Chapter 20: The Real Devastation

7.6K 1.2K 156
                                        

PERIH MENDERA pelipis Jaehyun ketika seorang perawat wanita mengusapkan cairan alkohol pada garis luka yang tersisa akibat aksi beringas Tuan Lee di depan apartemen Taeyong tadi. Seluruh tubuhnya seakan remuk hingga sulit untuk digerakkan, seolah ia baru saja tertimpa batu yang amat besar. Namun jika dibandingkan dengan rasa sakit yang bergejolak di balik dadanya, semua luka di sekujur tubuh Jaehyun tidak ada apa-apanya.

Hatinya hancur.
Sangat hancur.

Taeyong, yang selama ini menjadi dunianya telah dibawa pergi oleh Tuan Lee. Harapan untuk tetap bisa melihat wajah sang pujaan hati dari kejauhan meski mereka tidak bisa bersama lantas sirna ketika ia mengingat kembali kalimat yang diutarakan si pria paruh baya. Kalimat bahwa Taeyong dipecat dari posisinya sebagai wakil CEO agar mereka berdua tak lagi berjumpa.

Mengingat kenyataan pahit itu membuat setetes air asin mengalir dari sudut mata Jaehyun. Tenggorokannya pun mulai diserang rasa sakit akibat menahan isak tangis.

“Ini resep untuk obatnya,” ucap sosok dokter pria yang telah selesai memeriksa keadaan Jaehyun.

“Terima kasih, dokter.” balas Wendy diikuti senyum tipis. Namun lengkungan bibir nya perlahan memudar ketika dokter bersama perawat yang mendampingi sosok itu telah keluar dari ruang rawat. Ia kemudian beralih memandangi wajah Jaehyun yang berbaring terlentang dengan raut sendu.

Menarik napas nya dalam-dalam sebelum menghembuskan nya pelan, Wendy seketika berucap, “Apa kau dan Taeyong bertengkar lagi?” tanyanya.

Awalnya Wendy heran ketika Jaehyun menelponnya, memintanya untuk datang ke apartemen Taeyong. Hingga saat ia kemudian sampai di tempat itu, hanya teriakan histeris lah yang mampu terbebas di antara dua belahan bibirnya. Pasalnya, ia menemukan Jaehyun terkapar tak berdaya di lorong apartemen, dengan luka lebam di kedua pipi juga darah segar yang mengaliri pelipis bahkan sudut bibirnya.

“Kenapa Taeyong tega memukuli mu sampai separah ini?” Wendy kembali berceloteh dengan asumsinya sendiri.

Nuna...” suara Jaehyun begitu lirih dan serak. Membuat Wendy yang masih berdiri pun bergegas duduk pada kursi di samping ranjang rawat sang wakil CEO.

“Ya, Jaehyun. Kau butuh sesuatu?”

Jaehyun memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam lalu kembali memandangi Wendy di sebelahnya, “Apa kau pernah merasa ingin mati tapi dalam waktu yang bersamaan... Kau juga takut meninggalkan seseorang yang sangat kau cintai untuk selamanya?”

“Hei, berhentilah menanyakan hal-hal seperti ini. Kau membuatku merinding,” jawab Wendy lalu berdecak, “Jika kau sudah bisa berbicara dengan normal, lebih baik jelaskan apa yang telah terjadi antara kau dan Taeyong. Kenapa kau bisa berakhir babak belur seperti ini lagi?”

“Aku sudah lelah, Nuna.” jawaban Jaehyun menjadi awal isak tangis yang sedari ditahannya lantas pecah, “Hidupku sudah tidak ada artinya. Lebih baik aku mati.”

“Jaehyun!” bentak Wendy kala mendengar penuturan si lelaki berlesung pipi.

“Ibu dan Ayah... Mereka berdua memang masih ada di sisi ku. Tapi apa kau kira aku merasakan kasih sayang dan perhatian dari mereka sebagai anak tunggal nya?” Jaehyun tersenyum miring di sela tangisnya, “Tidak sama sekali. Tiap harinya aku hanya merasa dijadikan robot yang selalu dikontrol untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Terlebih untuk hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu mereka dengan keluarga Lee.”

Wendy terdiam. Menyimak sekaligus mencoba  memahami perasaan Jaehyun. Sebab dari suara isak tangis nya saja, ia lantas bisa menebak bahwa lelaki yang lebih muda darinya itu tengah rapuh, bahkan hancur.

Hidden | Jaeyong ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang