13

4.7K 307 16
                                    


Desauan angin menyambut kesadaran Kinanti saat ia membuka kedua matanya. Ia mengawasi sekelilingnya dengan kebingungan dan kewaspadaan. Dimana ia berada? Apakah wanita iblis itu mengirimnya kesini?

Ia berada disebuah ruangan yang serba putih. Ruangan itu seperti aula besar. Disisinya terdapat berbagai sutra putih sebagai hiasan yang membelit tiang-tiang penyangga. Di ujung ruangan terdapat altar yang terdapat sebuah pedang bermata dua dengan sebuah permata merah di gagangnya. Pedang itu tertancap pada sebuah batu hitam. Kinanti mengenali pedang itu dari buku yang diberikan Kalya padanya. Pedang Radrusa dari Klan Bhinnaya.

Kinanti melangkah berniat mendekati altar tersebut untuk mengamati pedang itu lebih dekat, Sebelum kemudian berhenti ketika sesosok wanita berjubah merah dengan rambut perak yang berwajah persis dirinya masuk ke aula dengan langkah penuh arogansi. Pakaian perang yang dikenakannya membalut indah dan memancarkan aura ksatria dan keabadian. Kinanti bahkan terperangah saat wanita itu mendongakan wajah. Warna pupil emas yang begitu menyorotkan keteguhan serta keagungan. Lutut Kinanti gemetar seakan ingin berlutut dibawah sorotan mata yang indah itu.

Hatinya bergetar saat sosok itu menatap seakan menyadari dirinya berada di aula ini. Dengan hati yang sangat waspada Kinanti menantikan reaksi wanita itu. Namun tak ada reaksi apapun. Wanita itu meneruskan langkahnya melangkahi undakan altar menunju pedang tersebut.
Membelakangi Kinanti, ia mengambil pedang yang tertancap kokoh pada batu dengan begitu mudah. Lalu setengah mengibaskan pedang tersebut ia berbalik memandang Kinanti. Kinanti memundurkan langkah semakin waspada. Sorot wanita itu terpatri menatapnya dengan suatu maksud.

Saat Kinanti melihat wanita itu menuruni undakan tangga altar dengan perlahan, ia ikut memundurkan langkahnya. Ia yakin tak akan bisa melawan wanita ini dengan keadaannya yang lemah. Wanita itu semakin mendekat dengan sorot mata yang membuat Kinanti gemetar ketakutan.

Meski rasa takut juga penasaran menguasai pikiran Kinanti, namun ia ingin mengetahui siapa dia dan bagaimana wajah mereka begitu mirip. Dan, di mana ia berada sekarang? Banyak hal yang ingin Kinanti tanyakan. Mungkin wanita di depannya ini dapat menjawab semua pertanyaan dalam benaknya.

Tiga langkah dari Kinanti wanita itu berhenti. Pedang yang berada di tangan kanannya dibawa dalam keadaan terbalik dengan mata pedang tajam menyentuh lantai. Keangkuhan sorot dalam wanita itu membuat Kinanti menatapnya penasaran.

“Kinanti! Aku tahu bahwa kau akan kemari. Ingatlah satu hal, bahwa kita adalah satu,” ucapnya penuh teka-teki. Kinanti mengernyit tidak mengerti.

“Aku akan mengirimmu kembali. Ketika kau sadar nanti seluruh ingatan masa laluku akan menjadi milikmu. Begitupun kekuatanku yang bersemayam dalam dirimu. Gunakan itu sebagai hadiah untuk Kamadusa,” ucapnya. Bola mata emas itu menyorot dengan kekejaman yang mengentak hati Kinanti. Kinanti akhirnya menyadari satu hal, wanita di depannya pastilah Ratu Candaka yang sering dibicarakan Kalya.

“Kau kah Candaka?” Tanya Kinanti memastikan. Wanita tersebut mengangguk pelan dengan senyum tipis tersungging di bibirnya. 

“Dia mencoba memanggilku tanpa mengetahui bahwa auraku berada dalam setiap titik darahmu.”

“Ketidaktahuannya akan mengaburkan upacara pemanggilan itu. Kau bisa memanfaatkan itu untuk kembali menyerangnya.”

“Jangan biarkan ia memanfaatkan Danu. Darah Danu adalah darah manusia suci pasanganku dulu. Aku tak ingin ia kembali dikorbankan karena perselisahan antar Klan. Sudah saatnya ia terlepas dari takdir burukku,” ucapnya dengan sorot mata yang memancarkan kesedihan.

Ia kemudian mengangkat pedang bermata dua tersebut lalu menatap Kinanti dengan tajam. “Aku akan mengirimmu sekarang.” 

Kinanti terbelalak saat melihat Candaka mengangkat pedangnya dan bergerak dengan tebasan pedang yang sangat cepat.

Pusaran angin mengililingi Kinanti membuatnya mual. Ia terdorong jauh dengan kecepatan yang tak terukur. Kesadarannya memudar digantikan berbagai kilasan-kilasan peristiwa masa lalu yang melibatkan dirinya. Pertarungan, perang, darah, pengorbanan serta kutukan dan kelahiran seorang bayi dalam pelukan sosok ibunya, Fatimah. Seluruh tubuhnya merasa sakit tak terkira hingga membuatnya menjerit keras beradu dengan suara pusaran angin.

***

‘Buughhh!’
‘Buughhh!’
‘Buughhh!’
‘Buughhh!’
‘Buughhh!’

Kinanti merasakan pukulan bertubi-tubi pada tubuhnya. Kesadarannya samar-samar terbangun dan merasakan dinginnya tanah yang menempel di pipi kirinya. Matanya terbuka dengan pupil keemasan menyala kejam.

“Mati kau! Mati!” teriak Tiara menggila sambil menendangi tubuh Kinanti yang tergeletak terlihat tak berdaya di tanah penjara bawah tanah.

“Kau tak berdaya sekarang Hahahahahaa!” sahut Tiara dengan tawanya yang Gila.
“Aku ingin sekali membunuhmu langsung. Tapi ternyata dengan sedikit kekuatan Mbah Reksti kau langsung mati!”

Tiara tertawa dengan gila. Ia kemudian berjalan ke sudut ruangan yang terdapat beberapa alat-alat senjata, lalu mengambil sebuah kapak besar. Dengan terseret-seret ia membawa kapak itu menunju Kinanti kembali dengan sorot kebenciannya yang tak terlepas menyoroti tubuh tak berdaya itu.

Saat tiba di sebelah Kinanti ia tersenyum lebar dengan mata yang memelototi tubuh Kinanti.

“Nikmati kematianmu, Kinanti!” sahutnya sambil mengangkat kapak besar itu.

Ia baru akan mengayunkan kapak saat suara langkah yang tertatih menyeret sesuatu yang berat terdengar di telinganya. Tiara sejenak terdiam untuk mempertajam pendengarannya. Mencari-cari suara itu berasal. Tak ada apa-apa, namun suara itu sangat dekat dengannya. Ia berbalik sambil mengawasi lebih detail terhadap sesuatu yang ia yakin telah dengar.

‘Dughhh!’
‘Dughhh!’
‘Dughhh!’
‘Dughhh!’
‘Dughhh!’

Suara benda yang sengaja di jatuhkan berdebum ke tanah. Lalu seretan kembali terdengar. Mata Tiara membelalak awas. Penjara ini sangat sepi. Hingga suara sekecil apapun akan terdengar.

Tiara menurunkan kapaknya kembali ke bawah. Ia bergerak mencapai pintu ruang penyiksaan Kinanti. Membukanya perlahan lalu melongokkan kepala meneliti koridor lorong bawah tanah yang temaram itu. Suasana mistis membuat bulu kuduknya merinding tiba-tiba. Seharusnya ia mengikuti Sinta dan teman-temannya kembali ke aula persembahan. Namun kebenciannya pada Kinanti mengalahkan ketakutan itu dan bergegas menyenangkan dirinya untuk menyiksa Kinanti.

Tidak ada sesuatu yang mencurigakan di area lorong. Suasananya tetap seperti biasanya. Sepi dan gelap. Ujung lorong yang gelap pekat tak terlihat sama sekali ada apa disana.

Hati Tiara mulai ketakutan. Ia segera menutup pintu itu kembali. Perlahan ia menghembuskan nafasnya. Ia meyakinkan hatinya bahwa Kinanti sudah mati dan Mbah Reksti menjamin ia tak akan bangkit lagi. Roh Kinanti telah menghilang.

“Fuhh …,” desahnya mengeluarkan nafas untuk menenangkan hati. Namun baru saja kelegaan itu ia capai, pintu yang baru ia tutup digedor tiba-tiba dengan sangat keras. Tiara terlonjak kaget sehingga kakinya refleks melangkah mundur.

‘Bruughhh! Bruughhh! Bruughhh! Bruughhh!’
‘Bruughhh! Bruughhh! Bruughhh! Bruughhh!’
‘Bruughhh! Bruughhh! Bruughhh! Bruughhh!’

Suara gedoran semakin intens meninggi. Tiara memandang pintu itu dengan mata yang menyorot waspada.

Awalnya ia tak percaya adanya hantu, setan, dan sejenisnya. Namun ketika sosok anak kecil yang dulu ia bunuh sering menampakkan dirinya. Ia sedikit mulai percaya meski kemudian sosok hantu itu kemudian menghilang dengan sendirinya. Lalu, ketika Sinta membawanya ke hadapan Mbah Resti. Disitulah Tiara percaya bahwa makhluk-makhluk gaib itu ada. Dan Mbah Reksti salah satu manusia yang bekerjasama dengan kumpulan-kumpulan makhluk-makhluk tak kasat mata itu.

Tiara sekarang menyesali keputusannya menyiksa Kinanti di sini. Ia takut jika salah satu makhluk peliharaan Mbah Reksti mengincar nyawanya. Keringat dingin Tiara meluncur dari pelipis menuju dagu lalu menetes kebawah. Jantungnya berdegup dengan cepat. Otaknya memikirkan hal-hal negatif yang sedang terjadi jika ia membuka pintu itu. Tak sadar sesosok gadis kecil kini telah berdiri di belakangnya.

“Hihihihii ... Ibu Guru!”

Suara yang dikenal Tiara membuat Tiara membelalakan mata. Tangan dan kakinya gemetar mendengar suara anak kecil yang tepat berada di belakang tubuhnya. Ketakutan membayang di mata Tiara. Tak sadar air mata telah mengalir dari kelopak yang semakin terbuka lebar itu. Ia takut! Sangat takut.

“Hihihihihii!” suara gadis kecil terkikik. Tiara menoleh ke belakangnya, namun tak ia dapati siapa pun.

“Ka … Kau pergi! Pergi dari hidupku!” teriaknya sambil berputar mencari-cari sosok hantu Nabila. Ia kemudian ingat kalung yang diberikan Mbah Reksti. Kalung yang mirip seperti milik Juragan Tomo. Ia langsung mengeluarkan kalung tersebut. Lalu menggenggam bandul tulang dengan erat.

“Aku tidak takut! Aku tidak takut padamu!” jeritnya dengan suara bergetar. Ia lalu mengambil sebilah pedang kecil yang berada di rak alat-alat senjata. Satu tangan kirinya ia gunakan menggenggam kalung bandul tulang sedangkan tangan kanan memegang pedang. Matanya awas mengamati ruangan gelap itu.

“Ibu Guru!” jerit anak kecil lagi disertai suara terkikik.

Tiara memindai segala sudut ruangan. Tubuhnya terlihat gemetar. Lalu ia menoleh ke arah pintu. Bergegas ia lari kesana dan meraih daun pintu untuk membukanya. Namun, kemudian ia menjerit ketakutan saat melihat sosok berdarah yang berdiri melotot padanya dengan wajah yang penuh lumuran darah. Pak Anwar dengan kapak besar di pundaknya menatap penuh dendam.

“Tidak! Tidak! Tidakkk!” Tiara melompat ke belakang. Pedang ditangannya terjatuh dari genggaman karena rasa kagetnya. Lalu ia merasakan sesuatu yang dingin memeluk dan melingkup erat lehernya.
“Ibu Guru!” bisik Nabila di telinga Tiara. Gadis kecil itu menempel erat dalam gendongan Tiara.

“AARRRGHHH!” jeritanya sambil berusaha melepas tangan dingin Nabila yang berada di leher.

Suara tawa Nabila terasa memekik di telinga Tiara. Ia menutupi kedua telinganya sambil beringsut  di sudut ruangan. Mata Tiara berlinang air mata menatap dua sosok roh yang kini menghadapnya.

“Jangan! Jangan mendekat!” Tiara menggelengkan kepalanya.

“Ibu, mata Nabila sakit!” ucap gadis kecil yang bermata hitam legam itu.

“Aku ingin mataku kembali, Bu” ucapnya dengan sedih. Tiara semakin menggelengkan kepalanya. Ia semakin menyesali keputusannya di ruang bawah tanah ini. Seharusnya ia mengikuti perkataan Sinta.

“Aku minta maaf! Ibu minta maaf, Nabila! Ibu tak sengaja membunuhmu,” raung Tiara dengan ketakutan. Nabila perlahan maju mendekatinya.

“Jangan kemari! Jangan kemari!!!” jerit Tiara.

“Tapi mata ibu sangat indah” gadis kecil itu terkikik. “Dan, Bila ingin mata ibu.”

Tiara menggelengkan kepalanya menjadi-jadi ketika sosok berlumuran darah yang ia bunuh tiga tahun lalu itu juga mendekat padanya. Ia langsung berdiri dan berniat berlari menghindari dua hantu itu. Namun baru beberapa langkah kaki, tiba-tiba ia terjatuh dan kakinya diseret. Ia menoleh ke belakang melihat Pak Anwar dengan kasarnya menyeret kakinya kemudian membanting dengan kasar ke tembok. Tubuh Tiara sakit namun ketakutan dihatinyalah yang lebih besar.

Ia jatuh terlentang dengan kepala mengalirkan darah akibat benturan keras. Lalu ia merasakan hawa dingin yang memenuhi dada. Saat hawa tersebut semakin mendingin, tiba-tiba bentuk kepulan asap putih membentuk sosok Nabila yang duduk tepat di dadanya.

Tiara menggelengkan kepala dengan berurai airmata saat melihat tangan kanan Nabila membawa sepotong ranting.

“Mata ibu sangat indah,” bisik gadis kecil itu dengan suara serak. Mata hitam legam itu menyorotkan kekejian yang menghunus ketakutan Tiara menjadi tak bertepi. Lalu tanpa aba-aba, tangan yang memegang ranting terangkat, sambil menyeringai kejam, Nabila menusukkan ranting tersebut ke mata kanan Tiara berkali-kali hingga darah dari mata itu bermuncratan ke segala arah.

Tiara menjerit pilu antara kesakitan dan ketakutan. Tangannya mencoba menggapai Nabila, tetapi ia tak bisa menangkap sosok gadis kecil itu.

“Mata yang satunya juga indah, tapi aku pengen lihat ketakutan di mata ibu saat kak Kinan menagih hutang darah nanti. Hihihihihiii …. “ Ia terkekeh sambil membuang ranting berlumuran darah itu sembarangan.

Tiara masih menjerit kesakitan saat tangannya ditarik paksa lalu diseret oleh Pak Anwar.

“Beritahu aku, bagian tubuh mana yang kau sukai?” serak suara Pak Anwar masuk ke telinganya.

“A,Aku minta maaf pada kalian! Kumohon lepaskan aku!” ucap Tiara sambil menangis. Wajahnya yang cantik kini tertutupi sebagian besar darah yang mengalir dari mata kanan.

“Melepaskanmu? Apakah itu terjadi saat kau membunuhku dulu? Bahkan mayatku kau potong-potong dan membuangnya sembarangan di tengah hutan. Katakan padaku alasan apa aku harus melepaskanmu?”

Tiara menggeleng lemah. Ia menyesali keberadaannya di bawah tanah ini. Seandainya ia tak menuruti nafsu membunuhnya pada Kinanti ia tak akan dibunuh oleh roh-roh pendendam ini.
Kinanti. Ia menoleh ke arah jenazah Kinanti yang ia siksa sebelumnya. Namun, betapa kagetnya ia ketika melihat jenazah itu sudah tidak berada di tempatnya. Keheranannya membawa ketakutan tak karuan yang kembali berkecamuk dalam hati.

“Bu Tiara, aku ingat bagian mana dari tubuhku yang kau potong waktu itu. Mari, mari kita lakukan seperti kau memotongku dulu.” Suara serak mengerikan itu membuat Tiara menangis dengan pilu. Ia tak ingin mati. Ia takut akan kematian.

Pak Anwar menyeringai senang dengan pandangan ke kedua kaki Tiara. Ia kemudian mengangkat kapaknya. Tiara menjerit ketakutan.

Ia berusaha menarik tubuhnya, tapi kekuatan Tiara tak secepat itu saat kapak itu jatuh dan memotong lututnya, memisahkan lutut dan betis sebelah kanan. Jeritan Tiara menggema di ruangan penjara. Airmata yang bercampur darah membasahi wajahnya.

Jeritan demi jeritan Tiara menghuni bawah tanah. Membuat roh-roh kelaparan bersorak. Sunyinya bawah tanah ramai dengan tangis pilu dan suara kapak yang memotong-motong bagian-bagian tubuhnya.

Barulah wanita itu merasakan keinginan mati dengan kuat. Ia ingin mati secepatnya. Ia bahkan melihat potongan kedua tangannya dipermainkan Nabila. Hanya tinggal kepala dan badan saja yang masih utuh.

Tak ada lagi tangis pilu. Hanya keputusasaan dalam lirihan dan sorotan matanya. Ia ingin mati secepatnya. Namun, sepertinya kembali siksaan itu tidak memuaskan nasib. Ia melihat sosok gadis berjubah merah berdiri tinggi menjulang di hadapannya. Kinanti.
Ia masih hidup.

Tiara menatap nanar dan kalah. Ia kalah, ia akui itu. Sehingga tangis pedihnya kembali mengalir.

“Apakah kau puas?” tanya Kinanti dengan lembut. Tiara menatap dan mengamati wajahnya.

Bersih. Tak ada bekas siksaan maupun tanah yang menempel diwajah Kinanti. Berkebalikan dengan dirinya yang begitu menyedihkan.

“Kinanti, kenapa kau masih hidup?” lirih Tiara bertanya. Suaranya teramat pelan hingga mirip dengan erangan. Tenggorokannya serak karena jeritan demi jeritan telah merobek pita suara. 

Kinanti berucap dengan kekejaman yang menjanjikan dari sorot matanya. “Tentu saja aku hidup. Kau dan yang lain belum mati. Berkali-kali kalian bunuh pun aku akan kembali merangkak naik dari neraka sana untuk menyeret kalian bersamaku.”

“Melihat luka-luka yang berada di tubuh ibuku. Aku tahu itu pasti perbuatanmu,” sahut Kinanti dengan menekankan tangan kanannya di leher Tiara.

“Aku melihat bekas jerat tali dilehernya”
Kinanti mencekik leher Tiara dengan satu tangan. Tiara megap-megap, tapi ia tak berdaya untuk menghalau tangan itu.

“Ini yang dirasakan ibu saat kau menyiksa dengan menjerat lehernya,” dengus Kinanti lalu melepaskan cekikannya. Membuat Tiara terhempas mencium tanah kembali.

“Aku juga melihat goresan benda tajam di kedua pipinya.”

Tiara menggeleng lemah. Ia memang menyiksa Fatimah karena wajah Fatimah mengingatkannya dengan Kinanti. Hati Tiara merasakan takut juga penyesalan.
Rasa sakit tubuhnya sudah tak tertahankan lagi. Ia ingin mati secepatnya untuk meredakan seluruh rasa sakit ini.

“Tenang saja, Tiara! Aku tak mungkin merusak wajah cantikmu.” Kinanti terkekeh saat melihat Tiara menutup matanya.

“Sebagai gantinya .…” Kinanti menendang tubuh Tiara tertelungkup. Tiara membuka matanya dengan ketakutan sekali lagi. Ia melihat tangan Kinanti mengeluarkan suar keemasan membentuk sebuah benda. Pedang besar bermata dua.

Tiara membelalakan matanya tak percaya. Kinanti mempunyai kekuatan seperti itu?
Kinanti tersenyum halus menatap pedang itu, lalu menoleh kembali pada Tiara. Ekspresinya berubah serius dan sorot mata keji itu menatap Tiara dengan bengis.

Bayangan ibunya yang pasti ketakutan karena siksaan Tiara. Bagaimana takutnya ibunya saat lehernya dijerat. Bagaimana perih dan sakitnya saat wajah ibunya digores oleh wanita mengerikan ini. Hati Kinanti menjadi bergejolak dan menatap Tiara dengan haus darah.

“Mata dibalas mata. Hutang darah dibalas nyawa.” Kinanti mendesis lalu melompat ke belakang Tiara.

Tangan kirinya menggenggam dagu Tiara mendongakan ke atas lalu pedang dingin itu menyentuh leher wanita itu.

Tiara terbelalak ketakutan menatap bengisnya sorot mata Kinanti. Jeritannya teredam saat goresan pedang itu memotong kepalanya dengan sekali tebas. Tak terelakkan darah yang mengalir dari tebasan itu memercik ke wajah halus Kinanti. Sorot matanya yang penuh dendam laksana iblis wanita yang bangkit dari neraka.

***

Sinta menyenggol bahu Seruni. Lalu menatap ke lorong yang menghubungkan aula persembahan dengan penjara bawah tanah.

“Cepat panggil Tiara. Sudah terlalu lama ia di penjara bawah sana. Prosesi upacara ini penting, dia harus datang kemari,” bisiknya. Seruni melirik sinta dengan jengkel.

Ia benci selalu disuruh-suruh oleh Sinta. Ia pikir siapa? Tapi Seruni tak bisa menolaknya. Karena Sinta mempunyai pelindung hebat Mbah Reksti. Ia takut urusannya akan panjang jika ia tak mau mematuhi. Dengan hati jengkel ia mendengus lalu secepatnya pergi dari aula menuju penjara bawah tanah.

Melihat sikap Sinta padanya. Ia jadi teringat akan kata-kata Kinanti. Ia hanya menjadi kacung rendahan yang seenaknya diperintah Sinta. “Awas kau Sinta. Saat Mbah Reksti tidak lagi memihakmu, aku akan menginjak-injakmu sampai kau memohon ampun padaku.” Seruni bergumam ketika telah jauh dari aula.

Lorong penjara bawah tanah sangat temaram cenderung gelap. Namun, Seruni tidak takut ia merasa aman disini karena Kinanti telah mati. Tak ada hal yang ia takuti lagi.

Ia berbelok menuju sebuah ruangan khusus dimana jasad Kinanti ditaruh disana. Seruni mengernyit heran saat pintu ruangan itu setengah terbuka. Namun, ia juga tak mendengar suara apapun dari dalam sana. Dengan langkah bergegas ia membuka pintu tersebut.
Seruni langsung berteriak histeris, raut wajahnya syok, ketakutan memukul jantungnya sehingga berdegup dengan cepat. Ia sampai jatuh tersungkur karena rasa syoknya.

Wajah wanita itu pucat pasi menatap potongan-potongan tubuh yang berceceran darah dalam ruangan itu.  Ia meyakini itu adalah potongan tubuh Tiara meski potongan kepalanya tidak ada. Baju yang di kenakan pada potongan badan adalah baju yang Tiara pakai sebelumnya.

Seruni langsung merasakan mual tak tertahankan dan muntah-muntah seketika. Menggeser tubuhnya, ia berpegangan pada tembok untuk bangkit lalu segera berlari tertatih meninggalkan ruangan itu dengan ketakutan yang kini menghias wajahnya.

Bersambung ....

SESAT : Dendam Ribuan TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang