03: Pertemuan

145 25 13
                                    

Abel memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Dengan perpaduan warna merah muda, pakaian simple yang biasa ia lihat di film seperti Cinderella atau Beauty and the Beast kini memeluk tubuhnya dengan sempurna. Yah meskipun wajahnya tidak ada pantas-pantasnya, setidaknya ia bisa sedikit membaur dengan keadaan untuk beberapa saat di negara empat musim ini.

Membicarakan ruangan yang akan ia tempati selama tinggal di rumah nyonya Andersen, sih, tak banyak yang istimewa sebenarnya. Lantai kayunya berdecit membuat Abel kadang merasa ngeri kalau-kalau lantai yang sedang ia pijaki saat ini runtuh, furniturnya sendiri berdebu dan tampak...tua?

Entahlah, yang jelas Abel ingin istirahat karena terlalu lelah dengan kejadian yang menimpanya hari ini.

Gadis itu pun berjalan menuju kasur dengan kain lebar berwarna putih gading yang melapisi, lalu merebahkan diri. Pikirannya melayang, pertanyaan pun mulai terlontar seperti bagaimana reaksi Lily saat gadis itu tidak menemukan Abel dimanapun;

Apa yang akan terjadi selanjutnya;

Hingga bagaimana cara gadis berambut panjang tersebut bisa kembali ke Indonesia.

Dan yang jelasnya, kembali ke tahun 2019.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berputar di kepala Abel hingga gadis itu memasuki dunia mimpi.

***


Suara gaduh dari lantai bawah membangunkan Abel dari mimpi indahnya yang diisi oleh aktor Korea kesukaannya. Abel pun terbangun sepenuhnya dan keluar dari kamar setelah merapikan diri. Mengintip dari tangga, gadis itu melihat nyonya Andersen dengan seorang pria yang tengah merapihkan barang bawaannya. Jika diperhatikan, pria berambut keriting itu menggunakan pakaian yang mengingatkannya akan Sherlock Holmes versi Robert Downey Jr. Kekepoan Abel sendiri membuat sedikit kegaduhan sehingga pria itu mendongak sehingga Abel beradu tatap dengan pria tersebut.

Dan karna terlalu kaget, Abel tersandung kebelakang hingga jatuh dengan posisi punggung membentur lantai kayu. Hal tersebut membuat nyonya Andersen panik hingga wanita cantik itu berjalan menuju lantai dua dengan langkah kelewat cepat, tentu saja diikuti oleh pria bersurai coklat keemasan yang membuat Abel berada diposisi memalukan seperti saat ini.

"Kau tidak apa-apa, nak?" tanya nyonya Andersen sembari membantu Abel untuk duduk. Gadis itu sendiri hanya mengangguk, lalu melirik pria yang wajahnya sering ia lihat di film-film buatan barat.

sadar, nyonya Andersen pun menepuk punggung pria tersebut, "Ah ya, dia putraku. Richard Andersen."

"–Richie, ini Abel, gadis yang tadi ibu ceritakan."

"Salam kenal, Abel." pria bernama Richard itu mengulurkan tangannya, dibalas jabatan tangan oleh Abel.

"Salam kenal juga, tuan Andersen."

"tuan Andersen terlalu tua untukku, Richard saja." Gadis itu mengangguk paham dan menarik kembali tangannya.

Tampan, satu kata itu terpintas di pikiran Abel kepada Richard. Garis rahangnya yang tegas, hidung mancung, iris mata biru keabu-abuan; jika Tuhan memiliki manusia favorit, mungkin dia masuk kedalam daftar manusia di planet bumi yang difavoritkan oleh-Nya.

Hahaha, bercanda, kok–namun tidak dengan ketampanan Richard Andersen.

"Mari kita makan malam," ajak nyonya Andersen, menuntun Abel menuju ruang makan. Meja makan sendiri terisi dengan berbagai masakan yang tertata rapi. Tiga piring dan juga alat makannya telah berada diposisi; membuat Abel merasa tidak enak karena tidak membantu sang pemilik rumah.

"Maafkan saya karena tidak membantu nyonya," ucap Abel, pun dibalas dengan tawa renyah dari wanita paruh baya tersebut.

"Tidak apa, nak. Kau perlu istirahat setelah datang jauh-jauh dari Hindia-Belanda!"

Aduh, kenapa dibahas, sih!? batin Abel panik. Ya bagaimana tidak panik jika Richard kini menatapnya dengan alis terangkat, kaget sekaligus kepo terlihat jelas dari sorot matanya.

"Hindia-Belanda? Kau datang dari tempat sejauh itu?" Ucap pria itu tak percaya. Dia saja tak percaya, apalagi Abel!

"Yaaaaah bisa dibilang seperti itu..." Gumam Abel sembari menyuap makan malamnya yang entah apa namanya.

"Bagaimana rasanya hidup di negara yang subur dengan rempah-rempah?" Tanyanya. Gadis bersurai hitam itu sendiri terdiam, bingung harus menjawab apa karena menurut buku sejarah dan penjelasan kedua orang tuanya sih jelas masyarakat hidup sengsara pada masa itu.

Coy, hampir tiga ratus tahun Nusantara dijajah! Belum lagi Jepang datang setelahnya. Sudah kena kerja rodi, kena romusha lagi.

"Tak begitu susah jika hidup sebagai orang terpandang." Jawab Abel sekenanya, "meskipun masih mendapatkan deskriminasi, tapi ya...begitu..."

"Pasti susah sekali," gumam nyonya Andersen, "tapi kedengarannya kau tertarik sekali, Ric."

Richard menggidikan bahunya, "tidak juga, hanya teringat dengan berita yang tersebar tadi siang."

"Berita apa memangnya?"

"Tentang prajurit yang akan dikirimkan ke Hindia-Belanda." Balas Richard, lalu menatap Abel yang siap meminum teh dari cangkir keramik berwarna putih dengan sentuhan warna biru di tangannya. "Bisakah kau memberi informasi tentang negara tempatmu berasal, Bel?"

–dan hampir saja Abel menyemburkan tehnya karena pertanyaan Richard barusan.


---

Richard Madden as (Sir) Richard Andersen

Back to 1809Where stories live. Discover now