Vi diam sejenak, melihat kearah dua orang itu lagi, "Rey sedang menunggumu, Vi. Jangan sampai kau tiba dan pria itu sedang meringis kelaparan," celoteh Vi pada dirinya sendiri.

Persetan dengan Rey, rasa simpati yang dimiliki oleh Vi benar-benar besar. Vi sangat tidak bisa melihat orang lain kesusahan, bahkan ia bisa sulit tidur malam setelah ia melihat seorang pengemis tua yang terlihat sangat kelaparan. Ia berpikir bagaimana keadaan pengemis itu sekarang dan seterusnya.

Vi memutuskan untuk menghampiri dua orang itu.

"Apa yang terjadi?," suara berat Vi membuat kedua orang itu menoleh kearahnya.

Rain yang tadinya meringis kesakitan hanya bisa bisu dan memperhatikan Vi dengan tatapan yang tak bisa ditebak. Ada sesuatu yang timbul dalam hatinya. Gadis itu sedikit panik sekarang.

Rain takut Vi akan mengenalinya.

"Gadis ini terperosok ke lubang itu,"ujar pria itu dengan jari telunjuk yang mengarah ke lubang besar, "Sepertinya pergelangan kakinya terkilir."

Vi menatap Rain yang sudah sangat berantakan sekarang. Rambutnya tak teratur, isi tas yang berserakan, dan bagian betis celananya yang kotor dan sedikit robek, "Selain menggunakan kaki, kau juga harus menggunakan matamu saat berjalan."

Pria tua itu menepuk pundak Vi dan membuatnya menoleh, "Bisakah kau menolong gadis ini? Aku harus menjaga toko ku."

Jawaban Vi hanya dengan dua anggukan kepala. Tak lama, pria itu tersenyum lalu meninggalkan Vi dan Rain.

Rain masih memijit pergelangan kakinya. Vi menghirup udara dalam-dalam lalu menyamakan posisinya dengan gadis di hadapannya itu, "Jangan lakukan apapun. Kau tidak mengerti apa-apa tentang parah atau tidaknya kakimu. Kau bisa saja menambah masalah pada lukanya."

Rain hanya diam lalu menyingkirkan tangan dari kakinya.

"Bagaimana kakimu bisa terperosok ke dalam sana?" Tanya Vi sambil memasukan barang milik Rain yang berserakan ditanah.

Rain berani bersumpah saat itu juga, ia tak pernah segugup ini apalagi Vi adalah orang yang sangat ia kenal dengan baik. Walaupun, kini Vi sama sekali tidak mengenalinya karena wajahnya yang jauh berbeda dari saat ia berumur sepuluh tahun. Saat Vi masih ada didalam hari-harinya.

Jika saja kecelakaan itu tidak terjadi, pasti pria yang ada dihadapannya sekarang ini akan mengenalinya.

"Tadi ada seekor anjing yang mengerjarku."

Setelah mengatakan itu, Rain mendengar Vi terkekeh pelan, sangat pelan.

The man really likes dogs.

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

Rain menoleh kearah kaca mobil. Ia dapat melihat gedung besar yang warnanya serba putih.

Vi benar-benar membawanya kerumah sakit. Padahal, diperjalanan tadi Rain sudah mengingatkan agar lelaki itu membawanya ke klinik biasa saja. Rain khawatir karena ia tak punya cukup uang untuk pengobatan.

"Aku akan turun, kau diam disini. Aku akan memanggilkan suster dan memberitahunya agar membawa kursi roda kemari," ucap Vi yang membuka pintu moobil lalu berlari kecil kearah rumah sakit.

Rain benar-benar merindukan pria itu sekarang, "Vi tumbuh menjadi pria baik."

Setelah beberapa saat, Rain dapat melihat Vi berjalan dengan kursi roda dan suster disampingnya.

Vi membukakan pintu mobil lalu menyodorkan tangan, "Biar ku bantu." Rain memegang tangan Vi lalu mencoba berdiri tegak sebisanya. Setelah duduk di kursi roda, Rain menghela nafasnya kasar.

"Aku sudah ditunggu oleh temanku. Kau bisa melakukan pengobatan sendiri kan?" Ujar Vi dengan sebuah pertanyaan yang membuat Rain memutarkan isi kepalanya. Bagaimana ia membayar pemgobatannya? Selama di Seoul Rain benar-benar mengasingkan diri.

Selain Gwen, ia hanya punya Haru, adik laki-lakinya.

Rain sudah memiliki hutang banyak kepada sahabat perempuannya itu. Sedangkan Haru, ia masih bersekolah. Haru tidak mungkin memiliki uang yang cuckup untuk pengobatannya.

"Suster, kau boleh menepi sebentar? Aku ingin bicara dengan pria ini," pinta Rain. Suster hanya mengangguk lalu menjauh dari tempat Rain dan Vi berdiri.

"Sudah ku bilang, jangan bawa aku ke rumah sakit besar," ujar Rain dengan sedikit berbisik membuat Vi menyatukan kedua alisnya bingung.

"Kenapa?"

Rain menggigit bibir bawahnya, "Aku tak punya cukup uang untuk membayar pengobatan."

"Kau punya teman yang bisa membantumu?" Tanya Vi dan Rain hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. "Sudah kuduga. Jika kau memiliki teman, kau akan bersama temanmu itu sekarang. Bukan denganku."

Rain menghela nafas, "Kalau begitu, bawa aku pergi dari sini. Jangan mempermalukanku karena tak bisa bayar pengobatan nanti."

"Lukamu parah dan lebih bengkak dari sebelumnya."

"Aku bisa mengobatinya sendiri," tegas Rain sambil menatap Vi lekat.

"Tapi kau tidak punya uang, gadis pincang. Aku akan menemanimu sampai pengobatan malam ini selesai," sinis Vi yang membuat Rain membisu di tempatnya. Gadis itu masih tidak percaya. Kenapa Tuhan mempertemukan mereka dengan cara seperti ini? Kenapa Tuhan harus mempertemukan mereka dalam keadaan Rain yang tengah kemalangan?

He is kind and looks successful. And today, Rain missed him so badly.

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

vote, comment and share !

Hiraeth Where stories live. Discover now