"Oppa." Wonwoo kembali tersedak waktu mendengar Livy memanggilnya dengan panggilan 'oppa' lagi. Sementara si Seo justru menahan tawa gemasnya, memilih untuk melanjutkan ucapan yang sempat terputus, "Aku tahu ucapanku memang sering kau anggap seperti orang gila, tidak waras, tidak masuk akal," ia memberi jeda pada kalimat, "tapi aku sungguhan merasa kalau kematian orangtuaku punya penyebab yang memang tidak biasa."

Wonwoo mendongak sekilas, menatap Livy yang kini juga tengah menatapnya, kemudian kembali fokus pada makanannya sementara Livy melanjutkan apa yang ia katakan. "Aku memang merasa tertekan berada dalam keluarga yang tidak mirip keluarga. Aku memang pernah berharap Mamaku pergi saja. Tapi bagaimanapun, mereka tetap orangtuaku. Kau pikir aku tidak sedih waktu melihat dengan kedua mataku sendiri detik-detik kematian mereka? Belum lagi, saat ini namaku tercemar dengan perbuatan yang bahkan tidak mungkin kulakukan." Livy menatap Wonwoo dengan pandangan memohon. Jarang-jarang ia memberikan ekspresi seperti itu pada orang lain. "Aku benar-benar meminta tolong padamu untuk mengusut kasus ini lagi. Tolong temukan pelakunya."

Wonwoo sudah menyelesaikan makannya. Kini, ia membalas tatapan Livy. Sebenarnya, ia tidak tega pada adik tirinya itu. Tapi Wonwoo bisa apa lagi? Kasus kematian orangtua Livy sudah resmi ditutup dan ia masih punya banyak kasus yang harus dikerjakan. "Bukankah kau bilang pelakunya bukan manusia? Lalu coba kau pikirkan, bagaimana bisa menangkap dan mengadili hantu? Apa aku ini pengusir setan? Bukan, aku polisi, dan tugasku adalah menangkap para manusia yang melakukan kejahatan, bukan hantu." Wonwoo berdiri dari duduknya. "Selesaikan makanmu, aku masih banyak urusan di kantor. Ini biar aku yang bayar," katanya sebelum melenggang pergi dari hadapan Livy.

Pukul dua belas kurang beberapa menit. Kedua tungkai kurus itu dibawa menuju luar ruangan. Setelah menutup pintu, ia berjalan sampai ke dekat tangga setelah mendengar suara ribut di bawah. Namun anehnya, suara itu berhenti beberapa saat yang lalu setelah ia putuskan untuk ke luar dan melihat langsung apa yang sedang terjadi di bawah sana.

Begitu sampai di depan anak tangga pertama, ia mengernyit sekaligus merasa ngeri saat dwinetranya menangkap presensi sang papa yang sudah terbaring lemas di lantai, dan mamanya yang meraih-raih udara kosong sambil memegangi lehernya sendiri. Seperti dapat peringatan bahaya, ia menyembunyikan tubuhnya di balik pembatas tangga. Mengintip diam-diam dari sela-sela kecil di sana dan menyaksikan sendiri bagaimana mamanya jatuh menubruk keramik hingga muncul genangan darah di sekitar tubuh wanita itu.

Tubuhnya seketika melemas, baru berani turun dan memeriksa kondisi kedua orangtuanya setelah beberapa saat kemudian. Ia kalut saat menyadari kedua tubuh tua itu sudah tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Di tengah-tengah rasa paniknya, suara sepatu yang membentur lantai terdengar samar-samar, hingga semakin jelas memasuki gendang telinga gadis itu. Ia menoleh pelan dengan perasaan takut dan cemas. Waktu sudah benar-benar menghadapkan wajah ke sumber suara, ia justru dapati sebuah sepatu berwarna hitam di sana. Gadis itu mendongak, berniat melihat siapa gerangan yang memakai sepatu itu, tapi belum sempat ia melihat si pemakai, pandangannya malah jadi gelap secara tiba-tiba.

Livy terengah-engah layaknya orang habis berlari marathon. Ia memegangi dadanya, merasa sesak bukan main di sana. Peluh mengucur sebiji-biji jagung dari dahinya, juga di seluruh badan.

Itu tadi cuma mimpi.

Kejadian di malam orangtuanya terbunuh yang barusan cuma mimpi, tapi sanggup membawa pikiran Livy kembali pada kejadian sebenarnya beberapa hari yang lalu. Pertahanannya runtuh, Livy menangis keras-keras sambil terus memukul dadanya yang terasa sesak, tidak peduli sebanyak apa ia mengambil napas.

Pintu kamar itu terbuka, disusul dengan presensi Wonwoo yang masuk dengan air muka bingung bercampur panik sewaktu melihat Livy menangis malam-malam begitu. Wonwoo belum pernah menangani seorang perempuan selama hidupnya, mana ia tahu bagaimana cara menenangkan perempuan yang sedang menangis? Lelaki itu memutar otak, tapi yang ada di sana cuma satu cara---memberi Livy sebuah pelukan. Yang ia dengar, saat seseorang sedang kacau, pelukan adalah salah satu hal yang paling dibutuhkan untuk menenangkan mereka.

Wonwoo merengkuh tubuh kurus Livy yang masih bergetar karena tangis. Ia menepuk-nepuk pundak adik tirinya dengan harapan gadis itu bisa merasa sedikit tenang. "Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja," Wonwoo mengucapkan kalimat yang selalu ia dengar dari ibunya dulu kalau sedang menangis.

Livy menghentikan tangisnya, ia mengurai pelukan Wonwoo, beralih menatap mata kelinci milik Wonwoo. "S-sepatu ...," katanya, mengingat apa yang ia lihat dari mimpi tadi.

Wonwoo mengerutkan dahi. "Apa?"

"Aku melihat seseorang dengan sepatu hitam di tempat mama papaku terbunuh. Aku yakin ia adalah penyebab semua ini." Livy meraih telapak tangan kanan Wonwoo, menggenggamnya erat. "Aku mohon selidiki kasus ini, atau setidaknya bantu aku mencari pelakunya. B-bagaimana kalau ia melukai orang lain selain mama papaku?"

Baru saja Wonwoo hendak membalas ucapan Livy, ponsel lelaki itu malah bergetar. Wonwoo melepas tangan Livy dari tangan kanannya, kemudian mengangkat telepon dari Seokmin. "Halo?"

Yang di seberang sana menjawab dengan nada panik, "Hyung, kantor polisi kita diserang!"

Kerutan di dahi Wonwoo semakin menjadi-jadi. "Apa maksudmu?"

Seokmin kembali menyahut, "Ada perempuan yang mendadak masuk sambil membawa pisau dan hendak bunuh diri," ucapannya terjeda, "tapi anehnya, ia berteriak ketakutan dan minta diselamatkan."

Wonwoo dan Livy saling tatap. Sebenarnya, apa yang akan mereka kejar?

[]

Adakah yang nungguin?

𝓶𝓸𝓻𝓽𝓪𝓵𝓪。Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt