10 - Memutuskan Hubungan Toxic

37 10 10
                                    

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan? Kini aku sadar, hubungan ini terlalu toxic jika diteruskan.

***

Abizar menunggu Kayla yang izin ke toilet terlebih dahulu. Gadis itu sudah beberapa kali bolak-balik toilet karena mulas. Entah apa yang dimakannya semalam, hingga membuat perutnya melilit seharian ini. Sambil menunggu, Abizar membuka salah satu media sosial di ponselnya. Sudah lama dia tak menengok akun dan laman beranda. Aplikasi berwarna oranye, menjadi pilihan Abizar. Segera dia mengecek notofikasi, siapa tahu penulis favoritnya meng-update bab baru. Nihil. Penulis favoritnya itu seperti hilang ditelan bumi. Tulisannya masih saja berhenti di bab 20.

Apa dia sedang sibuk di dunia nyata? Batin Abizar bertanya-tanya.

Tanpa sadar, Abizar malah melamun. Pikirannya menerawang jauh entah ke mana. Namun, tepukan di pundak membuat dia sadar. Abizar mengerjap beberapa kali, menatap orang yang berdiri kaku di hadapannya. Bahkan, senyumnya terlihat sulit sekali.

“Maaf, siapa, ya?” tanya Abizar sopan, sembari menundukkan pandangan. Baju yang dipakai orang di hadapannya ini bisa dikatakan kurang bahan, mirip dengan baju teman-teman Kayla tempo hari.

“A-aku Binar,” ucap orang itu tergagap sebentar di awal kalimat.

“Binar?” tanya Abizar dengan nada cukup terkejut. Bagaimana gadis polos itu bisa berubah sedemikian rupa?

“Kenapa kamu berpenampilan seperti ini, Bin?”

Binar terlihat menghela napas berat, lantas memejamkan mata, seolah-olah sedang mencari keberanian. Dia mulai tersenyum, meski terlihat sekali dipaksakan. “Nggak apa-apa, Bi. Aku pengin berubah aja. Bukannya aku lebih cantik kayak begini?”

Abizar tersenyum sekilas, lantas menggeleng. Dia turun dari motornya, menatap Binar dari atas ke bawah. Itu diulanginya sekitar tiga kali.

“Kamu salah, Bin. Kamu lebih cantik dengan penampilan kamu sebelumnya. Tertutup. Saat ini, sama aja kamu membiarkan laki-laki yang seharusnya tak berhak melihat tubuh kamu menjadi tahu. Kamu mengumbar auratmu kepada mereka,” ucap Abizar tenang. Dia tidak ingin menghina atau mencela, dia hanya menyampaikan apa yang dia tahu. Selama itu untuk kebaikan, memang pantas diserukan, bukan?

Binar terdiam, dia meremas jemarinya yang saling bertaut. Tubuhnya gemetar menahan tangis. Benar kata Abizar, dia sudah melakukan kesalahan besar. Akan tetapi, bagaimana nasib adiknya jika dia menolak permintaan Alfaden? Biarlah. Ini semua sudah jadi pilihannya. Binar sudah jatuh cukup dalam ke lubang gelap. Jadi, sekalian saja.

“Kamu nggak usah munafik, Bi. Kamu menikmatinya juga kan? Kamu suka melihat tubuh aku ini, kan?” ucap Binar berusaha menormalkan nada bicaranya. Dia tak boleh terlihat seperti pura-pura. Biarlah Abizar menganggapnya sebagai jalang sekalian. Semua demi Bilar. Ya demi dia. Keluarga yang dimiliki Binar satu-satunya.

Abizar kaget mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Binar. Pemuda itu mengira, Binar akan sadar karena nasihatnya tadi. Tapi ini malah sebaliknya.

“Bin, kamu ....”

“Kenapa? Aku suka sama kamu Abizar, aku pengin kita pacaran. Kamu adalah alasan utama aku berubah kayak gini. Kayla bilang, penampilan aku yang cupu kemarin, itu yang ngebuat aku nggak pantes bersanding sama kamu. Jadi, aku terpaksa begini. Ini semua demi kamu, Bi. Demi kamu!” ucap Binar dengan menggebu-gebu. Ucapannya barusan tidak bohong, itu adalah dari hatinya yang paling dalam. Dia menyukai Abizar.

Ponsel Abizar bergetar, ada satu WhatsApp masuk. Nama Kayla tertera di layar. Segera Abizar membuka pesan tersebut.

Bi, tungguin gue di kafe depan kampus, ya. Gue ada urusan sebentar. Nanti gue nyusul.

Abizar segera membalas pesan tersebut, jarinya mengetik dengan lincah. Setelah selesai mengetik balasan, dia menekan tombol kirim. Setelahnya Abizar memasukkan ponselnya ke dalam tas, mengambil kunci motor. Dia menstater motornya pelan, lalu menatap Binar sebentar.

“Aku duluan, Bin. Renungin lagi yang kamu omongin tadi. Itu bukan cinta, tapi nafsu semata. Assalamualaikum,” ucap Abizar sembari berlalu. Binar hanya menatapnya dengan sedih, lantas berjalan lesu ke halte depan kampus.

***

Kayla menunggu seseorang di taman kampus. Dia duduk di bangku panjang berwarna putih yang sudah mulai pudar, senyumnya terkembang membaca balasan dari Abizar. Dia harus menyelesaikan semua segera. Ya, tidak apa-apa terlambat, daripada terjerumus selamanya.

“Halo, Sayang.”

Suara serak yang khas itu membuat Kayla menoleh. Wajahnya berubah datar, tidak menjawab sapaan yang baru saja dilontarkan kepadanya.

“Ada apa lo ngajak ketemuan di sini? Kangen, ya?” tanya Alfaden dengan senyum lebarnya. Dia duduk di sebelah Kayla, merapakatkan jarak antara mereka. Membuat Kayla berdiri, demi menjaga jarak dari pemuda tersebut.

“Lo kenapa, Kay? Nggak biasanya kayak gini,” protes Alfaden ikut berdiri. Mencengkeram kedua pundak Kayla cukup kuat.

“Lepasin gue, Al. Sakit tahu nggak?!” bentak Kayla sembari mencoba menepis tangan Alfaden. Pemuda itu mendengkus, lantas bersedekap menatap Kayla. Menunggu gadis itu mengutarakan maksudnya.

“Gue mau putus.”

Singkat, padat, dan jelas. Tidak ada jawaban atau respons dari Alfaden beberapa saat. Pemuda itu hanya menatap marah ke arah Kayla. Lantas dia mulai maju, mendekati Kayla. Sedang Kayla mundur, menjaga jarak kembali.

“Maksud lo? Gue nggak mau putus. Gue masih cinta sama lo, Kay,” ucap Alfaden dengan nada penuh penekanan. Tatapan matanya seolah-olah mau menguliti Kayla hidup-hidup.

“Gue ngerasa, hubungan kita ini salah. Gue mau berubah, jadi gue mau kita putus. Setuju nggak setuju, kita udah nggak ada hubungan lagi, Al.”

“Ini semua karena cowok itu, Kay? Dia yang ngebuar lo mutusin gue? Jawab!”

Kayla tersentak saat Alfaden balik membentaknya. Baru kali ini pemuda itu bersuara keras ke arahnya selama mereka pacaran. Dan sekarang mereka hanya sebatas mantan dan teman. Mungkin saja.

“Ini nggak ada sangkut pautnya sama sekali sama Abizar, Al. Ini murni kemauan gue sendiri. Gue mau fokus kuliah dan ngebanggain Ayah gue.” Kayla membalas berteriak. Dia menatap Alfaden dengan berani. “Intinya kita putus. Gue duluan.”

Alfaden tak mengejar. Dia hanya menatap punggung Kayla yang mulai menjauh dan hilang di gedung kampus. Pemuda itu menonjok udara dengan keras, kemarahannya meletup-letup. Dia tak terima Kayla memutuskannya secara sepihak. Tidak, Kayla adalah miliknya. Sampai kapan pun akan selalu jadi miliknya.

“Abizar, lo akan terima semua balasannya. Tunggu aja. Hidup lo nggak bakal tenang selama masih kuliah di sini. Camkan itu!” janji Alfaden entah pada siapa. Pemuda itu berjalan cepat ke arah parkiran. Dia akan membuat rencana pembalasannya.

Abizar [TAMAT]Where stories live. Discover now