, kalau aku ingin move on seutuhnya kepada Sadam, aku harus mengingat Sadam sebagai seorang cowok yang sangat kubutuhkan. Dengan begitu, hatiku bisa menerima Adera sebagai seorang kakak-seperti kata Sadam. Dan kalau dipikir-pikir juga, kenapa aku harus menyukai Adera? Bertemu saja jarang.

"Sabrina," suara Adera menyadarkanku. Rupanya aku sudah beberapa langkah di belakangnya. Dia menunjuk sebuah gaun di ruang kaca sebuah butik. "Gimana kalau ini?"

Aku menghampirinya dengan langkah lunglai. Para cacing di perutku sudah membakar ban untuk berdemo. Mungkin kepala mereka sudah terikat dengan pita merah. "Yang mana, Kak?"

"Kamu udah laper, ya?" Adera malah balik bertanya saat melihatku memegang perut untuk meredam suara yang berasal dari perutku. Bisa panjang ceritanya kalau begini. "Maaf, Bri. Jadi kelamaan. Atau kita ke atas dulu cari makan?"

"Enggak usah, Kak. Cari buat Kak Mia aja dulu."

"Ya udah. Ayo, masuk! Mudah-mudahan di sini ada yang cocok."

Aku pun masuk mengikuti Adera. Sambil mengikutinya, pandanganku mencoba berkonsentrasi melihat gaun yang apa yang cocok untuk Mia gunakan.

"Selamat malam," sapa seorang pramuniaga. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Oh iya, Mbak. Saya nyari gaun hitam yang sederhana, tapi tetep terlihat elegan," jelas Adera. "Kira-kira yang mana, ya?"

Emangnya gaun kayak apa sih yang dia cari untuk Mia?

"Untuk acara malam, ya?"

"Iya, untuk acara pertunangan saya."

Damn! Aku lupa. Iya kan mereka akan tunangan pas hari ulang tahunnya Mia. Ya semoga saja enggak ada hambatan sampai hari H.

Sang pramuniaga menoleh ke arahku. Sebelum dia berpikiran aneh seperti ternyata yang akan dinikahi oleh Adera adalah bocah ingusan yang masih menggunakan seragam SMA, aku pun langsung bereaksi dengan menggelengkan kepala. "Bukan sama saya, Mbak. Tapi Kakak saya yang mau tunangan," aku mengucapkannya dengan perasaan gugup dan takut.

Terdengar suara kekehan Adera. "Udah, Bri. Kamu cari aja gaun yang kamu mau. Biar aku yang nyari buat Mia."

"Eh, iya, Kak." Aku langsung melemparkan tatapan enggak suka atau bisa dibilang dengan wajah datarku ke arah pramuniaga. Aku berbalik badan dan... ya, Tuhan. Aku suka gaun itu!

Aku mengambil ponsel di tas, berniat untuk memotretnya dan mengirimnya kepada Sadam. Aku ingin memberitahu tentang apa yang kulakukan bersama Adera. Kudekati gaun hitam itu dan mengambil gambarnya.

SABRINA: Bagus enggak?

Enggak sampai lima detik, tertera di layar Sadam sedang online. Dan segera saja dua centang biru terlihat. Sepertinya dia memang menunggu kabar dariku.

SADAM: Buat lo?

SABRINA: Iya, buat gue. Suka enggak? Kalo enggak, gue cari yg lain.

SADAM: Dibeliin Adera?

SABRINA: Iya buat acara tunangan Kak Mia lusa nanti.

SADAM: Beli aja yg lo suka. Pokoknya apa yg lo suka, gue jg suka :*

Aku terkejut melihat emot yang digunakan Sadam. Apa maksudnya, sih?

Aku mengambil gaun hitam pendek berlengan panjang tersebut beserta gantungannya. Lalu, aku berjalan menghampiri Adera. Aku suka dengan modelnya. Ada motif brokat bintik-bitik hitam yang menyambung dengan kerah shanghai. Sederhana, tapi tetap elegan kalau kata Adera.

MAHKOTA KERTAS [tamat]Where stories live. Discover now