chapter 11 - pulih

26 17 2
                                    

Sore itu, pertemuan dengan Daniel di cafe.

Aku mengangkat handphone yang aku gunakan diam-diam daritadi untuk merekam suara Daniel dan aku saat berbicara.

"Ok, kalau sekarang, ucapan lu sendiri yang memberatkan kesaksian lu." Jawabku lagi.

"Anak pengacara." Lanjutku sambil menepuk-tepuk dada sendiri. Aku beranjak dari tempat dudukku ingin pergi.

Namun, aku teringat akan sesuatu, "Oh ya, makanya lain kali liat dulu ya siapa yang lu sia-siakan. Sekarang nyesel kan lu." Kataku sambil menepuk-tepuk bahunya dan beranjak keluar cafe.

Ya, pada saat aku beranjak dari tempat dudukku ingin pergi, aku teringat untuk memasangkan penyadap pada pundaknya yang aku tepuk-tepuk, yang lalu aku sambungkan pada handphone ku. Aku memiliki pemikiran tersebut karena mungkin ada kejahatan Daniel yang terungkap di penyadap tersebut yang bisa digunakan saat ia mengancam keluargaku.

***

"Yakin Pak ini rumahnya? Kok seperti ga berpenghuni ya?" tanya Papaku kepada polisi yang mengantar kami ke alamat yang Daniel berikan untuk diantar uang tebusan.

"Sesuai alamat sih sudah benar, Pak." Balas polisi tersebut.

"Begini Pak, Bapak masuk duluan kerumah itu sambil bawa koper kosong ini sebagai pancingan agar tersangka diam ditempat. Saya kasih Bapak waktu lima menit terhitung sejak masuk kerumah itu. Setelah lima menit selesai, petugas akan dobrak rumah itu dan kepung tersangka dari segala arah."

"Tapi Pak, bisa saja tersangka memegang senjata. Kalau Papa saya kenapa-napa gimana?" kataku protes.

"Papa bakal baik-baik aja kok, Clar. Tenang aja lah." Kata papaku dengan tenang.

Aku hanya menunggu di mobil polisi dengan Mama sedangkan Papa masuk kedalam rumah tua itu diikuti oleh petugas polisi yang mengepung rumah itu dengan segala arah. Tidak lama kemudian, aku bisa melihat petugas yang mengepung pintu utama rumah itu mendobrak pintu tersebut.

Jantungku berdebar hebat. Ya Tuhan, tolonglah Papaku. Itu sajalah yang bisa aku pikirkan. Aku hanya tidak ingin Daniel menyakiti orang yang aku sayangi, termasuk Papaku. Apalagi Daniel begitu ingin merebut semua harta Papa.

Setelah beberapa menit, aku melihat Papa, Nathan, dan Calistha keluar dari rumah tersebut. Aku dan Mama langsung menghampiri mereka bertiga. Tidak lama setelah itu juga Daniel keluar dari rumah tersebut, dengan tangan yang sudah terborgol dan dan kaki yang pincang karena terkena tembakan dari petugas.


Aku menghampiri Daniel.

"Makanya, lain kali jadi orang belajar dari kesalahan, ya. Tiga tahun lalu mungkin Mama hanya gugat cerai lu padahal lu harusnya masuk penjara karena kasus perzinahan ya. Tapi sekarang, gw ga izinin lu dapet kesempatan kedua buat kabur dari penjara setelah neror gw dan nyulik Nathan sama Calistha. Sekarang kasusnya berlapis lagi. Kasus penculikan anak dan pencurian. Iya, maksud gw pencurian barang sparepart perusahaan Bina Berjaya. I know about it." Kataku kepada Daniel dengan puas.

Daniel terlihat marah kepadaku. "Liat aja, Clar. Gw bakal bebas! Gw punya pengacara hebat. Dasar anak durhaka!" katanya kepadaku sambil berteriak.

Aku tersenyum sinis kepadanya. "Gw juga punya." Kataku sambil memalingkan tatapanku kepada Papaku.

"Hukuman penculikan anak, paling lama tujuh tahun penjara. Hukuman pencurian barang, paling lama lima tahun penjara." Kata Papaku kepada Daniel.

Mamaku juga menghampiri Daniel, "Selamat menikmati penjara, ya."

"Semoga betah ya disana." Kataku kepadanya lagi sambil melambaikan tangan.

***

Sesampainya dirumah, akupun menceritakan kepada Mama dan Papa tentang mimpiku. Mereka memercayaiku sepenuhnya, namun mereka juga hanya bisa berpasrah dalam doa menunggu jadwal operasiku tiba.

Namun, satu hal yang ku tahu. AKU SUDAH SEMBUH. Bukan hanya sembuh dari guna-guna yang dikirim kepadaku. Tetapi juga sembuh dari dendamku kepada Riska, sembuh dari sakit hati yang aku dapatkan dari Alex, Camilla, dan Griselle. Sembuh dari kepahitanku tentang apapun kedukaan di masa laluku. Karena memang itulah salah satu keindahan hidup. Untuk apa kita menyimpan dendam, sakit hati, dan kepahitan akan masa lalu? Toh, semua rasa kekecewaan itu juga hanyalah masa lalu dan kita tidak hidup dalam masa lalu.

Sekarang aku pun mengerti. Tuhan mengizinkan aku sakit (terkena guna-guna) agar aku mengerti bukan hanya fisik lah yang harus sembuh, namun juga psikis dan rohaniku pun juga harus pulih.

***



Dear Riska,


Gw tau lu akan mengetahui pemikiran gw ini entah dengan ilmu hitam lu, atau dengan cara lain. Tapi gw yakin banget lu bisa mendengar gw. Ris, makasih lho udah pasang guna-guna. Sekarang gw tau kalau selama ini gw sakit. Bukan karena guna-guna lu, tapi karena dendam dan kekecewaan. Tapi, karena guna-guna lu, gw bisa berdamai dengan itu semua. Gw pun percaya lu juga bisa kalau lu pilih untuk ikut Tuhan. Tapi gimanapun, itu pilihan lu dan gw ga akan paksa. Tapi, menurut gw, ga akan ada kata terlambat untuk taubat.


Makasih Ris, udah buktiin ke gw kalau Alex itu ga baik untuk gw. Tindakan lu itu jawaban atas doa gw "jauhkanlah aku daripada yang jahat". Dan karena doa gw terwujud, gw pun sangat bersyukur. Jagain Alex ya. Tenang, gw ngomong gini bukan karena gw masih sayang sama dia, tapi karena gw menghargai dia sebagai orang yang pernah singgah di hati gw.


Last but not least, gw maafin lu sepenuhnya, Ris. Seperti yang gw bilang di awal, gw udah sembuh dan gw ga akan segan-segan maafin siapapun yang sakitin gw, karena menurut gw, lebih baik gw melepas maaf daripada menahan dendam.


Sincerely,


Claren.

***

Setelah menunggu selama beberapa hari, akupun menjalankan operasi. Operasiku lancar tanpa hambatan apapun. Terlebih lagi, aku kedatangan teman-temanku yang setia kepadaku yang melewati segala suka duka bersama. Ya. Mereka adalah Kennard, Carla, dan Janice. Mungkin memang temanku tak banyak. Tapi aku yakini, aku lebih baik mendapat sedikit teman setia dibandingkan beratusan teman yang hanya memanfaatkanku.

"Clar," kata Kennard kepadaku selagi saat ia ingin pulang.

"Ya Ken? Kenapa?" tanyaku.

"Gw ada surat buat lu. Mungkin lu bisa baca ini nanti. Gw mau pulang sekarang, udah jem sembilan, udah dicariin nyokap nih." Kata Kennard lagi.

"Bye, Clar. Cepet sehat lagi ya. Kan kita bulan depan wisuda."

Kennard mengambil fanny pack nya di meja yang ada di ruanganku. Namun, saat beranjak berdiri, Kennard malah mendekatiku dan mencium keningku.

"bye!" katanya lagi saat keluar dari ruanganku.

Ya ampun. Aku sudah tidak dapat berpikir ataupun berkata-kata lagi. Untung Mama dan Papa tidak disini. Kalau sampai ketahuan, aku tidak bisa bayangkan seberapa malunya diriku. Akupun segera membuka surat yang diberikan Kennard. Entah mengapa dizaman secanggih ini, dia malah memilih berkomunikasi dengan surat. Aneh, padahal kan bisa chat.

***

Dear Claren,


Jujur, gw gatau mau mulai darimana. Sebenernya selama ini gw sayang sama lu. Dan yang gw maksud sayang tuh bukan sebagai teman. Tapi lebih dari itu. Waktu lu bilang Alex khianatin lu, rasanya gw hancur banget Clar apalagi pas liat lu nangis di cafe. Makanya gw ajak lu main keluar dari situ biar lu ga sedih lagi.


Gw pun gatau apa lu udah berhasil lupain Alex. Tapi yang jelas, gimanapun perasaan lu sekarang, gw ga mau sampe lu jauhin gw karena perasaan gw. Kalo emang lu cuma anggep gw temen, gw terima itu dengan lapang dada kok, karena gw paham kalau cinta itu ga harus memiliki. Cepet sembuh ya, Clar. I love you.


Your frend,


Kennard

***

*tut.. tut...*


"Halo, Ken? Udah sampe rumah?" tanyaku saat sambungan teleponku diangkat Kennard.

"Udah Clar." Hening sejenak, "Lu udah baca surat gw?" tanya Kennard.

"Gw juga akhir-akhir ini punya perasaan sama lu Ken. Iya, perasaan lebih dari temen juga. Gw rasa, mungkin selama ini gw terlalu buta ngejar Alex sampe gw gabisa liat siapa yang sebenernya selalu ada buat gw. Lu." Kataku kepada Kennard. Astaga. Aku pasti sudah gila. Kenapa kata-kataku keluar begitu saja seperti muntahan? Tarik napas.. tenang..

"Seriusan Clar?" tanya Kennard lagi.

"Iya. Tapi gw rasa buat beberapa bulan ini gw masih belum mau pacaran dulu, mungkin tunggu sampe keadaan gw pulih total kali. Tapi, tenang aja. Walau belom ada status gw bisa bangun komitmen asal lu mau." Kataku kepada Kennard.

"Gapapa Clar. Gw ngerti kok. Kalau lu udah siap, ngomong aja ya ke gw. Gw ga mungkin sia-siain lu kaya Alex. Gw bakal buktiin itu ke lu." Kata Kennard lagi.

Hidupku saat ini, memang tidak sempurna. Tapi aku memiliki semua yang kubutuhkan. Keluarga yang harmonis, teman yang setia, dan tidak lupa.. orang yang selalu perhatian denganku.

Kebahagiaanku tidak sampai sini saja. Setelah lulus SMP dan melewati masa berlibur yang cukup lama, akupun melanjutkan SMA disekolah yang sama, begitu pula dengan Janice, Carla, dan Kennard.

God Sees My StrengthWhere stories live. Discover now