19

3.7K 256 17
                                    


Sinta mengerem mobil dengan tiba-tiba saat suara ledakan besar dari kediamannya membuatnya terhenyak kaget. Ia melihat kobaran api berwarna jingga yang membumbung tinggi dengan tatapan cemas dan ketakutan.

Heni pasti sudah mati. Dan Kinanti pasti akan mengejarnya sekarang ini. Tangannya bergetar tak terkendali saat akan menekan tombol kunci mobil. Hati dan pikirannya dihantui kekalutan serta ketakutan. Apa yang harus ia lakukan?

Masih dalam pikiran panik, ia kemudian melihat serombongan warga yang berjalan berbondong-bondong. Sepertinya tujuan mereka akan pergi ke arah rumahnya. Barangkali suara ledakan membuat semua warga terbangun dari tidur lelapnya dan mencari sumber suara itu.

Sinta kemudian bergegas keluar dari mobilnya. Orang-orang ini akan berguna untuknya menghalau Kinanti, sementara ia akan secepatnya pergi meninggalkan desa ini.

“Juragan Sinta di sini?” Tanya salah satu warga yang melihat Sinta keluar dari mobilnya. Sinta mengenali orang itu sebagai ketua RW di sini. Pak Karman.

“Iya Pak, tolong saya Pak! Saya harus pergi dari sini. Ada orang yang meneror saya, rumah saya bahkan diledakkan,” ucap Sinta dengan mimik ketakutan.

Semua warga yang berada di situ saling memandang ke arah kobaran api yang berjarak tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Juragan Sinta sebaiknya cepat mencari tempat berlindung, bila perlu datangi kantor polisi. Nanti kami akan amati keadaan sekitar rumah Juragan. Dan pelaku yang meledakan rumah Juragan juga akan kami tangkap.” Salah satu warga yang berseragam hansip berbicara dengan penuh percaya diri.

“Terimakasih bapak-bapak! Saya .…” belum sempat Sinta menyelesaikan ucapannya tiba-tiba beberapa warga berteriak ketakutan ketika dari jauh sosok berapi berjalan menuju ke arah mereka.

“Itu…itu..sepertinya itu Banaspati!” teriak salah satu warga.

“Sepertinya itu bukan Banaspati. Kalau Banaspati bentuknya seperti bola dan melayang terbang,” sahut yang lainnya.

“Itu pasti manusia jejadian, manusia pesugihan yang ingin kaya mendadak. Lihat! Tubuhnya semua terbakar api. Dia juga pasti ngelmu.”  Semua warga memandang was-was pada sosok berapi yang tertatih-tatih berjalan semakin mendekat ke arah mereka.

Sinta gemetar ketakutan. Ia menyelip diantara para warga untuk melindungi dirinya. Pandangan matanya menatap sosok berapi itu penuh kecemasan. Akankah Kinanti menemukannya?

Ia lalu berdiri di belakang Pak Karman. “Itu dia, Pak Karman! Dia lah yang meneror saya. Dia meledakkan rumah saya.”
“Benar kata warga bapak, dia itu manusia jejadian.” Lirih Sinta berbicara dari belakang punggung Pak Karman.

“Tenang Juragan Sinta, kami di sini akan menolong Juragan. Kami akan menangkap manusia pesugihan itu! Kurang ajar! Membuat warga resah saja. Ayo semuanya kita hadapi manusia laknat itu!” sahut Pak Karman sambil menyisingkan lengan bajunya.

Sinta semakin beringsut bersembunyi di belakang para warga. Ketika ia melihat para warga bodoh itu melangkah maju menghadapi sosok berapi itu, Sinta langsung bergegas ke mobil kembali. Ia dengan cepat memasang sabuk pengaman dan memencet tombol starter mobil. Ketika mobilnya sudah melaju meninggalkan kerumunan warga desa yang sekarang sedang menghadang Kinanti, Sinta baru mulai bernapas lega.

Kinanti.
Kinanti.
Kinanti.

Sungguh Sinta dulu menyesal tidak membunuhnya lebih cepat. Ia tidak akan sesusah ini jika wanita itu lebih cepat mati. Harusnya ketika baru menikahi Juragann Tomo ia langsung meracuninya saja. Memikirkan hal ini, Sinta semakin mengerutkan keningnya dengan perasaan tidak senang.

Saat ini ia harus mencari jalan keluar sendiri. Karena semua teman-temannya sudah mati.

***

Rasa sakit dan panas tak bisa ia tahan. Sungguhpun ia mencoba memadamkan api, api itu seperti tak mau padam dari tubuhnya, terus membakar sampai panasnya merasuk ke seluruh tulang. Meski begitu entah mengapa ia tak bisa mati dengan cepat. Heni ingin berteriak meminta tolong, tapi rasanya tenggorokannya sudah terbakar parah sehingga tak ada suara apapun yang bisa ia keluarkan. Tertatih, ia ingin mencari pertolongan.

Heni gembira saat melihat sekumpulan warga yang berbondong-bondong menuju ke arahnya. Dengan hati yang membumbungkan harapan akan tertolong ia melaju lebih cepat ke arah mereka. Tuhan sepertinya telah memaafkannya. Sehingga mengirim bantuan melalui warga desa.

Tangan Heni terulur supaya cepat menggapai salah satu warga yang kini berhenti di depannya dengan mata terbelalak. Heni ingin berteriak minta tolong tapi ketika ia mengeluarkan suara, hanya geraman yang keluar dari bibirnya.

“Dasar iblis! Kau ingin menakuti kami?! Makan ini!” teriak salah satu warga lalu melemparkan sebongkah batu.

‘Buugghhh!’ batu itu mengenai bahu Heni. Heni terkejut dan menoleh pada warga yang melemparkan batu. Tak menyangka reaksi mereka langsung menghakiminya begitu saja.

“Kau memelototiku? Aku tidak takut! Makan nih, dasar setan neraka! Jahanam! Jahanam!” sahut warga itu lalu melemparinya lagi. Melihat salah satu warga mulai melempari Heni, beruntun kemudian diikuti oleh warga-warga lainnya.

Heni mengangkat tangannya menutupi kepala agar tidak terkena lemparan batu. Ia juga menangkis beberapa batu-batu yang mengenai kepalanya. Hatinya yang sedang kalut dan takut menjadi marah akibat provokasi para warga ini.

Saat ia menangkis tangan salah satu warga yang mencoba memukulnya dengan sebuah tongkat, tak sengaja api yang membakar tubuhnya memercik pada pakaian yang dikenakan warga itu.

Percikan api itu anehnya dengan cepat membakar pakaian si warga desa itu. Membesar lalu ikut melahap seluruh tubuhnya. Warga desa yang terbakar berguling-guling berusaha memadamkan api namun entah mengapa api itu malah kian membesar. Tak berapa lama kemudian warga yang terbakar tersebut meregang nyawa di hadapan warga lainnya. Tercengang para warga desa itu kemudian memelototi Heni dengan kengerian juga kemarahan.

Heni terkejut tapi juga bahagia. Warga itu harus diberi pelajaran karena berani memukulnya.

“Dia benar-benar iblis! Ayo serang sama-sama, kita lihat siapa sebenarnya manusia jadi-jadian ini!” sahut Pak Karman dengan lantang. Ia mengambil tongkat kayu yang tergeletak di tanah lalu mulai maju menyerang yang kemudian diikuti oleh warga lainnya.

Heni terbelalak ketakutan. Dengan rasa tubuh yang panas, karena api masih tetap membakar tubuhnya, terpaksa ia juga harus lari dari kejaran warga yang dilanda kemarahan ini.

Langkah Heni yang tertatih itu memberikan kesempatan para warga mengejarnya dengan mudah. Ia sekejap saja dikelilingi oleh para warga yang tak menyembunyikan kemarahan mereka.

Heni ketakutan. Ia sudah sangat menderita kesakitan karena rasa terbakar sampai ke tulang-tulangnya. Ia tak tahu apakah bisa lepas dari amarah para penduduk yang suka bermain tangan ini.

“Manusia terkutuk! Serang!” sahut Pak Karman mengangkat tongkatnya lalu maju dan langsung memukulkan tongkat kayu keras-keras ke punggung Heni.

Heni ingin menjerti, tapi tenggorokannya sakit dan panas serasa ada api yang bergerak membakarnya.

“Dasar iblis jadi-jadian. Ini caramu meminta tumbal kan? Rasakan ini!” warga yang kalap memukuli Heni dengan tongkat, batu, atau apapun yang mereka temukan di jalanan.
Tiga orang warga melihat sebuah batu besar yang berada di sisi jalan. Mereka saling memandang lalu mengangguk. Dengan hitungan detik batu besar itu diangkat mereka bertiga. Lalu para warga yang melihatnya langsung bergeser memberikan jalan, mengerti akan diapakan batu tersebut.

“Manusia iblis! Rasakan ini!” teriak ketiga orang yang mengangkat batu tersebut. Dengan sekali ayunan batu tersebut mereka lemparkan ke badan Heni. Heni langsung terjatuh dengan tertindih bongkahan batu besar itu. Rasa sesak dan panas tercampur jadi satu. Darah hitam menggelegak keluar dari mulutnya.

“Ayo sekali lagi. Ambil batu-batu besar. Hancurkan iblis ini!” perintah Pak Karman. Bergegas para warga mengambil batu-batu dengan penuh semangat.

Heni ingin menjerit saat para warga dengan wajah beringas mereka mengangkat batu-batu besar itu lalu dengan wajah puas mereka melemparkan batu berat itu ke tubuhnya yang sudah terjepit batu sebelumnya.

‘Tidak! Tidak!’ jerit heni dalam hati saat sebuah batu paling besar diangkat oleh enam orang warga mengarah kepadanya. Heni menangis kesakitan juga ketakutan.

“Nah! Lemparkan ke kepalanya supaya cepat mampus iblis ini!” teriak salah satu warga.
Heni menjerit saat batu besar itu diayun lalu dengan hitungan bersama-sama para warga, mereka meleparkan batu itu. Pupil mata Heni membesar menangkap bayangan batu itu melayang menuju ke arahnya.

‘Kraaakkk!’
‘Craasss!’

Suara tengkorak kepala pecah dan semburan darah hitam yang mengelilingi di bawah batu besar di mana kepala Heni beserta isinya tercecer berantakan.

Api yang membakar tubuh Heni mengecil perlahan, surut, lalu menghilang. Tubuh manusia yang terbakar itu beringsut berubah menjadi tubuh manusia normal yang penuh lumuran darah.

“Ini seorang wanita! Siapa dia?” Tanya Pak Karman.
“Siapapun dia, dia tak boleh mengotori desa ini! Tubuhnya harus hilang dari dunia ini. Kalau tidak, manusia jadi-jadian itu akan kembali hidup dan mencari korban lagi.” Kata salah satu warga.

“Kamu betul! Lalu bagaimana cara kita memusnahkannya?”

“Ada yang bilang memusnahkan manusia jejadian adalah memotong-motong tubuhnya. Lalu menguburnya secara terpisah! Iya begitu caranya.”

“Kalau begitu ayo cepat kerjakan! Subuh sebentar lagi datang, cepat cari gergaji atau golok untuk memotong-motong tubuhnya. Jangan sampai geger manusia jejadian ini akan menghantui seluruh warga!” sahut Pak Karman. Seluruh warga mengangguk mengerti masih tetap memandangi mayat Heni yang sudah tak dikenali lagi.

***

Sinta menghembuskan napas lega saat ia melewati tugu perbatasan desa. Suasana hatinya mulai santai. Namun karena masih was-was ia melirik berkali-kali ke kaca spionnya mengawasi area belakang. Melihat tak ada hal yang mencurigakan napasnya mulai tenang.

Tatapannya beralih pada gelang kain yang melingkar manis di pergelangan tangan. Mungkin gelang jimat ini memang membantunya mengaburkan jejaknya dari kejaran Kinanti. Ia tersenyum kecil lalu mengulurkan tangannya berniat menyetel musik dari pemutar musik di mobil. Sampai kemudian, tangannya bergerak kaku.

Dari sisi matanya, Sinta melihat bayangan merah yang duduk di jok penumpang belakang. Tangannya yang terulur ia tarik kembali. Hatinya bergetar dengan teror ketakutan. Perlahan ia mendongak untuk melihat bayangan dari spion dalam. Tak ada apa-apa. Sinta berbalik menengokkan kepalanya memastikan. Tidak ada sosok merah yang ia lihat sebelumnya.

Ia menggelengkan kepala, pikiran konyol membuat halusinasi terus menerus. Sinta kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Namun, saat itulah jantungnya berdegup kencang melihat Kinanti duduk bertumpu lutut di bagian atas kap mesin mobil.

Bibir Kinanti tersenyum sinis terkesan mengejek. Detak jantung Sinta bekerja lebih keras karena kekagetannya, ia membanting setir ke kiri karena panik yang menyelimuti hatinya. Matanya membelalak ketakutan saat mobil yang ia kendarai melaju ke arah bibir jalan lalu menyerempet sebuah pohon, tapi tak bisa ia hentikan karena panel rem tiba-tiba tak berfungsi.

“Tidak! Tidak! Berhenti! Berhenti!” jerit Sinta. Ia melihat tubuh Kinanti melayang kembali lalu mengikuti laju mobilnya dari sebelah kanan. Sekali-kali Kinanti memutar tubuhnya seraya mengejek dengan tertawa terbahak-bahak.
Kaki Sinta mengotak-atik panel rem. Berusaha menghentikan laju mobilnya yang tiba-tiba semakin cepat melaju padahal  ia tak menginjak gas sama sekali.

“Hentikan! Hentikan!” teriak Sinta semakin panik saat di depan sana terlihat tikungan bersisian dengan jurang.

Air matanya menganak sungai karena rasa takut mencekam. Ia takut mobil yang melaju kencang ini akan terjatuh. Tangannya bergerak berusaha membuka pintu kap mobil yang tiba-tiba saja macet tak bisa dibuka sama sekali.

“Buka! Buka!” jerit Sinta. Kinanti masih melayang mengiringi Sinta yang sedang memukul pukulkan jemari tangannya pada kaca jendela mobil. Air mata wanita itu terlihat jelas mengalir di wajah cantiknya.

“Tidak! Tidak mungkin! Kinanti! Keluarkan aku! Cepat keluarkan aku!” teriaknya memukul kaca jendela saat mobilnya semakin mendekati tikungan tajam itu.
Sinta kembali mencoba menginjak panel rem kaki tapi masih seperti sebelumnya rem itu tak berfungsi sama sekali. Ia melihat jarak jurang yang semakin dekat. Putus asa ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ini kah akhir hidupnya? Tanyanya dengan hati penuh ketakutan.

‘Braaaakkk!’
‘Sreeettt!’
‘Brruugghhh!’

Sinta terbelalak ngeri saat mobilnya menabrak pagar pembatas kemudian melayang dan berguling-guling jatuh ke jurang. Teriakan Sinta teredam suara gesekan mobil yang membentur beberapa pohon. Sampai kemudian berhenti ketika menabrak pohon besar.

Airbag berhasil menolong Sinta dari cedera di wajahnya. Sinta masih tersadar kemudian langsung secepatnnya membuka pintu kap mobil yang beruntungnya sudah bisa ia buka.

Tubuhnya ambruk setelah keluar dari mobil. Kakinya berdenyut sakit dan terdapat beberapa goresan berdarah. Ia melihat sekelilingnya. Gelap.

Ini adalah jurang jurang bagian hutan angker yang terhubung ke desanya.
Tak ingin menyianyiakan waktu dengan duduk terdiam. Ia langsung mencoba berdiri meski harus tertatih dan beberapa kali meringis karena rasa sakit dan perih dari luka-luka tubuhnya. Sinta mencium bau bensin yang mengalir dari tangki bensin mobilnya. Ia harus secepatnya menjauh dari mobil yang ia prediksi akan meledak.

Saat masih tertatih-tatih menjauhkan diri dari mobil, terdengar suara ledakan kecil dari arah mobilnya. Ia langsung bergegas cepat memajukan langkahnya.

Baru saja ia bernapas lega, terdengar suara berderak dari arah mobil.

‘Traaakkk!’
‘Duuuaaarrrr!’
‘Duuuaaarrrr!’
‘Duuuaaarrrr!’
‘Duuuaaarrrr!’

Sinta menutup matanya saat suara ledakkan itu terdengar keras. Panas hawa api menyapu wajah hingga ia refleks menutupi dengan kedua tangan. Saat suara ledakkan tak ada lagi, ia perlahan membuka kedua tangannya dan berkedip menyesuaikan matanya dengan cahaya api yang masuk ke mata. Namun, di sana lah ia melihat sosok wanita berjubah merah itu, membelakangi api yang berkobar, wanita itu menatap ke arahnya dengan tatapan menusuk. Membuat jantungnya yang belum sempat beristirahat dari kepanikan menjadi bertambah panik.

Mata Kinanti mengunci pandangan Sinta, langkahnya berjalan dengan angkuh mengarah pada sang ibu tiri.

Ditatap seperti itu, tanpa sadar Sinta memundurkan langkahnya. Jari jemari wanita itu bergetar, rasa dingin menyusup ke seluruh tubuhnya. Ia merasa Kinanti sangat mirip dengan malaikat kematian.

“Jangan mendekat! Jangan mendekat!” teriak Sinta dengan suara gemetar. Namun, Kinanti tak menghiraukan perintah Sinta. Sosoknya semakin mempertegas ketakutan di hati wanita itu.

“Berhenti! Berhenti! Ampuni aku!” teriak Sinta dengan air mata yang mulai mengaliri kedua pipinya.

“Aku tahu, aku bersalah padamu! Aku meminta maaf, Kinanti! Aku minta maaf!” ujarnya dengan terisak-isak. Ia lalu merangkak dan bersimpuh di depan kaki Kinanti.

“Aku tak ingin mati! Aku ingin pengampunanmu, Kinanti! Apapun akan aku lakukan asal kau mengampuni hidupku,” sahutnya dengan diiringi suara tangis.
Kinanti masih tetap tak bersuara. Ia menatap Sinta dengan datar. Tak ada emosi apapun. Hal yang membuat Sinta salah paham bahwa Kinanti sedang mempertimbangkan tawarannya.

Sinta menyusut air matanya perlahan, menenangkan diri, kemudian ia memasang senyum kecil. “Aku tahu kau adalah orang baik Kinanti.” Sahut Sinta lirih.

“Melepaskan satu nyawa tak berharga ini tak akan membuatmu rugi. Aku sudah bertobat, Kinanti!”

“Aku akan pergi dari desa dan tak akan mengganggumu lagi! Aku juga tak akan mengambil satu rupiah pun dari hartamu. Jadi, kumohon padamu, lepaskan aku. Bukan hanya kamu yang merasa sakit, aku juga merasa sakit. Danu telah meninggal, aku juga merasa sangat sedih karena itu. Kita mencintai orang yang sa ....”

‘Duuuaaakkk!’

Sinta terbanting saat tendangan keras hinggap pada dadanya. Membuatnya terlempar sejauh tiga meter dari tempat sebelumnya. Sinta terbatuk-batuk sesak. Ia mendongak pada Kinanti yang kini menatapnya dengan kebengisan yang tak tertutupi lagi.

Hati Sinta gemetar. Jantungnya kembali berdenyut kencang. Apa yang salah?

“Kau sangat menjijikan!” desis Kinanti.

“Jangan pernah menyamakanku dengan wanita sampah macam dirimu. Kita tidak sama dalam mencintai Danu. Jangan menganggap perasaanmu itu suci untuk Danu. Karena sampai ke neraka pun Danu tak akan pernah menganggap ada tentang rasa yang kau anggap cinta itu.”

“Kau hanya akan membuat dirinya tercemar jika berada di sampingnya.” Kinanti melangkah maju ke hadapan Sinta. Tangan kanannya terulur dengan cepat lalu meraup rambut Sinta dengan keras.

“Kau tahu, saat menatapmu seperti ini, aku selalu membayangkan bagaimana rasanya memotong lidahmu itu,” bisik Kinanti lamat-lamat.

“Kinan…AARRRGGHHH!” jeritan Sinta membuat kelelawar-kelelawar hutan saling berterbangan.

Sinta semakin menjerit kesakitan saat Kinanti semakin keras meraup segenggam rambut, menjambak kuat, lalu menariknya. Tubuhnya terseret-seret menabrak dan tersangkut akar pohon tajam membuat kulit paha dan betisnya robek, sehingga aliran darah semakin melumuri kakinya.  

Jeritannya bagai musik hutan yang membuat binatang hutan awas. Bau darah menguar dari tubuhnya karena luka berdarah menyedot perhatian para kelelawar penghisap darah.

Kinanti kemudian melemparkan Sinta dengan keras menabrak batang pohon tua yang sangat besar. Sinta terbatuk-batuk akibat sesak yang dirasakannya. Pasokan oksigen seperti sedikit berkurang menyebabkan ia megap-megap mencari udara.

Bagaimanapun, hal menyedihkan itu tak membuat Kinanti mengasihinya. Wajah wanita berjubah merah itu tetap datar tanpa emosi selain matanya yang menyorot ganas.

Kinanti mengeluarkan sebuah botol yang berisi cairan kekuningan dari dalam jubahnya. Ia memandang botol itu dengan sorot kejam. Sinta memiliki firasat buruk terhadap botol yang di pegang Kinanti. Jantungnya semakin berdetak cepat kala Kinanti beralih menatapnya.

“Waktu itu, kau meminumkan ramuan yang menyebabkan pita suaraku rusak. Rasanya sangat perih,” lirihnya sambil mengangkat botol cairan itu.

“TI…TIDAK! Itu Heni yang melakukannya dia yang memaksamu minum ramuan itu!” kata Sinta dengan tangis ketakutan. Ia sangat takut. Tak bisa melawan ataupun kabur lagi.

“Percayalah padaku ... aku ... aakkkhhh!” Sinta menjerit tertahan saat mulut botol itu masuk ke mulutnya. Cengkeraman tangan kiri Kinanti di leher membuatnya harus melebarkan mulut agar tidak sesak.

Sukses. Seluruh cairan kekuningan itu masuk dengan lancar melewati kerongkongan. Sinta terbatuk-batuk saat Kinanti melepaskan cengkeramannya. Ia berusaha mengeluarkan kembali cairan tersebut dengan memasukan jarinya berusaha supaya memuntahkan kembali. Namun kemudian ia merasakan keanehan, karena ketika jarinya menyentuh lidah, lidah itu tak bisa merasakan rasa apapun.
Sinta terbelalak menatap Kinanti yang kini tersenyum miring. Ia akan menjerit bertanya saat tiba-tiba ia merasakan rasa panas menyengat pada lehernya.

“Akkhhh ... kkhhhhhaaa!” Sinta menjerit namun tak ada suara sama sekali. Ia menatap ketakutan sambil memegangi lehernya.

Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan panik saat Kinanti merunduk dan bertongkat lutut menatap tajam ke matanya.

“Bagaimana rasanya? Itulah rasa ketika kau menyuruh Heni meminumkan ramuan itu padaku, tapi ... efek ramuan yang kuminumkan padamu akan membawa kenangan sendiri untuk kematianmu.” Kinanti terkikik. Sinta terlihat sesak bernafas entah karena tangisnya atau karena efek ramuan yang ia minum.

Ia sangat ingin menjerit dan berteriak meminta tolong, tapi ketika ia akan mencobanya rasa sakit di leher membuatnya seperti tercekik.
Dengan sorot mata dingin, Kinanti lalu berdiri kembali dan mundur beberapa langkah. Senyum dingin menghias bibir gadis itu.

Tubuh Sinta menggeliat ketika merasakan rasa panas yang tak terkira seakan berpesta di tenggorokannya. Ia merasakan kedutan dahsyat di lehernya sampai kemudian rasa sakit tak tertahankan menghantam kuat hingga berguling-guling di tanah. Lalu tanpa bisa dicegah ia memuntahkan darah beserta lelehan daging yang terlihat melebur menjadi satu. Lidah Sinta meleleh bagai lilin cair menggumpal-gumpal diantara darah yang terjatuh di tanah.

“KKKHHHAA!” tangis Sinta saat melihat darah yang begitu banyak keluar dari mulutnya.

Belum sepenuhnya menerima apa yang terjadi pada lidahnya, Sinta kembali merasakan panas di sekitar perutnya. Perutnya yang tengah hamil tiga bulan masih terlihat datar. Namun kini, bagian perutnya tiba-tiba menggelembung. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya juga disertai ketakutan akan apa yang Kinanti lakukan.

“KKHHHAAA!” jeritanya pada Kinanti yang hanya ditanggapi dengan sorot mata yang dingin.

Sinta merasakan ada yang berputar-putar dalam perutnya. Ia menangis, meraung, memukul-mukul perutnya putus asa. Perutnya terasa ditusuk-tusuk dari dalam. Beberapa saat kemudian terlihat darah yang mengucur keluar dari perut. Sedikit demi sedikit, perut itu membelah dari dalam.

“KKKHHHHAAA!!!” jerit Sinta ketakutan saat robekan itu semakin melebar.

Sinta meraung kesakitan diiringi ketakutan. Ketika celah itu semakin melebar, Sinta melihat sekumpulan serangga berdengung lalu keluar perlahan dari dalam perutnya.
Kinanti tersenyum dengan manis menatap serangga-serangga itu. “Dia adalah anak-anakmu, Sinta!” ucap Kinanti mengejek.

Sinta menatap benci pada Kinanti. Jadi selama ini ia telah menanamkan bibit serangga pada rahimnya. Kehamilannya bukanlah karena hamil anak manusia, melainkan sekumpulan serangga?

Tatapan Sinta berubah marah pada Kinanti. Entah keberanian dari mana, ia meraung lalu bergerak menerjang Kinanti.

Kinanti terkekeh saat Sinta bergerak menyerangnya. Pukulan Sinta meleset sehingga tubuhnya terjatuh kembali. Tak puas dengan hatinya yang penuh kebencian, Sinta kembali mengejar Kinanti yang seakan mengejeknya. Ketika Sinta kembali melayangkan pukulan, dengan gerakan lincah Kinanti menggeser tubuhnya lalu bergerak menendang Sinta.

“Cukup bagus untuk orang yang baru melahirkan.” Kinanti terkekeh kemudian di susul dengan tawa.

“Tapi kali ini, permainan ini milikku!” sahutnya lamat-lamat.
Angin gunung datang berdesauan meniup rambut perak itu berkibar, ketika tangan Kinanti mengeluarkan suar cahaya keperakan membentuk sebuah pisau. Pisau yang sangat familiar sehingga membuat Sinta terbelalak ketakutan.

“Sinta ....” Kinanti mempermainkan pisau itu berputar-putar bagai kincir angin.

“Sudah saatnya aku memotong buruanku, dan … mengulitinya.” Sorot mata Kinanti semakin mendingin.

Bersambung ....

SESAT : Dendam Ribuan TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang