Epilog

2.2K 326 169
                                    

Sepatu Park Jisung menginjak area parkir toko bunga itu, yang bagai oase di tengah gurun pasir.

Letaknya tidak strategis, tapi di situlah nilai keindahannya; toko itu memberi kesegaran di tengah kota yang padat, sekaligus menjadi bukti bahwa keindahan bisa kita temukan di mana saja. Aroma manis dan wangi yang tak bisa ditandingi parfum manapun terhirup olehnya begitu Jisung menarik napas, bersumber dari bunga-bunga yang sebagian berada dalam pot, sedangkan yang lain sudah terangkai rapi, siap diberikan pada orang terkasih.

Mawar menjadi ratu. Mawar menjadi bunga yang paling mencolok dan terbanyak, jauh mengungguli lily, snapdragon, carnation, dan poinsettia.

Pengetahuan Jisung tentang bunga tidak banyak, tapi ia berhasil mengenali beberapa, meski tebakannya meleset satu. "Mawar pink?" Ia bertanya, menunjuk bunga dengan kelopak berwarna pink yang semakin ke dalam berwarna putih kekuningan.

Pegawai atau pemilik toko bunga itu menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan. "Bukan, itu violet carson. Pernah nonton film V For Vendetta?"

Jisung menggeleng. "Belum pernah denger."

"Ya ampun, dasar bocah zaman sekarang!" Gadis itu berdecak, merasakan apa yang kadang dirasakan orang tua bila bicara dengan mereka yang usianya jauh lebih muda; halangan akibat perbedaan zaman dan terkadang malah miskomunikasi. "Itu film terkenal lho. Dan ini bunga yang ikonik dari film itu. Mau beli buat pacar?"

"Ah, bukan, bukan. Cuma buat ditaroh di rumah."

Seseorang tertawa dari belakang, merangkul pundaknya. Agaknya menerima panggilan dari teman tidak membuatnya ketinggalan percakapan mereka. "Dia badannya doang yang bongsor, tapi aslinya masih kecil. Game di hp-nya aja toon blast!"

"Toon blast?" Ulang si gadis bunga, kompak bergabung dalam ajakan tak langsung Irene menggoda Jisung.

Yang disambut oleh gadis itu, dengan tawa yang lebih keras. "Bener. Nggak punya pacar dia!"

Jisung hanya senyam-senyum pasrah. Kalau ada hal yang dia pelajari setelah tinggal bersama Irene, salah satunya adalah pantangan untuk tidak berdebat dengan wanita. Percuma saja. Di sekolah memang mudah membuat Chenle kesal, tapi tak ada yang ingin melihat Irene marah一kecuali ya di ruang sidang.

"Jadi mau beli bunga hias aja?"

Irene mengangguk. Kuncir rambutnya berayun-ayun di punggungnya. "Kaktus perawatannya gampang kan? Mau kaktus deh, biar dia nggak repot."

Mata si gadis bunga melebar takjub. "Kamu belajar berkebun? Jarang ada anak cowok yang suka kegiatan ini."

"Terpaksa," jawab Jisung, mengedikkan bahunya. "Buat bayar uang sewa rumah."

Irene terkikik. "Dia adek, tapi mulai belajar mandiri. Semacam itu."

"Wah, keren dong." Gadis itu mengangkat sebuah pot berukuran sedang, yang di atasnya berdiri batang kaktus berduri yang masih pendek. "Ini orchid cactus. Kalau udah tumbuh nanti cantik, ada bunganya warna merah."

Warna merah bukanlah warna favorit Irene, Jisung tak heran melihatnya memberengut. "Nggak ada yang warna ungu?"

"Ungu? Hm, tunggu sebentar." Gadis itu mondar-mandir, menggaruk kepala. Ada terlalu banyak bunga di sana, butuh waktu baginya untuk menemukan bunga yang sesuai selera Irene. "Ini. Yang ini namanya lavender Inggris. Si kecil yang banyak manfaatnya. Lavender bisa buat penghilang stres."

"Keren." Mata Irene berbinar. Apa saja yang berwarna ungu pasti menarik minatnya. "Gimana, Jisung? Cukup yang ini?"

Masih tertarik pada bunga dengan nama yang unik itu, Jisung meraih violet carson dan menyentuh daunnya. Seorang remaja yang dikelilingi bunga一dia menyerupai tokoh pangeran dalam manga, yang fokus pada pengamatannya hingga tak mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya.

Determination ✔️Where stories live. Discover now