22. Anggota Keluarga Baru

1.6K 325 175
                                    

Meski sudah tidak tinggal bersama, sejak Taeyong menilai kakaknya bisa mengurus diri sendiri dan tidak butuh dia lagi, mereka punya peraturan tak tertulis : bahwa di rumah masing-masing akan menyediakan kamar bagi satu sama lain.

Jadi keputusan Irene untuk menginap di rumahnya bukanlah bencana, sebaliknya, merupakan berkah mengingat sifat keibuannya dan hobi anehnya menyetrika. Ada sekitar selusin pakaian Irene di lemari kamar kedua apartemen Taeyong, ada tempat tidur yang bisa ia gunakan, dan bahan makanan yang cukup bergizi agar ia tidak mulai menceramahi Taeyong tentang gaya hidup sehat.

Dibandingkan kebutuhan pokok itu, apa yang dikhawatirkan Taeyong sederhana saja, tidak lebih dari tindakan kakaknya一sesuatu yang mungkin akan menuntun mereka pada masalah sebenarnya.

Mungkin ini sudah ada dalam gen; mereka mengundang masalah seperti madu mengundang para lebah.

Tidak terlalu terkejut, Taeyong menyaksikan Irene melengos melewati Shin. Rambut panjangnya berkibar seumpama bendera yang dibelai angin.

Shin menyusulnya sambil menggeram, tapi Taeyong tidak.

Dia menerima panggilan Doyoung sebentar, terpaksa menolak ajakan nongkrongnya. Satu-satunya tempat nongkrong yang ingin ia datangi adalah meja makan, lalu kamar. Pulang dari tempat kerja dan mengurus Jisung di rumah sakit tidak memakan tenaga yang sedikit.

Kemudian, dia mendengar Shin berteriak, dan persetan, tidak peduli dianggap sok pahlawan, Taeyong akan ikut campur.

Dia tiba di kamar Jisung tepat saat Shin berseru di depan wajah Irene, "Kamu Kakaknya Taeyong? Irene? Mau sok jadi pahlawan juga?"

Kata-kata yang pernah ditodongkan padanya itu membuat Taeyong menghela napas. "Banyak bacot kamu, dasar babi."

Mereka menoleh.

Puas rasanya mendapati Shin kian marah, mendapati dia melepas topeng malaikatnya dan sesaat tampak hampir menerjang Taeyong. Tapi kini, mau tersenyum selebar apapun, dia takkan bisa menipu siapapun一tidak lagi.

Mengerti itu percuma, namun sulit memutus rantai kebiasaan, Shin tetap saja mengulas senyum. "Ah, Taeyong. Kamu udah ketemu Han? Gimana? Udah tahu hukuman buat orang yang sembarangan masuk rumah orang lain?"

Taeyong memasukkan ponselnya ke saku lebih dulu, membiarkan kedua tangannya bebas. "Oh ya. Laporin aja, silahkan. Kita lihat siapa yang dipenjara lebih lama nanti一orang yang nerobos properti yang bukan haknya, atau orang yang ngelakuin kekerasan ke anak di bawah umur."

Seperti partikel debu yang dihembuskan pendingin ruangan, tawa Shin menyebar memenuhi penjuru kamar. "Itu tuduhan yang serius. Kamu mau nambahin tuntutan kamu pake pencemaran nama baik?"

Meniru tingkahnya, Taeyong tertawa mencemooh. "Kamu nggak ada baik-baiknya, Shin. Jangan bercanda. Sampah ya sampah, sekali busuk ya tetep busuk."

Udara di kamar Jisung tiba-tiba berubah lebih panas, suhunya bagai meninggi, terpengaruh amarah yang tak terkendali. Lee Taeyong bukan pendendam, tapi dia tak sebaik itu untuk melupakan penghinaan.

Di depannya, rahang Shin mengencang. Giginya bergemeletuk seakan salju di luar sana berhasil masuk dan membuatnya menggigil. "Sampah yang kamu sebut ini udah biayain dia一" Telunjuknya menyasar Jisung yang mematung di samping Irene. "一setahun lebih, bukan kamu yang selalu sok peduli!"

Sontak, pembelaan dirinya mengundang tawa dari Irene. "Terus kenapa? Kamu kira itu bisa jadi pembenaran buat mukulin Jisung? Kamu kira dia nggak berani laporin kamu?"

Sambil menyeringai, pandangan Shin jatuh pada Jisung. "Dia emang nggak berani." Kakinya mangambil 1 langkah maju dan dia hendak menyentuh pipi Jisung sebelum Irene menepisnya. "Tanya dia. Suruh dia ngomong. Walaupun ngerepotin, dia pinter. Dia tahu kalau dia nggak bisa laporin aku tanpa nyeret Asa. Siapa sih yang mau kehilangan Ibu abis Ayahnya pergi? Siapa yang mau ditinggal 2 orang tua sekaligus?" Shin terkekeh, ekspresi sedih bercampur prihatin terpasang dengan baik di wajahnya. "Kalian kira kalian kenal dia? Kenyataannya nggak sama sekali."

Determination ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang