(II) Pertemuan

206 33 1
                                    

Kokok ayam hutan saling bersahutan menyambut cahaya matahari yang hangat. Daun-daun di pucuk pepohonan raksasa berkilauan, perak keemasan disepuh cahaya matahari. Angin bertiup sepoi-sepoi seakan tak mau ketinggalan mempercantik pagi.

Namun, kecantikan pagi ini sirna seketika saat derap suara puluhan ekor kuda terdengar dari kejauhan. Tapak-tapak kaki kuda itu menerbangkan debu-debu dan daun-daun kering. Suara langkah kaki kuda yang menginjak dedaunan kering terdengar semakin lambat, sebelum akhirnya berhenti. Derit roda kayu mengakhiri seluruh bunyi-bunyian.

Sang kusir seperti bangun dari tidur oleh tarikan tali kekang di tangannya sendiri. Kepala sang kusir bergerak maju-mundur. Empat ekor kuda yang mengikuti kereta kuda di depannya turut menghentikan langkah. Dari balik tirai kereta kuda, muncul sosok lelaki tegap dengan bahu yang terlihat kokoh. Usianya tiga puluh tahunan. Ia mengenakan rompi bangsawan berwarna kuning-ungu. Di pinggangnya terselip keris panjang.

Dengan sopan, lelaki itu bertanya, "Kek, Dusun Walangsewu masih jauh atau tidak dari sini?"

"Wah masih jauh, ki sanak, masih setengah hari perjalanan. Ki sanak ini siapa ya?" selidik Lintang Abang.

Lelaki dengan rompi bangsawan itu tersenyum. "Oh maaf Kek, saya lupa mengenalkan diri. Saya Jayakenanga dari Kediri."

Lintang Abang berusaha tersenyum ramah, meski giginya sudah banyak yang ompong. Ia lalu juga mengenalkan dirinya dan kemudian bertanya hati-hati, "Kalau boleh tahu dan dianggap tidak lancang, Denmas Jayakenanga ini ada keperluan apa hingga jauh-jauh mencari Dusun Walangsewu yang terpencil itu?"

"Ooo...Tak apa-apa Kek, saya hanya mau menitipkan putri saya ke bibinya di Walangsewu. Maklum, di Kediri sedang ada prahara. Bala tentara Mongol dan sisa-sisa laskar Singasari tak seberapa lama lagi akan menyerbu. Sang Raja Jayakatwang menitahkan seluruh warga yang bukan prajurit mengungsi atau bersembunyi di tempat aman," jawab Jayakenanga.

Lintang Abang melongo. Buru-buru ia menjawab, "Aduh Denmas, sayang sekali, sayang sekali...Saya kemarin baru saja melintas di Dusun Walangsewu. Di sana juga sedang terjadi kekacauan mungkin seluruh warganya tak ada yang tersisa. Para begal dan rampok telah membumihanguskan dusun..."

Jayakenanga tersentak. Ia lalu menoleh ke belakangnya. "Dinda Tatya, bagaimana ini? Bagaimana sebaiknya?"

Dua wajah perempuan berparas cantik nan anggun menyeruak membuka kain pintu kereta kuda. Satu perempuan yang dipanggil Tatya berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sedangkan satu perempuan lainnya bertubuh mungil namun subur, berusia sekitar delapan atau sembilan tahun. "Oh ya Kek, kenalkan, ini istri saya, Tatya, dan ini putri saya, Kinarsih. O ya hampir lupa, Kakek juga belum mengenalkan bocah di samping Kakek itu?" tanya Jayakenanga sambil melempar senyuman.

Lintang Abang menoleh ke Parasu, ia tertawa geli, "He...he...he...Saya juga hampir lupa, maklum sudah mulai pikun. Ini cucu saya, namanya Parasu..."

Tiba-tiba bocah perempuan yang bernama Kinarsih nyeletuk, "Iiiihhh, namanya jelek sekali seperti orangnya, ya Ayah. Masak namanya...PARAS...ASU...Artinya kan wajahnya anjing..."

Lintang Abang tertawa terpingkal-pingkal. Sementara wajah Parasu merah padam seperti ubi rebus. Parasu berusaha menahan marah, "Bocah perempuan gendut yang sombong," gumamnya.

"Huussshhh! Narsih nggak boleh ngomong kasar seperti itu, ayo lekas minta maaf! Parasu itu artinya kapak, siapa tahu kalau sudah besar Parasu menjadi seperti kapak yang jika dimanfaatkan dengan baik bisa untuk menolong sesama," ujar Jayakenanga.

"Iya Ayah, menolong orang...Menolong orang untuk menebang pohon...hi...hi...hi..." celetuk Kinarsih.

"Sudah, sudah, Narsih duduk lagi sana! Kasihan temannya, cemberut terus tuh," Tatya, ibunda Kinarsih, angkat bicara.

Tatya terlihat menawan dengan gaun kebaya biru muda dan selendang merah jambu yang diselempangkannya. Kulitnya bersih, kuning langsat. Matanya teduh, hidungnya bangir, dan bibirnya yang merah selalu menyungging senyuman. Merekah seperti cahaya mentari pagi yang lembut. Anggun sekali, khas putri bangsawan. Mungkin kecantikan Kinarsih berasal dari ibundanya.

"Kangmas Jayakenanga, sebaiknya kita mengalihkan tujuan. Mungkin sebaiknya kita ke rumah Kek Wuragil di Dusun Sendangijo," Tatya memberi saran.

Jayakenanga mengangguk pelan. "Kek, terima kasih atas informasinya. Saya mohon diri hendak melanjutkan perjalanan ke Sendangijo. Kami akan berbalik arah," ujarnya sambil memberi isyarat kusir untuk berputar.

"Iya sama-sama Denmas, semoga di lain hari kita masih bisa bertemu..." tukas Lintang Abang seraya melambaikan tangan.

Ringkikan kuda-kuda terlihat tak sabar untuk segera berlari menembus hutan belantara. Sejurus kemudian, rombonganJayakenanga hanya menyisakan debu yang mengepul. Lintang Abang mendesah perlahan. Debu-debu yang mengepul dan ringkik kuda yang membawa pergi Jayakenanga, seakan memaksanya mengingat, Perisai. Ya, sosok Jayakenanga tak beda jauh dengan putra semata wayangnya. Hanya ada sedikit perbedaan; warna kulit Perisai lebih gelap dan rambutnya lebih ikal.

Titimangsa ParasuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang