Prolog

227 5 0
                                    


Hidupku sungguh beruntung, karena istriku cantik.

Perkenalkan namaku Joko, seorang anak tunggal yang sejak kecil hidup berkecukupan materi dan kasih sayang kedua orangtua. Meskipun bukan tergolong kaya raya tapi orangtuaku termasuk orang yang dihormati di Kampungku dulu. Iya dulu entah sekarang. Semua karena kebodohanku.

Karena terlahir sebagai anak tunggal aku dididik menjadi anak yang patuh, taat pada perintah orangtua. Bagiku perintah orangtua adalah titah yang harus dilaksanakan selama masih dalam koridor kebenaran dan kebaikan.

Aku termasuk anak yang berprestasi dan tak pernah membuat kecewa orangtua dengan prestasi yang kuraih. Sampai akhirnya bisa meraih gelar sarjana hukum dengan predikat cumlaude.

Karena predikat tersebut aku yang hanya anak kampung sangat senang saat mendapat banyak tawaran pekerjaan di berbagai perusahaan. Salah satu yang menawarkan gaji dan fasilitas yang paling bagus adalah di seberang pulau tepatnya di Papua. Saat mendapat panggilan tersebut dengan sangat antusias aku meminta restu Bapak Ibu.

"Pae, Bue, alhamdulillaah Joko dapat panggilan kerja."

"Alhamdulillaah, kerjanya dimana Le?" Tanya Pae.

"Kerjanya di kantor notaris Pak. Gajinya besar, ada fasilitas rumah dinas sama mobil dinas," aku masih ragu menyebutkan dimana aku akan bekerja, takut tidak mendapat restu mereka, meskipun aku tahu harus mengutamakan birrul walidain.

"Ya kalau kamu suka diambil saja Le, tapi kalau tempatnya jauh Ibu gak bakal ngijinin Le. Ibu emoh jauh dari anak lanang sing tak sayang."

Dhuarrrrrrrr.

Bagai disambar petir, mungkin benar kalau orangtua memiliki ikatan batin dengan anaknya. Apalagi aku adalah anak tunggal. Padahal baru saja aku membatin takut jujur jika menerima pekerjaan di Papua, belum lima menit aku membatin. Ya Allah.

"Anu Bu, itu, anu Joko dapat panggilan kerjanya di Papua," jawabku sambil terbata-bata karena gugup.

"Papua iku jauh apa dekat to Le? Ora perlu naik kapal utawa montor mabur to?"

"Jauh Buk, di seberang pulau. Harus naik kapal atau pesawat."

"Hah." Ibu menganga karena kaget. "Pokoknya ibuk gak setuju kamu kerja adoh sama orangtua. Le kamu gak kasihan apa sama Bapak Ibuk? Anakku cuma Kamu Le Cah Bagus. Apa gak ada kerjaan lain to Le?"

Karena takut membuat mereka sedih, akhirnya aku menerima panggilan kerja yang paling dekat dengan rumah. Karena cuma yang dekat dan bisa pulang ke rumah tiap hari lah yang dibolehkan mereka. Padahal sudah kutawarkan panggilan kerja yang satu pulau namun beda propinsi namun tidak boleh. Jangankan beda Propinsi, beda Kabupaten saja dilarang.

Sejak dulu aku adalah anak yang sangat manut. Meskipun berat akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di kotaku sendiri. Cuma kota Kabupaten, kota kecil juga dengan pekerjaan dan gaji yang kecil.

Meskipun begitu aku tetap menikmati. Karena bagiku taat pada orangtua adalah yang bukti kasih sayang dan baktiku pada mereka. Bagiku mereka adalah separuh hidupku.

Sampai aku bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis yang cantik, pintar, ceria yang begitu menarik hatiku. Gadis yang bekerja sebagai kasir di sebuah Bank swasta tersebut untuk kali pertama berhasil membuat jatuh cinta dan kujadikan pacar. Meskipun dia banyak maunya, karena benar-benar jatuh cinta kuabaikan sifat pacarku yang satu itu. Kata orang cinta itu buta, dan terjadi padaku.

Setelah dua bulan berkenalan akhirnya aku memutuskan untuk mengenalkan Sinta pada orangtua. Sayangnya disaat niat untuk mengenalkan Sinta, disaat bersamaan orangtuaku menjodohkan aku dengan gadis pilihannya.

Namanya Syafira, dia tetanggaku adik kelasku saat kuliah tapi beda jurusan. Usianya 3 tahun di bawahku, dia putra Pak Lurah di Desaku. Anaknya santun, manis, agamanya bagus, nasabnya jelas dan dari keluarga baik-baik, kerjanya sebagai guru Sekolah Dasar.

Tapi hatiku sungguh tak bisa berbohong. Untuk kali pertama aku menolak permintaan orangtua, aku lupa akan birrul walidain. Hanya Sinta yang aku pikirkan. Hanya Sinta yang aku cintai. Aku benar-benar tergila-gila dengan Sinta. Akhirnya dengan berat hati orangtuaku menikahkan aku dengan Sinta.

Sinta, wanita cantik yang kini telah jadi istriku itu nyatanya aku tidak begitu mengenalnya. Yang kutahu dia adalah anak seorang pengusaha kaya, dua saudaranya sudah berkeluarga dan semuanya hidup dengan bergelimang harta. Hanya sebatas itu saja yang kutahu.

Nyatanya banyak kejutan di rumah tangga kami. Karena terbiasa hidup mewah, Sintaku tak pernah mau menyentuh urusan domestik rumah tangga. Dia tahunya beres, entah bagaimana caranya. Saat kumintai bantuan dia beralasan dulu tidak pernah diajarkan orangtuanya untuk mengurus rumah tangga. Semua pekerjaan dan keperluan disiapkan oleh pembantunya.

Kira-kira bagaiman Caranya aku menyelesaikan urusan donestik tersebut? Ambil pembantu? Tidak mampu aku! Meskipun aku dan Sinta sama-sama bekerja, tetapi uang Istriku tak pernah keluar sepeserpun untuk urusan rumah tangga. Gajinya selalu masuk rekening dan sedikit sekali ia ambil untuk keperluannya. Prinsip Sinta suami ya harus mencukupi semua kebutuhan istri dan kebutuhan rumah tangga. Dia benar kan?

Akhirnya aku harus mengalah. Ini pilihan hidupku sendiri. Dia istri pilihanku sendiri, malu pada Bapak Ibu kalau aku berkeluh kesah. Untunglah kami hidup terpisah dari orangtuaku. Aku menempati rumah orangtuaku dulu, sedangkan mereka memilih membuat pondokan kecil di tanah mereka yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah ini. Hanya beda RT. Entahlah apa alasan mereka pindah rumah dan memilih tinggal di rumah kecil.

Akulah yang mengerjakan semua urusan domestik rumah tangga kami. Pagi-pagi aku memasak nasi di mesin penanak nasi. Lauknya aku biasa beli di pasar dekat rumah. Sintaku juga termasuk pemilih makanan. Dia suka makan lauk yang enak, kalau aku beli lauk yang sederhana misal tahu dan tempe dia tak akan mau makan. Aku maklum, mungkin itulah kebiasaannya dari kecil.

Setelah menanak nasi dan beli lauk baru terkadang aku mencuci baju, menyapu juga menyirami tanaman. Aku memang sejak dulu suka dengan bunga. Meskipun aku lelaki tapi hobiku bertanam bunga dan membuat taman di halaman. Lalu apa tugas istriku?

Bangun tidur dia hanya sholat, mandi lalu berdandan. Kadang kalau semua pekerjaan rumah belum selesai aku mengerjakan sore setelah pulang kerja. Setelah selesai berdandan Sinta makan sarapan yang sudah aku sediakan lalu bergegas berangkat kerja. Sebelum berangkat ritual Sinta adalah cium tangan dan minta uang jajan dan uang bensin.  Apa kamu kaget? Tadi kan sudah kubilang, gaji  istriku utuh di rekeningnya. Semua kebutuhannya aku yang memenuhi.

Suatu hari Sinta mengeluh capek berangkat dan pulang kerja naik sepeda motor. Dia minta dibelikan mobil.

"Mas, aku capek tiap hari berangkat dan pulang kerja naik motor. Beliin aku mobil ya Mas."

"Aduh Dik, gaji Mas hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kita juga sedikit membantu orangtuaku. Kamu tahu kan, Bapak sekarang sudah sepuh sudah gak kuat kerja lagi. Jadi aku harus bantu. Kalau bukan aku siapa lagi yang bantu Ibu Bapak Dik?" jawabku sambil menghela napas.

"Kredit masak juga gak bisa Mas. Makanya gak usah sok baik hati bantu keuangan Ibu Bapak. Kalau begini kan jadi Kamu gak bisa nabung Mas. Aku aja gak pernah bantu tuh keuangan orangtuaku. Menurutku kalau sudah berumah tangga kita sudah gak wajib bantu orangtua."

Astaghfirullah, aku harus ekstra sabar menghadapi istriku ini. Berkali-kali kuberi pengertian tentang kewajiban anak laki-laki terhadap orangtuanya dia tetep kekeh pada pendiriannya. Hatus bagaimana aku? Kalau aku terus mempertahankan pendapat ujungnya pertengkaran.

Dengan sangat halus aku coba beri solusi "Gini aja Dik, bagaimana kalau kamu beli pakai gajimu dulu. Nanti kalau Mas ada rejeki mas ganti deh uangnya."

"Ya nggak bisalah Mas. Gajiku ya uangku, hakku sendiri. Nggak bakalan tak keluarin kalau bukan untuk keperluan sendiri. Lagian nanti kalau aku beli pakai uangku kamu juga ikut pakai mobilnya. Apa kamu nggak malu sama orangtua dan saudaraku? Dimana tanggungjawabmu sebagai suami?"

Ya Allah sabarkanlah hatiku. Meskipun hanya satu tapi ISTRIKU BANYAK... MAUNYA.

Istriku banyak perintahnya.
Istriku banyak egoisnya.
Istriku banyak menangnya alias tidak mau mengalah.
Istriku banyak uangnya, tapi tak mau mengeluarkan sedikit saja untuk keperluan rumah tangga.

Apa Istriku durhaka?

Coba katakan padaku.

ISTRI DURHAKAWhere stories live. Discover now