Tama menoleh ke arah Andis.

"Dia di sebelah lu," ucap Andis.

Tama seperti membeku, ia tak berani menoleh.

"Tenang, lu ga bisa liat kok, cuma gue yang bisa liat," ucap Andis lagi menenangkan Tama.

Tama mencoba untuk tidak takut dan memejamkan mata, ia menarik nafas panjang dan perlahan membuangnya, begitu hingga ia mulai merasa tenang. Perlahan ia buka matanya.

"Dis?" panggil Tama sambil menoleh mencari keberadaan Andis yang hilang.

"Woy ga lucu sumpah!"

Tama baru saja menyadari hal aneh, ia bersama Andis datang saat langit sudah gelap. Tapi kenapa sekarang langit cerah berwarna oranye?

Terlihat jelas anak-anak kecil sedang bermain bola di lapangan yang masih bisa dijangkau oleh mata Tama, beberapa gadis sedang sepedahan di pinggir sungai.

Apa yang terjadi? batinnya.

Tama berada di tempat yang ia yakini memang tempat ia sedang berdiri sebelumnya, namun suasana yang ia lihat membuatnya jadi bingung, karena malam yang seharusnya gelap, kini menjadi suasana langit sore. Andis yang bersamanya pun tidak ada di tempat, bahkan motornya juga tidak ada, seharusnya jika Andis pergi maka akan meninggalkan suara mesin, namun yang Tama rasakan benar-benar tidak begitu.

Seorang nenek-nenek sedang berdiri di pinggir jalan raya, ia terlihat bingung, sepertinya ia ingin menyebrang jalan, namun ia ragu karena banyak kendaraan yang berlaju cepat.

Tama menghampiri nenek itu, "Biar saya bantu nek," ucap Tama.

Nenek itu diam dan menghiraukan Tama, pria itu mengira bahwa nenek itu mungkin pendengarannya kurang baik dan Tama berinisiatif untuk menggandeng tangan nenek itu lalu kemudian membantunya untuk menyebrang jalan.

Sesuatu yang aneh terjadi, Tangan nenek itu tak bisa ia raih, ketika hendak menyentuhnya tiba-tiba saja seperti menembus. Tama baru ingat bahwa hantu yang Andis ceritakan adalah sosok nenek itu dan seketika Tama menjadi panik.

Nenek itu memberanikan diri untuk menyebrang, ia berjalan pelan dan memberikan tanda pada kendaraan untuk berhenti. Sebuah mobil yang mejalu kencang tiba-tiba saja melakukan rem dadakan, membuat sontak pengendara motor di belakangnya jadi berbelok dan menghindari mobil itu. Tanpa pengendara motor itu tahu bahwa ada seorang nenek yang sedang menyebrang.

Kecelakaan tragis terjadi, sang pengendara jatuh dan dilarikan kerumah sakit bersama dengan nenek yang ia tabrak.

Scene berganti, tiba-tiba saja Tama berada di rumah sakit. Ia menjadi tambah bingung, kemampuan ini seperti kemampuan tangan kanannya yang bisa melihat masa lalu, namun perbedaannya terletak pada 'peran'.

Jika Tama menggunakan tangannya untuk melihat masa lalu objek, ia akan berperan sebagai penonton dan hanya melihat rekaan kejadian. Namun kali ini entah apa yang ia lakukan, ia menjadi seorang pemeran dan dapat dengan leluasa berjalan-jalan.

Sang pengendara berhasil diselamatkan, namun sayangnya nyawa nenek itu tak bisa diselamatkan.

Tama memejamkan mata dan menarik nafas panjang, kemudian ia keluarkan secara perlahan. Ia membuka mata, dan Andis tepat berada di sebelahnya.

"Nenek itu masih ada di sebelah gua?" tanya Tama.

"Masih, kenapa? takut lau?" ledek Andis.

"Coba deh, lu bantu dia nyebrang," ucap Tama.

"Buat apaan Tam? kan dia bisa nyebrang sendiri kalo mau, bisa terbang juga mungkin hahaha," bercanda Andis.

"Gua serius Dis, coba lu bantu nyebrang," ucap Tama dengan wajah murung.

Melihat Tama yang keluar dari sifatnya, Andis mengerti bahwa Tama tak sedang bercanda. Ia mencoba berkomunikasi dengan nenek yang wajahnya terlihat cukup menyeramkan, mungkin karena waktu meninggal wajahnya terhantam motor atau akibat gesekan aspal jalanan.

Sebenarnya Andis cukup ngeri untuk berkomunikasi dengan hantu-hantu yang bentuknya menyeramkan, namun ia mencoba berani. Andis menuntun nenek itu untuk menyebrang jalan, nenek itu jalan perlahan-lahan dan Andis mengikuti temponya.

"Orang gila," ucap orang-orang yang melihat Andis.

Andis tak peduli, karena memang dari kecil ia sudah sering mendapat komentar begitu, ia di cap gila karena sering berbicara sendiri atau bermain sendiri. Ia tetap berpose seperti seolah-olah menuntun manusia, itu yang orang lain lihat.

Sesampainya di sebrang jalan, nenek itu berjalan pergi meninggalkan Andis dengan senyuman dan wajahnya tak seseram sebelumnya. Kini wajahnya seperti nenek biasa tanpa darah dan luka, ia menoleh ke arah Tama dan memberikan Tama senyum, walaupun Tama tak bisa melihatnya. Andis yang menyadari itu langsung mengerti, mungkin ada sesuatu yang Tama lakukan sehingga ia bisa tahu tentang masalah arwah penasaran dan juga dari rasa terima kasih nenek itu pada Tama.

Waktu seakan melambat, Yama datang dan menemani nenek itu pergi.

"Tuan Yama," panggil Andis.

Yama menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Andis.

"Aku punya satu permohonan," ucap Andis lirih.

"Hidup dan mati, dunia manusia dan dunia arwah, itu semua di luar kehendak mu, kau memang sudah bekerja keras untuk menolong para arwah ini, tetap lanjutkan itu, yang kau lakukan sudah benar anak muda," ucap Yama yang melanjutkan berjalan.

"Jangan bawa Sekar," pinta Andis memohon.

"Kau tau? semakin lama ia berada di bumi manusia, semakin ia akan termakan oleh atma hitam, dia akan berubah menjadi sosok yang kelak akan mencelakai mu."

"Camkan itu Andis," ucap Yama yang menghilang dalam kabut.

Tiba-tiba saja Andis di kagetkan dengan ponselnya yang bergetar, ia mengangkat telpon.

"Hallo."

"Woy Dis, udah kelar belum?" ucap Tama yang memandangnya dari sebrang jalan.

"Yaelah pake acara nelpon, teriak dikit mager amat lu," balas Andis.

Dari jauh Andis melihat Tama menggelengkan kepala.

"Yaudah OTW," Andis mematikan telpon dan segera kembali ke tempat Tama menunggu.

"Sekuy cabut," ucap Andis.

"Lu ada masalah?" tanya Tama.

"Masalah apa dah?"

"Sedikit-sedikit gua belajar dari Ajay--"

"Senyum lu beda dari biasanya," sambung Tama.

"Bedanya?" tanya Andis penasaran.

"Senyum lu ambigu--"

"Banyak makna, tapi di sisi lain kehilangan hakikatnya," sambung Tama lagi.

"Ah belagu banget lu Tam, banyak gaya banget Mario Tamaguh," ledek Andis.

"Kalo lu emang ga mau senyum, kenapa lu harus maksain buat selalu senyum? sembunyi di balik sebuah kepalsuan," ucap Tama yang membuat Andis terdiam.

"Gua ga nyangka--" Andis merespon omongan Tama.

"Orang pertama yang bilang begitu adalah orang yang baru aja bisa senyum." 

"Banyak orang bilang, mualaf itu adalah orang yang paling dekat dengan agama, karena ia belajar dengan sungguh-sungguh. Mungkin lu juga begitu," sambung Andis.

"Gua bukan mualaf Dis," bantah Tama.

"Hadeh, dasar IQ terjerembab, itu cuma perumpamaan," celetuk Andis.

"Orang yang paling ga punya ekspresi dan belajar tentang cara berekspresi itu adalah orang yang paling peka terhadap ekspresi seseorang."

Paling juga si Tama kagak ngarti, batin Andis.

Setelah basa-basi panjang mereka, akhirnya mereka segera kembali ke mantra.

Mantra Coffee ClassicWhere stories live. Discover now