Enam Belas

4.2K 652 103
                                    

Aisyah gelisah karena Kafi marah padanya. Ia akui memang bersalah tapi itu yang terbaik menurutnya. Kafi harus tau jika belum ada rasa untuknya tapi buka berarti ia masih mau dengan Umar.

"Ais, Aisyah!"

Aisyah tersadar dari lamunannya ketika ada orang yang memanggil. Ia bergegas keluar.

"Ada apa, Bu?" tanya Aisyah heran karena ada Bu Sari dan satu orang ibu-ibu lagi yang entah siapa namanya, Aisyah tak tahu.

"Itu suamimu buat ulah lagi," ucap Sari.

"Buat ulah bagaimana?"

"Kafi sedang bertengkar dengan Minah di pos ronda. Ini kata Bu Jono." Sari menunjuk ibu-ibu disampingnya.

"Iya, Neng. Pos ronda ramai. Aku cuma takut si Minah kenapa-napa kan lagi hamil," ujar ibu-ibu yang bernama Bu Jono tadi.

"Suamimu itu kan biang onar," sambung Sari sinis.

"Iya, iya, ayo kita kesana sekarang." Aisyah bergegas mengunci pintu rumahnya sebelum pergi.

"Alah Ais, rumahmu tidak perlu di kunci, lagipula apa yang mau diambil," cibir Sari tapi Aisyah tak peduli karena yang terpenting saat ini adalah memisahkan Kafi dan Minah.

***
"Udah Kaf, hajar aja!" seru Furqon sambil asik menonton pertengkaran Kafi dan Minah.

"Apa kamu, manusia-manusia tidak punya aturan." Minah menatap kesal kearah Furqon.

Furqon hanya tertawa mendengar ucapan Minah. Kekesalan Minah justru menjadi hiburan buat Furqon.

"Pergi dari sini!" Kafi mengusir Minah sebelum ia khilaf. Jujur saja Kafi sudah gemas ingin menghajar Minah.

"Pokoknya aku tidak terima dengan tuduhanmu pada suamiku." Minah masih saja ngotot.

"Aku tidak peduli, pergi!" Kafi sungguh sangat muak.

"Awas kalau sampai aku tau kamu nyakitin dan fitnah suamiku lagi, akan aku buat perhitungan denganmu," ancam Minah.

Namun ancaman yang Minah lontarkan justru menjadi bahan tertawa Kafi, Furqon dan teman-temannya.

"Hitung aja sekarang," celetuk Furqon.

Minah kesal, ia melepas sandalnya dan melemparnya ke arah Furqon dan itu membuat Furqon makin tertawa terbahak-bahak.

Rasanya Minah kesal dan ingin sekali menangis. Dirinya seperti orang bodoh menjadi bahan candaan bagi geng Kafi dan tontonan warga.

Mungkin efek hormon kehamilannya. Minah tak bisa menahan air matanya lagi. Ia menangis tapi tak ada yang peduli, justru makin menertawakannya.

"Astaghfirullah, Mas Kafi!" seru Aisyah dan bergegas mendekat ke Minah yang tengah menangis.

"Kamu apain dia, Mas? Jangan pernah sekali-kali kamu berbuat kasar pada wanita, Mas." Aisyah menegur Kafi.

"Memangnya aku ngapain? Dia yang datang dan marah-marah padaku." Kafi membela diri karena kenyataannya dia memang tidak bersalah.

"Nyatanya Minah menangis. Jangan seperti itu, Mas. Ais tidak suka."

Kafi tersenyum kecut. "Memangnya ada yang kamu suka dariku?"

Aisyah langsung terdiam, ia melihat sekeliling orang-orang yang tengah menonton mereka sambil berbisik-bisik.

"Kenapa? Tidak mau jawab?" Kafi menatap tajam Aisyah.

"Ais mau antar Minah pulang." Aisyah mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau masalah rumah tangganya di ketahui banyak orang.

"Kenapa harus kamu yang mengantarkan dia? Mau bertemu dengan Umar begitu? Apa kamu sudah mulai gatal karena mengetahui jika ternyata Umar masih cinta denganmu?!" tuduh Kafi yang memang tengah emosi dan cemburu hingga ia tak peduli dengan kata-kata yang terlontar dari mulutnya.

"Astaghfirullah Mas!" seru Aisyah. Ia tak habis pikir jika suaminya berkata seperti itu di depan umum.

"Nah, kamu juga mengakui jika istrimu ini memang gatal," timapal Minah.

"Minah," lirih Aisyah tak percaya. Kenapa Minah bisa bicara seperti itu.

"Kalian berdua sama saja. Semua wanita sama. Pergi kalian semua!" triak Kafi.

"Hus, hus, bubar semua!" Furqon beranjak dari tempat duduknya lalu mengusir para warga yang menonton dibantu oleh teman-temannya yang lain.

"Apa kalian berdua tuli? Pergi dari sini," ucap Kafi sinis pada Minah dan Aisyah yang masih berdiri dihadapannya.

"Ayo Minah, aku antar kamu pulang." Aisyah kasihan pada Minah meskipun Minah jahat padanya.

"Tidak perlu, aku tidak sudi kamu antar. Aku tau hatimu busuk, paling kamu hanya mau menggoda suamiku," tolak Minah tegas. Ia tak mau diantar oleh Aisyah. Ia takut jika Umar akan berpaling darinya dan memilih Aisyah kembali.

Aisyah hanya diam mematung. Apakah ia bersalah jika Umar masih mencintainya? Tapi bukankah cinta itu datang tanpa di minta dan tanpa bisa di cegah? Lalu apa yang harus ia lakukan.

Aisyah benar-benar tidak mau kembali pada Umar tapi mengapa semua seakan tak percaya padanya dan menjadikan masalalu yang pernah terjalin antara Umar dan dirinya menjadi masalah saat ini. Sedangkan harusnya kita hidup untuk masa depan bukan untuk masalalu.

"Kenapa kamu masih disini?" Pertanyaan Kafi membuyarkan pemikiran Aisyah.

"Ayo kita pulang, Mas. Kita perlu bicara."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Karena semuanya sudah jelas."

"Kita masih perlu bicara." Aisyah mengulurkan tangannya ingin mengajak Kafi pulang tapi Kafi justru mundur seolah tak ingin di sentuh oleh Aisyah.

Aisyah menarik kembali tangannya. "Aisyah tunggu di rumah," ucap Aisyah berusaha sesabar mungkin. Meskipun perkataan Kafi sudah menyakiti hatinya.

"Kamu tidak perlu menungguku, aku tidak akan pulang."

"Aku akan tetap menunggu dan aku tidak akan makan atau tidur sebelum Mas pulang. Assalamualaikum."

Aisyah bertekad untuk memperbaiki semuanya. Ia tak ingin masalah yang terjadi saat ini di biarkan berlarut-larut.

"Kaf mending kamu pulang saja. Kasihan Aisyah," ujar Furqon saat Aisyah sudah pergi.

"Masa bodo." Kafi merebahkan tubuhnya di pos ronda. Ia butuh tidur sejenak untuk memperbaiki perasaannya yang kacau.

"Kalau kamu sudah tidak mau dengan Aisyah, aku mau," ujar Furqon.

"Apa kamu bilang?!" Kafi langsung bangun dan melotot ke arah Furqon tak suka.

Furqon meringis menampilkan deretan giginya dan mengacungkan kedua jarinya membentuk huruf V sebagai tanda berdamai.

AFTER MARRIED (Aisyah &Kafi)Where stories live. Discover now