“Bibi,” Wendy melebarkan kedua matanya tak percaya, “Aku bisa menjelaskan semuanya, Bi. Aku—”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan,” Nyonya Jung memotong ucapan Wendy, “Kumohon, Wendy. Setelah kau pergi dari agensi, jangan sekali-kali mencampuri urusan anakku lagi. Terlebih untuk membantunya menemui anak dari wanita yang telah menghancurkan keluarga ku.”
“Ibu, kau tidak bisa memecat Wendy Nuna karena alasan seperti ini!” sela Jaehyun, tak terima. “Jika kau marah padaku, cukup hukum aku. Jangan Wendy Nuna.”
“Ada dua tipe manusia yang sangat tidak kusukai...” kata Nyonya Jung lalu melirik Wendy yang tengah mati-matian menahan tangis, “Pertama, seorang pengkhianat. Kedua, seorang pembohong. Dan apa kau tahu Wendy? Kau telah menjadi manusia yang memiliki kedua sifat itu di mataku.”
Mengangguk paham bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh di pipi kanannya, Wendy lantas membungkuk sopan di hadapan si wanita paruh baya. Sesaat kemudian, ia kembali mempertemukan tatapannya dengan Nyonya Jung lalu berucap, “Maafkan aku karena telah membuat mu kecewa, Bi.”
Wendy menelan ludahnya sekuat tenaga sebelum menggulirkan mata ke arah Jaehyun sejenak, “Dia sudah seperti adik kandungku sendiri yang ingin kujaga dan kusayangi. Aku hanya ingin melihatnya bahagia dengan orang yang bisa membuatnya tertawa dan menikmati dunianya...”
“Tapi jika menurutmu yang kulakukan untuk Jaehyun selama ini adalah sebuah kesalahan, aku menerima keputusanmu ini dengan lapang dada. Aku akan pergi,” sambung Wendy lalu tersenyum tipis pada sang wakil CEO J Nations yang tengah menatap nya dengan tatapan tak percaya.
“Jaga dirimu baik-baik, Jaehyun. Mungkin memang hanya sampai di sini aku bisa membantumu. Tapi ingat lah satu hal,” Wendy mengusap kasar air matanya sembari terkekeh hambar, “Sepahit apapun kenyataan yang akan kau hadapi kedepannya, tolong... Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup mu.”
Setelah mengucap kalimat yang berhasil menohok relung hati Nyonya Jung, Wendy pun bergegas keluar dari ruang rawat. Meninggalkan Jaehyun yang tidak mampu berbuat apa-apa, juga si wanita paruh baya yang tak henti-henti mengepalkan tangan dengan rahang mengeras sempurna.
***
Satu bulan berlalu semenjak Taeyong merasa seperti dipenjara di rumahnya sendiri, selama itu pula ia tidak pernah menjalin komunikasi dengan Jaehyun lagi. Ponsel yang menjadi satu-satunya harapan agar ia bisa mengetahui kabar si lelaki berlesung pipi telah disita oleh sang Ayah. Bahkan untuk menggunakan telepon rumah diam-diam, ia tidak bisa. Pasalnya ia hanya diperbolehkan keluar dari kamar ketika ada sanak saudara atau tamu yang berkunjung dan menanyakan keberadaannya. Taeyong pun seakan dipaksa untuk menunjukkan senyum palsu ketika batinnya sedang tidak baik-baik saja.
“Taeyong-ah, sudah waktunya makan siang. Ayo kita ke ruang makan.”
Mendengar suara Seulgi dari arah pintu kamarnya membuat Taeyong yang tengah menatap kosong ke arah jendela refleks tersenyum miring. Tanpa menoleh kepada sang sepupu ia lantas bersuara, “Kali ini siapa lagi yang ingin melihat kepalsuan di wajahku juga mendengar omong kosong dari Ayahku?”
Ya, ia sudah paham. Sang Ayah selalu berusaha menutupi kenyataan yang telah terjadi sebulan silam. Termasuk alasan mengapa dirinya dipecat dari jabatan wakil CEO. Bermula dari alasan kesehatannya yang terganggu, hingga si pria paruh baya memberitahu semua orang bahwa ia dipecat karena menjadi wakil CEO bukan lah pekerjaan yang disukainya.
Seulgi yang selama sebulan belakangan selalu mengunjungi Taeyong di waktu senggangnya menghela napas panjang. Ia kemudian menghampiri sang sepupu lalu menepuk pundaknya pelan.
“Suasana hati Ayahmu sedang baik hari ini. Dia ingin makan siang denganmu,” kata Seulgi, “Lebih baik kau keluar dari kamar sekarang. Apa kau tidak bosan menghirup udara di tempat ini terus menerus?”
“Hm, aku sangat bosan.” jawab Taeyong tanpa mengalihkan pandangan ke arah Seulgi, “Aku sangat bosan hingga aku bahkan tidak ingin menghirup udara di dunia ini lagi.”
“Lee Taeyong!” Seulgi berdecak kesal setelah refleks meninggikan suaranya, “Sampai kapan kau akan seperti ini hah? Berhenti lah memikirkan hal-hal bodoh. Ayo, ikut denganku.” sambungnya seraya menarik paksa lengan sang sepupu. Taeyong yang sudah kehabisan tenaga untuk sekedar melawan pun hanya bisa menurut. Mengikuti Seulgi yang menuntunnya keluar dari kamar menuju ruang makan.
Namun sesampainya di tempat tujuan, langkah Taeyong seketika terhenti hanya beberapa langkah dari meja makan. Ia tersenyum miring kala netra legamnya bertemu pandang dengan seseorang yang selalu membuatnya merasa risih. Kim Jongin. Lelaki berkulit tan itu tersenyum lebar padanya dengan tatapan penuh minat. Berbanding terbalik dengannya.
“Kenapa kau hanya berdiri di situ? Kemari lah, Ibumu memasak makanan kesukaanmu.” ucap Tuan Lee.
“Selera makan ku hilang setelah melihat tamu yang kau undang hari ini,” balas Taeyong sarkas.
“Lee Taeyong.”
“Nikmati makan siang mu,” Taeyong melanjutkan, “Aku ingin kembali ke kamar.”
Tanpa memedulikan pekikan sang Ibu tiri juga Ayahnya, Taeyong lantas bergegas meninggalkan meja makan. Sementara itu, Jongin yang masih terduduk di tempat semula hanya mampu menghela napas kecewa. Sebab usahanya untuk bisa bertemu dengan sosok yang diam-diam menarik perhatian bahkan mencuri hatinya dan justru menghilang selama sebulan belakangan justru enggan menemuinya.
“Maafkan sikap Taeyong,” ucap Tuan Lee kepada Jongin.
“Seulgi-ah, kemari lah. Biarkan saja dia kembali ke kamarnya.” sambung si pria paruh baya saat melihat sang keponakan hendak menyusul Taeyong.
Berdeham pelan, Jongin pun membalas, “Tidak masalah, Paman. Aku sudah terbiasa.”
“Apa Taeyong selalu bersikap tidak sopan padamu?”
“Ah, tidak. Bukan begitu, Paman.” Jongin mengusap tengkuknya sejenak. “Aku hanya terkadang merasa bingung harus berbuat apa agar Taeyong berhenti memandangiku dengan tatapan benci.”
“Anak itu benar-benar...” Tuan Lee mendengkus, “Aku memohon maaf atas nama Taeyong, Jongin-ah. Bahkan sebagai Ayahnya aku juga kesulitan untuk mengatasi sikap keras kepalanya.”
“Tidak apa-apa, Paman.” Jongin terkekeh, “Sepertinya aku hanya butuh waktu untuk bisa lebih dekat lagi dengan Taeyong. Lagipula aku tidak pernah jalan berdua dengannya untuk sekedar berbagi cerita tentang kehidupan kami satu sama lain. Mungkin itu yang membuat Taeyong merasa jika aku masih lah orang asing.”
Tuan Lee mengangguk paham, “Taeyong memang tipikal anak yang sulit membuka dirinya kepada orang lain. Tapi jika kau berhasil membuatnya terbuka kepadamu, itu artinya kau mendapatkan tempat spesial di hatinya.”
Jongin tersenyum, “Aku sangat ingin mendapatkan tempat spesial itu, Paman.” ucapnya dengan nada sungguh-sungguh, “Sebenarnya, kedatanganku ke sini adalah untuk mengajak Taeyong ke suatu tempat malam ini. Jika kau memberi izin, aku akan menjemputnya jam tujuh malam nanti.”
Menautkan jemarinya di atas meja, si pria paruh baya lantas menghembuskan napas panjang. “Aku bukannya menolak untuk membuatmu bisa dekat dengan Taeyong, Jongin-ah.” ia berkata, “Tapi untuk saat ini, aku tidak bisa memberi izin. Aku tidak ingin Taeyong meninggalkan rumah untuk beberapa waktu ke depan.”
“Tapi aku bisa menjaga Taeyong, Paman.”
“Keputusanku sudah bulat, nak. Sekali lagi maaf, aku tidak bisa membantumu untuk saat ini.” balas Tuan Lee lalu bangkit dari kursinya. “Aku harus segera kembali ke kantor, lanjutkan makan siang kalian.”
Melihat si pria paruh baya perlahan meninggalkan ruang makan membuat Jongin hanya mampu menjatuhkan bahunya pasrah. Kenyataan bahwa bukan hanya Taeyong yang harus ia taklukkan membuat isi kepalanya mendidih seketika. Ayah dan anak itu benar-benar satu paket komplit, pikirnya.
Thanks for reading!
Vote, comment dan follow jika kamu suka cerita ini ya
You can reach me
@jaesweats on Instagram & Twitter
YOU ARE READING
Hidden | Jaeyong ✓
Fanfiction❝You and I both have to hide❞ M/M | HURT/COMFORT | VIOLENCE | MATURE | SMUT | 21+ Taeyong dan Jaehyun harus menyembunyikan hubungan mereka dari keluarga masing-masing juga publik. Jung dan Lee famili terkenal tidak akur sejak perusahaan Heaven Enter...
Chapter 20: The Real Devastation
Start from the beginning
