Prolog

449 40 19
                                    


1222 Saka *). Ranggalawe terkulai lemas di tepi sungai itu. Kebo Anabrang roboh bersimbah darah. Lembu Sora menatap nanar dengan keris terhunus, yang masih meneteskan darah kental merah berkilap.

     Lembu Sora tak mengerti, siapa yang pantas disalahkannya. Dua sahabat yang terkapar itu, dirinya, atau bahkan sang raja pemberi titah. Sementara, kehidupan telah menggariskannya. Pantaskah ia menyalahkan Sang Pemberi Hidup yang pada akhirnya memberikan kematian?

    Keris yang masih saja tergenggam di tangan, diangkat tinggi-tinggi dan diarahkan tepat ke jantungnya. Namun, pelan-pelan keris itu diturunkan kembali. Di antara kilatan ujung keris itu, Lembu Sora menyadari, suatu saat nanti, kematian pasti juga akan menjemputnya, dengan jalan yang ia sendiri tak akan pernah mengerti.

    Burung-burung gagak hitam terlihat bertebaran di angkasa seperti ribuan anak panah yang dilepaskan pasukan Majapahit, menghujam tubuh-tubuh lelah ratusan bala tentara Tuban. Burung-burung hitam yang hanya memiliki naluri mencabik dan melahap daging ratusan tubuh tak bernyawa itu seakan tak pernah puas. Sambil mengepakkan sayap-sayapnya mereka meloncat ke sana ke mari di antara onggokan bangkai prajurit-prajurit yang masih setia mendampingi Ranggalawe hingga jiwa terpisah dari raga.

    Matahari mulai condong ke barat. Langit menjelma warna merah jingga. Warna air yang mengalir di sungai kecil itu juga belum berubah. Masih merah darah. Lembu Sora ingat, dua purnama lalu ia melepaskan Ranggalawe kembali ke Tuban di tepi sungai itu. Sungai yang saat itu masih mengalirkan air bening sehingga bebatuan dan ikan-ikan mungil di dasarnya bisa terlihat dari atas permukaan.

    "Kang Sora, aku mohon diri. Tak ada gunanya aku berlama-lama di sini," ujar Ranggalawe sebelum menunggang kuda jantan hitam.

    "Dimas Lawe, apa tidak ada cara lain, selain meninggalkan Majapahit?'' Lembu Sora masih berharap Ranggalawe menggurungkan niatnya.

    "Tidak Kang. Tak ada jalan lain. Toh Raden Wijaya sudah tak menginginkanku mengabdi di sini. Beliau lebih memilih Nambi sebagai mahapatih. Raden Wijaya juga sudah memerintahkanku menjadi bupati di Tuban,'' Ranggalawe sudah duduk di atas pelana kudanya sambil memegang tali kekang.

    Lembu Sora mendesah lirih. Tak ada yang bisa diperbuat untuk menolong sahabatnya. Pikirannya buntu. Tapi ia memahami pilihan sulit Ranggalawe untuk segera menyingkir dari hutan Tarik. Ia pun menyadari keputusan Raden Wijaya semata hanya membalas budi bupati Madura Arya Wiraraja, ayahanda Nambi.

    Arya Wiraraja adalah sosok yang melindungi Raden Wijaya sebelum duduk di atas Singgasana. Berkat bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya bisa diselipkan untuk mengabdi pada Raja Kediri, Jayakatwang. Seorang raja ambisius yang membantai mertua Raden Wijaya, Kartanegara sang penguasa Singasari.

    Arya Wiraraja juga berandil membujuk Jayakatwang untuk memberi izin Raden Wijaya membuka hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggal. Di hutan terpencil dan jauh dari pangawasan Jayakatwang itu, diam-diam Raden Wijaya melatih pasukannya dan mendirikan Majapahit. Bersama pasukan Arya Wiraraja dan para sahabatnya, seperti Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Sora, Jurumedung, Gajah Biru, dan juga bala tentara Mongol, Raden Wijaya balik memukul dan menghancurkan Jayakatwang.

    Tapi Raden Wijaya seakan melupakan jasa besar sahabatnya, Ranggalawe, yang memimpin pasukan Majapahit di segala pertempuran. Ranggalawe sang panglima perang tanpa-tanding yang selalu berada di garis depan dengan keris yang selalu teracung ke langit. Ketika terhunus dari sarungnya, tujuh liukan keris itu berkilat-kilat seperti tarian dewa maut. Siapa pun lawan yang mendekatinya, berarti mati.

    Kecerdikan Ranggalawe juga membuat Majapahit berhasil mengusir tentara Mongol dari tanah Jawa. Tapi selanjutnya Ranggalawe justru dibuang ke daerah tandus di Tuban, sedangkan Nambi yang belum pernah memimpin pertempuran dinobatkan sebagai mahapatih; jabatan jelmaan tangan kanan raja.

    ''Selamat jalan Dimas Lawe, semoga sang waktu masih mempertemukan kita,'' ujar Lembu Sora. Ranggalawe hanya tersenyum getir. Setelah itu, derap-derap langkah kaki kuda Ranggalawe menjauh, diiringi ratusan derap kaki kuda para prajurit yang masih setia mendampingi Ranggalawe. Lembu Sora tak sanggup dan tak ingin mencegah kepergian ratusan prajurit yang mengiringi perjalanan Ranggalawe.

Titimangsa ParasuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang