Malam Pertama

3.1K 42 2
                                    


Mbok Ijah berjalan mendahului dan mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Ia berkata untuk mengantarku  menuju kamar. Koper sudah digeret oleh Mbak Warni tanpa diperintah. Enak sekali jadi orang kaya, pikirku. Tinggal tunjuk ini-itu semua sudah tersedia dan beres. Entah, apa harus bersyukur atau sedih menjalani kehidupan baru yang sungguh berbeda ini?

Sampai di depan sebuah pintu jati besar dengan rampaian melati di atasnya, keduanya membungkukkan badan lalu berpamit pergi. Kutarik pelan gagang pintu, menyusuri pandang menelisik isi kamar. Polesan cat hijau lime terasa serasi dengan barang-barang dalam ruangan dengan warna senada. Sebuah ranjang ukir kayu jati ukuran besar bertabur bunga mawar, seakan menanti ritual malam pertama. Dihiasi lampu tidur redup temaram juga alunan musik jazz dari LED TV berukuran 50 inci seolah membiusku agar mabuk kepayang.


Aku semakin muak, belum lagi campuran aromatherapy dari diffuser di atas meja, membaur jadi satu dengan semerbak mawar, begitu langu. Dengan memantapkan hati, kulangkahkan kaki memasuki ruangan baru dalam kehidupanku.
Kutanggalkan semua perintilan pengantin memuakkan ini, dan menggantinya dengan baby doll kesayangan. Kuhapus paksa make up yang telah dipoleskan selama dua jam dari sore tadi. Aku merasa menjadi seorang badut, yang terpaksa menghibur demi sebuah imbalan. Bersikap profesional dengan senyuman dan candaan, meski dalam hati ada rasa pedih yang menyiksa.

Di depan cermin, kulihat Tomo masuk kamar kemudian menutup dan menguncinya. Lirikan nakal mulai menghiasi wajahnya. Napas panjang kuembuskan berkali-kali, mempersiapkan lahir batinku malam ini.

Tomo memandangku lewat cermin, tersenyum menyeringai. Tak kubalas senyumannya sambil terus mengusap make up di wajah. Meski tak bisa dipungkiri jantungku berdegup kencang.

Ia mendekatiku, mengelus pundakku dari belakang sambil menghadap ke cermin. Tanganku bergetar tapi tetap berusaha tenang, ia melerai rambut panjangku dan menciumnya, dadaku bergetar hebat antara jijik dan takut. Meski aku pernah berpacaran dengan Ridwan, tak pernah kurasakan ini sebelumnya. Maksimal ia hanya memegang tangan dan memandangku.

Ia mulai mengendus seluruh bagian kepala dan leher. Desahan napasnya semakin memburu, seolah hasrat kelelakiannya berteriak meminta lebih. Darahku berdesir seketika. Ada rasa panas menjalar dari ujung kepala hingga kaki.

Perlahan, Ia menarik tubuhku berdiri. Entah, layaknya terkena hipnotis, aku hanya diam tanpa mengelak. Manut dan nurut dengan segala perlakuannya. Ia mulai merebahkanku di kasur, kemudian memulai ritual malam pertama sebagaimana mestinya.

Hatiku menangis, menjerit. Sungguh tak rela menyerahkan tubuh pada tua bangka ini. Namun, anehnya aku tetap pasrah membiarkan semuanya terjadi.
                                ***

Pagi hari, kudapati diriku terbangun dengan rasa nyeri di sekitar selangkangan. Aku mengutuk diri sendiri, jengkel sejengkel-jengkelnya lalu memukuli kasur yang kurebahi. Kuacak sprei kasar untuk meluapkan emosi, bodoh! Murahan sekali, tanpa rayuan, tanpa bujukan, begitu mudahnya menyerahkan keperawanan. Aku tahu ini benar, syarat sah sebagai istri telah kujalani. Namun, belum genap 24 jam bertemu Tomo, rasanya ini terlalu grusa-grusu. Apa mungkin benar ia memakai semacam pelet atau hipnotis?

Kutarik napas dan mengembuskannya pelan, mencoba membuat hati tenang. Kujambak rambut sendiri, menengadah, mengikhlaskan. Setelahnya aku bergegas mandi, beruntung kamar mandi berada dalam kamar, jadi aku tak perlu malu pada penghuni rumah lainnya.

Bunyi perut saat mandi, memaksa diri untuk bergegas. Setelahnya kupilih setelan rok denim dan kaus lengan panjang warna peach dari dalam koper yang kubawa kemarin. Lalu, menyisir rambut tebalku dengan sisir Tomo di atas meja rias. Rambut yang basah mengurungkan niat saat akan melangkah ke luar kamar. Kubuka lemari dan laci-laci dalam kamar, mencari hair dryer untuk mengeringkan. Ada perasaan malu jika harus bertemu dengan orang-orang rumah.

Gemuruh perut kembali meronta, memaksa diri untuk ke luar mencari di mana letak dapur. Saat membuka pintu kamar, mata ini memandang penuh kagum melihat rumah bak istana. Kulirikkan mataku kesana-kemari sambil menyusuri rumah yang entah–menyesatkanku.
"Mbak Ani sudah bangun toh, mari sarapan dulu," sapa mbok Ijah menemukanku dengan logat medoknya.

Kuikuti langkah Mbok Ijah menuju ruang makan. Sambil berjalan, aku tetap seperti orang linglung yang tersesat melihat kanan kiri.
"Nanti kalo sudah sarapan, tak ajak keliling rumah, Mbak, biar nggak bingung." Tambahnya sembari mempersilahkanku duduk di depan meja, yang sudah tersedia banyak sekali makanan lezat di atasnya.

Aroma dan kepulan asap masakan, memaksa cacing-cacing di perut semakin liar bergemuruh untuk meminta jatah. Kuteguk ludah saat memandang piring-piring yang saling berdesakan di atas meja.
Kuanggukkan kepala dan segera duduk. Lantas, mengambil piring dan mencomot gurami panggang. Di rumah, jarang sekali aku makan ini, mungkin dalam setahun hanya beberapa kali saja.

Di saat yang sama, Dika ke luar dari kamarnya yang terhubung langsung ke ruang makan. Ia duduk di seberang depan meja makan, tanpa melihatku sama sekali.

Aku seperti tak ada di depannya, sangat cuek dan tak peduli. Kulirik wajahnya yang tampan saat dia makan, hidung mancung alis tebal, rambut sedikit ikal tergerai atasnya, sangat mirip dengan bapaknya dalam versi muda. Aku tak percaya harus punya anak tiri yang umurnya sebaya denganku.

Karena terlalu asyik mengagumi perawakannya, aku sampai terdiam memandang tak berkedip.
"Kenapa? Terpesona?" Tanpa basa basi Dika langsung menyudutkanku.
Aku terhenyak, kaget. Menggeleng cepat. Segera menunduk dan melanjutkan sarapanku. Sebuah tangan mengelus pundakku lembut, aku menoleh. Entah, sejak kapan Tomo sudah berada di sini. Ia memandangku dan Dika bergantian, ada rasa takut berdesir dalam dada. Apa ia melihatku saat menatap Dika tadi?

Tumbal JaninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang